
Puluhan tahun dari masa keberlimpahan untung industri kretek di Kudus dan kota-kota di Jawa masa kolonial, Lance Castles melalui buku berjudul Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok di Kudus (1982) melaporkan ada perubahan nasib para pengusaha dan pengaruh kretek dalam pemberian makna kemerdekaan. Industri kretek mengalami pemodernan, meninggalkan jauh lakon kretek saat memiliki “sang raja” bernama Nitisemito. Pabrik-pabrik kretek terus menghasilkan jutaan batang kenikmatan bagi para konsumen seantero Indonesia. Uang pun mengalir deras, memberitakan kretek memang sumber untung sepanjang masa. Perbedaan paling kentara saat masa 1950-an adalah kemunculan persaingan sengit antara industri kretek dan rokok putih berselera Eropa. Di Indonesia, kretek tetap memiliki umat terbesar meski perlahan beradu selera, sensasi, dan imaji kemodernan. Dulu, ada pembedaan sebutan kretek dan sigaret (rokok putih) berkaitan asal, bahan, rasa, dan harga. Konon, kretek dianggap asli Indonesia.
Sejak awal abad XX, orang-orang menggandrungi kretek dalam peristiwa ngeses. Di Jawa, ngeses itu mengisap kretek. Orang-orang keranjingan ngeses memicu bisnis kretek Nitisemito maju pada masa 1920-an dan 1930-an. Iksaka Banu mengajak pembaca mengimajinasikan orang Jawa sedang ngeses dalam petikan pamflet masa lalu: “… lukisan seorang pria pribumi, berkopiah, dan mengenakan setelan jas necis, sedang berdiri gagah mengisap kretek. Di sebelah kanan, ada kemasan rokok bergambar tiga lingkaran. Dan di bawah lukisan itu kita bisa membaca sebuah slogan ditulis dalam huruf berukuran besar: djangan loepa saja poenja nama M. Nitisemito.” Nama itu tenar dan terkemuka di tanah jajahan: pengusaha kretek dan pemberi dana bagi kaum pergerakan politik kebangsaan. Di mata penguasa kolonial, Nitisemito memberi keuntungan bagi pemerintah tapi teranggap “musuh” akibat kedekatan dengan kaum pergerakan.
Iksaka Banu dalam novel berjudul Sang Raja (2017) menceritakan Nitisemito (sang raja) melalui puluhan tokoh, mengacu keluarga, pekerjaan, hiburan, birokrasi, perang, masa malaise, dan persemaian nasionalisme di Indonesia. Pengarang bercerita lambat agar pembaca tak tergesa membentuk identitas Nitisemito. Cerita pun berbiak, mengantar pembaca ke persimpangan makna: kretek, asmara, iklan, mobil, pabrik, kereta api, busana, dan pelesiran. Iksaka Banu telaten membagi rimbun cerita sampai menuju ke penokohan Nitisemito atau “sang raja kretek”.
* * *
Para penekun sejarah kretek atau Nitisemito mungkin tak terlalu kaget setelah merampungkan novel Sang Raja. Puluhan buku telah terbit dalam edisi bahasa Indonesia mengabarkan dan menceritakan pasang-surut industri kretek. Buku berjudul Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara (1987) garapan Amen Budiman dan Onghokham bisa jadi “pengantar” bagi pembaca terlena di novel Iksaka Banu. Imajinasi kretek bakal bergerak ke sembarang arah. Sebutan kretek itu diperoleh dari suara daun tembakau dan cengkeh dibakar. Di Jawa, orang-orang membahasakan kumretek. Poerwadarminta di Baoesastra Djawa (1939) mengartikan njwara kretek-kretek. Orang-orang pun memilih sebutan kretek meski terlambat masuk dalam kamus-kamus berbahasa Indonesia. Kita menjumpai lema kretek di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta, mengandung arti: “rokok jang tembakaunja bertjampur dengan tjengkih.”
