Nusantara di Mata Sang Pendekar Hermeneutika

~ Bagian I ~

Siapa yang tidak mengenal Nashr Hamid Abu Zaid di dunia ini? Pendekar hermeneutika dari kampung 1000 menara yang berhasil menaklukkan dunia persilatan. Bahkan para pendekar Kaypang di padepokan persilatan yang berada di pojok-pojok sungai sekalipun akan merinding begitu mendengar namanya disebutkan. Nashr Hamid Abu Zaid adalah seorang pemikir dunia yang mengagumi keterbukaan pesantren, moderatisme kiai dan kejadugan para santri.

Kesaktian Sang Pendekar Hermeneutika

Perjalanannya yang panjang serta lika-liku kehidupan yang harus ia lalui, mulai diusir dari tanah kelahirannya, dicap sebagai pendekar murtad, dipaksa untuk berpisah dengan kekasih yang ia cinta, tak lantas menyurutkan niatnya untuk menguasai ilmu ”kanuragan” yang terkenal ampuh, sakti mandra guna bahkan konon mustahil dapat dikuasi oleh manusia biasa.

Setelah sekian lama ia ber-tirakat dan berlatih mendalami ilmu “kanuragan” itu, akhirnya ia mampu menciptakan jurusnya sendiri. Penemuan saktinya itu adalah “ajian halilintar peruntuh langit penghancur bumi” yang berhasil ia tuangkan dalam kitab sucinya Mafhûm an-Nash. Salah satu jurus pamungkasnya adalah “jurus pedang bemata dua” yang menegaskan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj ats-tsaqâfah) sekaligus produsen budaya (al-muntij li ats-tsaqâfah).

Jurus “pedang bermata dua” yang berhasil ia kenalkan pada dunia persilatan merupakan hasil dari pertapaannya di puncak gunung historical text (historisitas teks). Gunung historical text ini diapit dua lembah besar; yaitu lembah divine text (teks ilahi) dan lembah human text (teks manusiawi). Hebatnya, kedua lembah ini pun telah habis dijelajahi juga oleh sang Pendekar. Untuk sampai pada puncak gunung historical text, sebagai seorang pendekar berkanuragan tinggi, Nashr Hamid Abu Zaid berhasil menaklukkan derasnya ombak samudera tanzîl dan ganasnya badai samudera takwîl.

Setelah mengalami pengusiran dan pemurtadan, menyeberangi dua samudera, melewati dua lembah, bertapa di puncak gunung, Nashr Hamid akhirnya memutuskan turun dan kembali ke dunia persilatan. Selain mengenalkan jurus barunya, ia juga selalu menyampaikan misi sucinya. Yakni sebuah wangsit yang ia dapatkan berdasarkan pengamatan dan perenungan hakiki dalam setiap jejak langkah pencarian kesaktiannya.

Misi suci al-wangsity itu berbunyi, ”The Word of God needed to adapt itself become human because God wanted to communicate to humang beings. If God spoke God-language, human beings would understand nothing.” Artinya: ”Bagaima­napun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri, dan menjadi manusiawi, karena Tuhan ingin berkomunikasi kepada manu­sia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasaNya (sendiri), niscaya manusia sama sekali tidak akan pernah mengerti.” Tujuan misi sucinya ini adalah mengajak manusia untuk sampai pada muara kesadaran bahwa histo­risitas teks, realitas, dan budaya serta bahasa yang terbaca, menunjuk­kan bahwa al-Qur’an memang diperuntukkan untuk manusia.

Singkat cerita, perjalanan kependekaran Nashr Hamid Abu Zaid yang selamat (tidak terbawa arus) mengarungi dua samudera sekaligus; tanzîl dan takwîl, dengan jurus saktinya  “pedang bermata dua”, kabar akan ke-jadugan-nya segera tersebar luas ke seluruh penjuru dunia persilatan. Hingga akhirnya sampai juga ke bumi Nusantara.

Sayembara Pertama di Bumi Nusantara

Dalam karya terakhirnya, at-Tajdîd wa at-Tahrîm wa at-Takwîl baina al-Ma’rifah al-‘Ilmiyyah wa al-Khauf min at-Takfîr, Sang Pendekar bercerita bahwa ia datang ke Indonesia untuk pertama kali pada 26 Agustus 2004 guna menghadiri sayembara keilmuan yang diagendakan oleh International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Sesampainya di bumi Nusantara, sang Pendekar cukup kaget, sebab ternyata jurus-jurus yang ia tuliskan telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa lokal. Ia bangga karena itu berarti gagasannya telah banyak dikaji dan jurusnya dipelajari oleh para pendekar di bumi Nusantara.

”Kâna ‘adadun min kutubî qod turjima ilâ al-lughah al-indûnîsiyyah,

wa bi at-tâlî kânat arâ’î wa afkârî ma’rûfah ‘alâ nithâqin wâsi’in.”

 Sang Pendekar kagum dengan kemampuan para pendekar Nusantara dalam mencerna jurus-jurus saktinya. Hal itu membuktikan bahwa para pendekar Nusantara bukan pendekar ecek-ecek. Puncak kebahagiannya adalah ketika ia mengetahui bahwa mereka yang mempelajari jurus-jurusnya kini telah banyak yang menjadi guru besar di padepokan-padepokan persilatan yang tersebar di bumi Nusantara.

”Katsîr min thulâbî shârû al-ân asâtidzah  fî al-jâmi’ât wa al-ma’âhid al-‘ulyâ fî indûnîsiyâ.”

Seiring berjalannya waktu, lagi-lagi sang Pendekar dibuat kaget dan kagum dengan dua ormas besar di Nusantara; Al-Muhammadiyah (1908) dan Nahdlatul Ulama (1912). Bagaimana tidak, itu berarti kedua ormas tersebut lahir lebih dulu sebelum lahirnya Ikhwanul Muslimin (1928) di bagian lain dari kampung halamannya, Ismailia-Mesir.

Pada tanggal 7 September, sang Pendekar menghadiri tantangan sayembara kedua yang diadakan oleh The WAHID Institute: Seeding Plural and Peaceful Islam dengan tema pluralisme dalam perspektif al-Qur’an. Di sini, sang Pendekar bertemu dengan cucu pendiri ormas Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid. Berdasarkan interaksinya dengan para pendekar dari padepokan persilatan The WAHID Institue, sang pendekar mengenalkan istilah The Indonesian Smiling Islam (al-Islâm al-Indûnîsî al-Bâsim). Hal ini dikarenakan ketika sang Pendekar memberikan penjelasan terkait jurus-jurus barunya, sekaligus kritiknya terhadap jurus-jurus lama, justru ditanggapi oleh mereka dengan cekiki’an, kadang juga cekaka’an.

”Shaghat ‘ibârah al-islâm al-indûnîsî al-bâsim ba’da an lâhadzat anna istiqbâl asy-syabâb al-indûnîsî li mulâhadzatî wa ta’lîqâtî an-naqdiyyah ‘alâ madâkhilâtihim kânat bi al-ibtisâm wa adh-dhahak min al-qalb ahyânan.”

 

Budaya Pesantren Non-Hermeneutis?

Seperti yang tertulis dalam kitab terakhirnya itu, salah satu fenomena yang paling penting dalam pengembaraan sang Pendekar di bumi Nusantara adalah ketika menyambangi padepokan persilatan ilmu fikih di Situbondo, Jawa Timur. Padepokan persilatan ini oleh masyarakat lokal dikenal dengan Pesantren (al-madâris at-taqlîdiyyah). Begitu banyak peristiwa non-hermeneutis yang ia alami dan terjadi begitu saja di hadapannya, tanpa bisa sepenuhnya ia pahami. Sang Pendekar mulai heran namun juga terkagum-kagum.