Nitisemito adalah “sang raja kretek”, menggerakkan industri dan sejarah di Indonesia melalui kegandrungan orang-orang ngeses. Ia pemilik NV Nitisemito, pabrik rokok Bal Tiga. Pada masa lalu, Bal Tiga kondang dan laris di pelbagai kota di tanah jajahan. Nitisemito menerapkan iklan dan pemasaran modern untuk menimbulkan ketagihan ngeses. Pengenalan kita pada Notosemito diperantarai oleh pengisahan tokoh-tokoh di novel bernama: Filipus Rechterhand, Wirosoeseno, Christiaan Poolman, Marwoto, Karmain, Soedjoko, Akoean Markoem, Lasinah, dan Wasini. Puluhan tokoh bermunculan memiliki pelbagai cerita untuk bertemu ke penokohan “sang raja kretek”. Siasat bercerita itu bukti keampuhan Iksaka Banu memberi pikat imajinasi dan sentuhan sejarah mengenai kretek dan Nitisemito.
Pembaca tak sabar mungkin enggan turut memikirkan keampuhan Nitisemito dalam mengartikan kretek, membuat hubungan politik dengan kaum pergerakan, jalinan kultural bersama Pakubuwono X, dan pemaknaan mobil-mobil buatan Eropa. Pembaca terkesima saat diceritakan cara beriklan kretek menggunakan pesawat. Di atas kerumunan orang, ribuan kertas disebarkan dari pesawat berisi godaan agar orang mau ngeses kretek Bal Tiga buatan NV Nitisemito. Iksaka Banu tampak memiliki tumpukan referensi dalam penokohan Nitisemito.
Peristiwa penting diceritakan Iksaka Banu mengambil latar 1936. Pakubuwono X dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengunjungi Nitisemito di Kudus. Kunjungan ke pabrik dan rumah. Raja Jawa dan “sang raja kretek” bertemu: bercakap, berbagi hadiah, dan saling pamer mobil. Pakubuwono X tercatat pemilik mobil awal di tanah jajahan dan Nitisemito membeli mobil-mobil dari ribuan orang ngeses di tanah jajahan. Pertemuan dua raja dimeriahkan dengan hujan deras. Sebelas bulan setelah kunjungan ke Kudus, Pakubuwono X wafat. Nitisemito masih melanjutkan industri kretek dengan seribu masalah dan menjelang bangkrut. Duka berkepanjangan menimpa Nitisemito.
Duka itu dipilih Iksaka Banu dalam pembukaan novel. Adegan dimulai dari upacara penguburan Nitisemito di Permakaman Sedio Loehoer, Sabtu, 7 Maret 1953. Penguburan sempat diawali hujan deras. Orang-orang mengartikan itu “hujan cerita” atau “hujan lara” bagi Nitisemito. Ribuan orang, pejabat dan jelata, berkumpul untuk menghormati Nitisemito. Di kalangan Jawa, mereka malah ngalap berkah. Mereka berdoa di depan pusara dan membawa pulang tanah makam dengan pengharapan bakal mendapat tuah, rezeki, keselamatan, dan ketenaran. Sejarah ngeses tetap berlanjut di Indonesia meski ditinggalkan “sang raja kretek”. Ia tetap terkenang dan tampil sebagai tokoh terkemuka dalam persembahan cerita oleh Iksaka Banu.
* * *
Pada 2015, terbit buku berjudul Raja Kretek Nitisemito: Pengusaha Pribumi Terkaya Sebelum Kemerdekaan susunan Erlangga Ibrahim dan S Budi Putranto. Buku biografi dalam 100 halaman. Buku itu mendahului penerbitan novel berjudul Sang Raja garapan Iksaka Banu. Jenis penulisan berbeda meski mengarah ke tokoh sama, Nitisemito. Iksaka Banu mengaku mengerjakan novel sejak Agustus 2014 sampai rampung 7 Oktober 2016.
Skripsi, makalah, dan artikel di jurnal digunakan Iksaka Banu untuk mengisahkan ulang sejarah kretek dan menokohkan Nitisemito, berbeda siasat dari jenis penulisan biografi. Data-data dan kunjungan ke Kudus memberi gairah untuk suguhan sejarah dan imajinasi ke pembaca. Pilihan judul novel anggaplah biasa, menguatkan maksud menguak kretek dan Nitisemito berjulukan “sang raja kretek”.
Kretek pernah muncul di novel lama masa 1920-an. Kebiasaan orang ngeses atau mengisap kretek ada di novel berjudul Kirti Njunjung Drajat (1924) garapan Jasawidagda. Di Jawa, orang-orang gandrung kretek tapi ada gerakan di kalangan elite dan terpelajar untuk mengurangi atau menghilangkan kebiasaan ngeses. Mereka menggunakan dalih kesehatan dan ekonomi. Gerakan itu bertentangan dengan ikhtiar Nitisemito memajukan industri kretek di Kudus, sejak awal abad XX. Kretek telah memberi laba berlimpahan. Industri kretek menjadi sumber nafkah bagi puluhan ribu pekerja selama puluhan tahun.