Sang Pendekar dengan sadar enggan mengomentari tata cara berbusana santriwan dan santriwati yang mengenakan pakaian lokal yang begitu sederhana. Justru perhatiannya mengarah pada interaksi sosial yang dipraktikkan oleh mereka terhadapnya. Kala di dunia Arab banyak yang enggan bersua dengannya, namun di Pesantren ia sangat diterima, seolah-olah ia termasuk salah satu guru-guru agung mereka yang patut dimuliakan.

”Lâ urîdu an atahaddats ‘an ath-tharîqah allatî istaqbalanî bihâ Thulâb al-ma’had  –fatayât wa fatayah bimulâbisihim at-taqlîdiyyah al-faqîrah, ustuqbiltu ka-annanî ahadu syuyûkhihim al-ajillâ’.”

Apakah hanya sebatas itu? Tidak. Hal menarik lain bagi sang Pendekar, selama dua hari berada di Pesantren, ke mana pun ia pergi akan selalu ada banyak santri yang berdarah-darah berebut mencium tangannya, perang-tanding untuk membawakan barang-barangnya, bahkan tabarrukan dengan menyentuh pakaian yang dikenakannya. Sungguh pengalaman yang luar biasa bagi sang  Pendekar.

”Wa bishu’ubah mana’tuhum  min taqbîli yadî au hamli aghrâdhî, fadhlan ‘an at-tabbaruk bilamsi tsiyâbî.”

Ia mulai berpikir dari mana jurus budaya ini lahir? Apakah dari al-Qur’an yang berposisi sebagai produsen budaya sebagaimana hasil penelitiannya? Atau jangan-jangan ini bukan peristiwa hermeneutis? Belum habis pikirnya, ia kembali dicengangkan. Bagaimana tidak, kitab sucinya Mafhûm al-Nash yang ia tulis menggunakan aksara Arab, dibaca dan dikaji dengan santai dan sangat baik oleh para murid-murid di Padepokan Pesantren itu dengan menggunakan bahasa Arab. Mereka tidak membaca terjemahannya, tidak juga membutuhkan penerjemah. Sungguh sangat luar biasa, pikirnya.

Belum habis rasa heran dan kagumnya terhadap para santri, sang Pendekar dicengangkan kembali oleh pemikiran bijak para guru besar (Kiai/ Syuyûkh) di Padepokan Pesantren itu. Dalam kitab terakhirnya, ia menceritakan pertemuannya dengan para kiai dan sempat berdiskusi mengenai masalah poligami (ta’addud al-zaujât). Menurut para kiai, poligami pada dasarnya bukan merupakan ajaran syari’at Islam, melainkan salah satu bentuk tradisi yang sudah mengakar kuat pada masyarakat sebelum Islam. Bagi para kiai, sang Pendekar melanjutkan, poligami adalah salah satu cara yang digunakan oleh Islam sebagai solusi untuk mengentaskan problem sosio-ekonomi yang dihadapi oleh para wanita yatim. Hal ini bertujuan agar umat Islam benar-benar bisa berlaku bijak dan adil ketika berinteraksi dengan mereka. Bagi sang Pendekar, pernyataan ini sungguh luar biasa, dan akan sangat susah dijumpai di negeri Arab sana.

Berdasarkan kisah tertulis (the text) sang Pendekar (the author) kala berinteraksi dengan para santri dan para Kiai, kita sebagai pembaca (the reader) dapat menyimpulkan bahwa: “Budaya kelakuan para santri mungkin tidak hermeneutis, tetapi pemikiran bijak para Kiai itu sangat hermeneutis.”

 Pada bagian pertama ini, perjalanan sang Pendekar di bumi Nusantara, ia tutup dengan ungkapan kekagumannya: ”Kâna hadzâni al-yaumâni fî al-ma’had min ahammi tajârubî fî indûnîsiyyâ.”

 

~ Bagian II ~

Perubahan dan pembaharuan merupakan sebuah keniscayaan. Dalam ruang dan waktu, tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan harus senantiasa dikawal agar selalu melahirkan pemahaman yang baru. Kesadaran manusia terhadap perubahan dan pembaharuan akan mengajarkan mereka tentang keterbukaan terhadap penafsiran teks-teks keagamaan.

Menerjang Badai Penolakan

November 2007, sang Pendekar menyambangi Indonesia untuk yang kedua kalinya. Itu berarti setelah tiga tahun dari kunjungannya yang pertama. Kali ini ia hadir untuk memenuhi sayembara perang tanding adu kesaktian tentang Pemuda Muslim dan Tantangan Perubahan Sosial di Indonesia. Agenda adu kesaktian antar pendekar kelas internasional ini adalah bentuk kerjasama antara Universitas Leiden, Belanda dan Kementerian Agama, Indonesia.

”Fî ziyâratî ats-tsâniyyah, nûfambir ‘âm 2007, li al-musyârakah fî mu’tamar ‘an asy-syabâb al-muslim wa qiyâdah ‘amaliyyah at-tathwîr wa at-taghyîr al-ijtimâ’iyaini fî indûnîsiyâ. Wahuwa nafsu maudhû’ at-ta’âwun al-‘ilmî baina jâmi’ah lîdin wa wizârah asy-syu’ûn ad-dîniyyah fî indûnîsiyâ.”

Program pendalaman ilmu kanuragan kelas internasional tersebut diikuti oleh para pendekar yang sudah menyelesaikan latihan tingkat dasar pada sabuk sarjana (pendekar strata satu). Sebab dari awal, kegiatan perang tanding ini memang diagendakan untuk para pendekar pascasarjana; baik sabuk magister (pendekar strata dua), sabuk doktoral (pendekar strata tiga) bahkan sabuk pasca doktoral (pendekarnya para pendekar).

Sang Pendekar Hermeneutika datang ke bumi Nusantara dua hari sebelum acara perang tanding dimulai. Sialnya bumi Nusantara saat itu sedang mengalami ketegangan pemikiran dan gonjang-ganjing politik. Hal yang mengejutkan akhirnya terjadi. Keikutsertaan sang Pendekar dibatalkan. Keputusan pembatalan ini merupakan hasil musyawarah antar beberapa pendekar dan pihak Kementerian Agama.

Tindakan pembatalan tersebut dianggap sebagai langkah terbaik karena tersebar isu akan ada serangan dadakan yang dapat mengancam nyawa sang Pendekar. Keputusan pembatalan bersifat tetap, tidak bisa diganggu gugat dan sudah final. Jika sayembara tetap dilaksanakan, kemudian terjadi pertumpahan darah antar-pendekar se-Nusantara, lantas sang Pendekar Hermeneutika ini terluka, pihak Kementerian Agama tidak akan bertanggung jawab.

”Anna musyârakatî fi al-mu’tamar qad shadara qarâr bi al-ilghâiha ba’da musyâwarah ma’a al-wazîr…. Yûhâ bi wujûd khathr ‘alâ hayâtî fî hâlah al-hudhûr…. Anna al-qarâr hâsimun wa nihâiyyun, wa anna al-wizârah lâ tatahammal ayya masûliyyah.”

Ketidakjelasan penolakan, pembatalan yang tiba-tiba dan dilakukan secara sepihak, membuat sang Pendekar tetap berdiri tegak menantang. Ia sadar bahwa dirinya sakti mandra guna. Baginya penolakan adalah makanan sehari-hari. Maka pertanyaannya adalah: Apakah para pendekar karbitan di bumi Nusantara lupa, jika sang Pendekar Hermeneutika ini pernah mengalami masa ujian kenaikan sabuk yang jauh lebih mengerikan? Apakah mereka tidak tahu bahwa sang Pendekar pernah diusir dari tanah kelahirannya sendiri? Bukankah sang Pendekar ini juga pernah mendapat gelar sebagai pendekar murtad? Adakah yang lebih menyakitkan dari ini semua? Tentu tidak.