* * *
Iksaka Banu memilih menceritakan para pegawai di NV Nitisemito dalam memajukan industri kretek. Mereka memiliki peran dalam pembukuan, pemasaran, dan iklan dalam pasang-surut kretek cap Bal Tiga. Pilihan pekerjaan itu sesuai pengetahuan dan pengalaman Iksaka Banu: pernah bekerja sebagai pengarah seni di biro-biro iklan di Jakarta. Pembaca sengaja dibuat terkesima pada iklan-iklan kretek masa lalu. Kebermaknaan iklan terasa mendalam dan terpentingkan dalam capaian laba, persaingan bisnis, karier pegawai, dan semaian imajinasi konsumsi di tanah jajahan.
Tokoh bernama Wirosoeseno saat berkencan dengan perempuan idaman menonton Komedie Bangsawan Melajoe tiba-tiba memiliki gagasan mengiklankan kretek. Ia ingin kretek Bal Tiga ada di panggung dan menggoda para penonton untuk turut ngeses kretek buatan NV Nitisemito. Para pemain bakal diminta menjadi juru bicara atau mengiklankan kretek. Dulu, tercatat nama-nama tenar: Hasan Sodik, Tan Tjeng Bok, dan Astaman. NV Nitisemito menjadi sponsor. Beriklan di panggung komedi-stambul dianggap cespleng meningkatkan pamor dan penjualan Bal Tiga. Ide itu membuat industri kretek berlimpahan laba. Nitisemito merestui cara beriklan baru dan menginginkan ada kejutan terbesar dalam periklanan di tanah jajahan.
Keinginan itu dipenuhi para pegawai di Departemen Pemasaran dan Reklame. Seni dipilih demi peningkatan penjualan kretek setelah masa depresi, 1930-an. Mereka mengadakan acara kesenian di kota-kota besar di Jawa. Tampilan bungkus Bal Tiga diubah sesuai gambar atau tema pentas seni agar semakin memikat dan memicu keranjingan kaum ngeses di Jawa. Iksaka Banu tampak memberikan penguatan urusan iklan-iklan di novel. Pembaca pun berhak memuji keampuhan iklan masa lalu dan persaingan dalam penjualan kretek. Kita mengutip seruan tokoh bernama Karmain dalam rapat bersama Nitisemito: “Kita tadi sudah sepakat, salah satu cara memperluas pasar adalah dengan menyebar iklan lebih gencar ke luar daerah. Sehingga merek kita dikenal dan diingat. Kita sebar ke Batavia, Buitenzorg, Surabaya, plus Semarang.” Sejarah kretek pun sejarah beriklan dan penciptaan imajinasi menakjubkan di tanah jajahan.
* * *
Iksaka Banu tak cuma pamer masalah iklan kretek. Nitisemito pun diceritakan memiliki peran besar dalam sejarah Indonesia melalui jalinan hubungan bersama Sarekat Islam, Muhammadiyah, Soekarno, Pakubuwono X, dan kaum pergerakan nasionalisme. Peran “sang raja kretek” dibuktikan melalui pemuatan petilan pidato Soekarno, 1 Juni 1945, di halaman awal novel: “Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”
Keberakhiran kolonialisme malah tak menjadi dalih pemajuan dan kemakmuran bagi NV Nitisemito. Industri kretek rapuh, menjelang tamat dengan bangkrut dan sengketa keluarga. Bal Tiga hampir menjadi nostalgia duka, berbeda cerita dari masa 1920-an dan 1930-an. Ketokohan Nitisemito tak ingin berlalu, hilang tanpa jejak. Iksaka Banu menggunakan tokoh jurnalis untuk mengawali dan mengakhiri novel. Si jurnalis bernama Bardiman mencatat pengakuan dan penceritaan dari dua tokoh bekas pegawai di NV Nitisemito: Filipus dan Wiroseoseno. Pencatatan setelah kematian Nitisemito, 1953. Catatan dalam puluhan halaman diputuskan menjadi cerita bersambung di koran Matahari Timur. Cerita untuk mengenang atau bernostalgia. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022