Sang Pendekar mantap untuk tetap berpartisipasi dalam sayembara perang tanding adu kesaktian sebagaimana yang telah dijadwalkan jauh-jauh hari. Dukungan dari para kolega sekaligus murid-muridnya semasa di padepokan Leiden dulu, membuatnya semakin yakin bahwa posisi dan nyawanya akan aman dan baik-baik saja. Ia benar-benar sadar bahwa murid-muridnya kini telah menjadi para pendekar yang juga sakti mandra guna. Terlebih tersiar kabar bahwa guru besar pendekar se-Nusantara, Abdurrahman Wahid, akan hadir dan berpartisipasi dalam sayembara yang sama. Dengan demikian, ancaman ini hanya masalah ecek-ecek. Akhirnya keputusan dibuat: “Kami tidak gentar, karena kami tidak akan takluk. Kami akan habis-habisan melawan setiap ancaman dan meluluhlantakkan segenap penakut-nakutan.”

”Âlima kullu ashdiqâî fî indûnîsiyâ bi al-amr,

fa qararnâ allâ nakhdha’a  libtizâz at-tahdîd wa at-takhwîf.”

 

Dua Padepokan Agung; Antara Jakarta dan Yogyakarta

Meskipun ada penolakan dan ancaman, sang Pendekar tetap terus berjalan hingga sampailah ia di dua padepokan persilatan agung yang ada di bumi Nusantara; Jakarta dan Yogyakarta. Uniknya sang Pendekar melabeli kedua benua itu dengan menuliskan bahwa Yogyakarta adalah ibu kota atau pusat akademisi di Indonesia. Sementara Jakarta adalah pusat perpolitikan dan perdagangan. Menarik bukan?

“Bi al-munâsabah wa raghm dlaiq al-waqt, tamma tartîb muhâdlarah lî fî Tsyujâkârtâ  al’âshimah al-âkâdîmîyyah fî indûnîsiyâ, wa jâkârtâ hiya al-‘âshimah as-siyâsiyah wa at-tijâriyyah.”

Dengan bangga sang Pendekar menceritakan bahwa sayembara dengan tema kebebasan (al-hurriyah) yang diadakan di dua padepokan tersebut selalu ramai dihadiri oleh para pendekar, baik “pendekarawan” maupun “pendekarwati”. Selalu lebih dari 200 pendekar dalam setiap pertemuannya. Hebatnya lagi, setelah sayembara selesai, mereka para pendekar lokal itu masih mengajaknya adu tanding dan memohon bimbingan padanya hingga lebih dari dua jam lamanya.

“Hadlarahâ aktsar min miâtai syâb wa syâbah. Kâna al-maudlû’ huwa al-hurriyah, istamarra al-hiwâr ma’a haulâ’ asy-syabâb aktsar min sâ’atain ba’da al-muhâdlarah.”

Sayembara adu sakti tentang kebebasan merupakan sebentuk rangkaian acara agar para pendekar di bumi Nusantara berani mengamalkannya dalam segenap kehidupannya. Mulai dari kebebasan personal (hurriyah al-fard) ketika berlatih ilmu kanuragan, bahkan sampai kebebasan religius (al-hurriyah ad-dîniyyah) ketika menafsirkan mantra-mantra sakti dari kitab suci. Kemudian dilanjutkan dengan kebebasan dalam berpolitik dan bersosial (al-hurriyah as-siyâsiyah wa al-ijtimâ’iyyah) antar-sesama pendekar di bumi Nusantara. Kesemuanya itu terdapat pengajaran bahwa pendekar di bumi Nusantara berhak untuk bebas berfikir sekaligus harus berani menghadapi segala macam bentuk perubahan.

Pesan untuk Para Pendekar di Bumi Nusantara

Dari semua peristiwa yang dikisahkan, baik pada bagian pertama dan bagian kedua, sang Pendekar Hermeneutika menitipkan pesan:

“Untuk seluruh pendekar di bumi Nusantara, siapakah yang dapat dan layak kalian percaya? Apakah elite politik ataukah agamawan? Satu yang pasti, pemahaman manusia harus selalu baru dan tercerahkan!”

~ Selesai ~

Hijrian A. Prihantoro
Latest posts by Hijrian A. Prihantoro (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!