Tiga hari terakhir ini, saya kecewa dan sekaligus bahagia pada buku. Tersebab saya termasuk pembaca buku yang memilih percaya pada Fritjof Capra yang tangguh menguliti Descartes, bahwa manusia adalah “organisme proses”, tentu saya harus merawat pagi saya ini dengan baik-baik; agar hari saya yang akan membentang ke depan selalu asyik dan menyenangkan.
Maka saya akan bercerita tentang kekecewaan dulu, baru kemudian kebahagiaan. Dengan maksud, setelah kecewa ada bahagia. Anda tahu maksud saya, kan, agar bentangan hari saya berakhir dengan bahagia, sesuai state “organisme proses” itu, kendati saya pun sepaham sama Gabriel Garcia Marquez bahwa kekecewaan hanyalah merupakan cara pandang lain tentang kebahagiaan.
Saya membaca beberapa karya Karen Armstrong. Dari Sejarah Tuhan, Perang Suci, hingga Jerussalem. Kesan saya, inilah literatur yang sangat menakjubkan tentang sejarah agama-agama dunia, utamanya monoteisme-Ibrahimik, dan kaitannya dengan tata geopolitik dunia, plus absurditas modernisme di masa kini. Maka tanpa ragu saya pun mencomot buku Sejarah Dunia yang Disembunyikan karya Jonathan Black (dengan maksud melengkapi cakrawala saya tentang sejarah dunia) dari sebuah rak di event Kampung Buku Jogja (KBJ, 8-10 Oktober 2015), bersama buku Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, plus buku Edward S. Kennedy, Sepak Bola Seribu Tafsir. Buku kedua adalah sebuah buku yang telah saya miliki bertahun silam dan hilang di tangan kawan Syamsul Arifin (hayoo lho…, heee). Buku terakhir adalah kumpulan esai tentang sepak bola yang saya dengar-dengar sangat segar melalui kekayaan pendekatan filsafatnya.
Anda pasti bisa menerka bahwa pilihan saya jatuh pada buku pertama untuk mencicipinya segera. Saya berharap tinggi pada buku ini, akan mendapatkan bocoran-bocoran mengguncang jiwa tentang konspirasi atau anomali berbagai catatan rezim sejarah yang selama ini dibaca. Bukankah sejarah syahdan diciptakan oleh para pemenang? Dan, tentu saja, rezim sejarah yang ada selama ini, harapan saya, akan diobok-obok oleh buku ini sebagai “counter sejarah dari kubu yang kalah”.
Saya sengaja langsung melompat ke bab 17 (hlm. 328), yang bertutur tentang Zaman Islam. Tiba-tiba mata saya juling, mutar-mutar bagai dikelilingi burung-burung kecil persis Tom kala terbentur tembok akibat ulah nakal Jerry. Sungguh saya tak habis pikir—setelah memaksakan diri bertahan membacanya sejauh 20 halaman ke depan—bagaimana mungkin buku bagus begini dirusak oleh penerjemahnya? Masak iya buku ini diindonesiakan dengan bantuan Google-Translate?
Saya sungguh buta total menghadapi istilah “orang hijau” untuk menunjuk Nabi Khidir, lalu “Hakim Bebas”, juga istilah Hashishin yang dibegitusajakan sebagai “assassin” (pembunuh), “Persaudaraan Lebah” sebagai akar kelahiran sufisme, dan banyak lagi.
Saya menjadi lebih bego dari biasanya untuk sekadar memahami kalimat-kalimat sejenis: “Kita mungkin mendengar dalam materialisme yang menggelora ini bisikan pertama dari zaman modern”; “Dalam tradisi sufi ini pusat-pusat kekuatan memiliki nama yang indah dan menarik seperti Hati Bunga Sedar dan Hati Bunga Bakung”; hingga “Bagi banyak orang, keajaiban-keajaiban ini tampaknya gaib. Mereka eksis di perbatasan antara sihir dan ilmu pengetahuan…. Temuan itu berasal dari setidaknya paling lama awal Abad Pertengahan”.
Bagaimana mungkin buku yang pernah direkomendasikan bagus 3–4 tahun lalu ini begitu membingungkan dipahami? Ini sungguh buku yang digarap dengan cara merusak kualitas asal buku ini. Buku yang rusak di tangan penerjemahnya, juga editornya, juga penerbitnya. Sedih lagi, ternyata buku produk penerbit mayor dari Jakarta ini telah mengalami cetak ulang kedua, yang itu berarti akan ada ribuan orang di luar rumah saya yang dibikin peang kepalanya untuk sekadar memahami maksud kalimat-kalimatnya. Tentu, yang paling mencemaskan ialah banyak orang di luar sana yang kurang karib dengan wacana sufisme, misal, akan menelan begitu saja istilah “Persaudaraan Lebah”, “Hati Bunga Sedar”, dan “Hati Bunga Bakung” sebagai faksi-faksi sufisme. Saya tak ingin benar suatu kelak akan mendengar seseorang berkata bahwa “Pukulan Matahari” dan “Kunyuk Melempar Buah” merupakan bagian dari sejarah sufisme di Indonesia dengan guru bernama Sinto Gendeng dan murid jadzab bernama Wiro Sableng.
Seketika saya menjadi paranoid! Sungguh saya takut akan kembali mendapati “buku sampah” bila membeli Jerusalem: The Biography karya Simon Sebag Montefiore yang diterbitkan oleh penerbit yang sama, yang saya tahu merupakan sebuah buku otoritatif yang pernah disebut profesor saya sejajar dengan buku Jerusalem karya Karen Armstrong di bangku kuliah doktoral.
Baik, agar “organisme proses” kita segar kembali, kini lupakan kekecewaan itu, dan saya akan berkisah tentang betapa kagetnya saya saking bahagianya ketika melipat buku sampah mahal itu dan beralih ke buku ketiga, Sepak Bola Seribu Tafsir.
Mata saya berbinar dan hanya dalam dua jam lebih sedikit saya telah tuntas membaca sampai halaman 109. Ini benar-benar buku yang melampaui ekspektasi saya!
Belumlah begitu lama saya kenal penulisnya, Bang Edo (entah kenapa oleh kawan-kawan sering dijuluki “Bapak Air Mata Nasional”), lantaran saya sering menjumpai esai-esainya di Mojok.co, sebuah situs nakal yang saya pun beberapa kali menulis esai di sana. Dari esai-esainya, saya tahu Bang Edo adalah penulis yang berkarakter, ketat metodologis, plus suka nakal ala hipster kekinian; atau bahkan aslinya Bang Edo seorang hippies penerus Beat Generation garis keras bersama Alan Gisberg. Tidak yang-yangan boleh jadi merupakan sikap ideologis hippies radikalnya Bang Edo. Haa…haaa.
Apa yang saya maksud melampaui ekspektasi ialah saya tak pernah menyangka bahwa buku ini akan begini tajam analisisnya, luas referensinya, dan impresif penyimpulan-penyimpulannya. Menalar sepak bola dengan kerangka teori filsafat jelas bukanlah pekerjaan mudah, Bung. Ah, ke mana saja saya selama ini sampai setelat ini, ya?
Dengan enteng Bang Edo meletakkan analisis Antonio Negri dalam Empire yang mengkritik Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man (buku Fukuyama ini merupakan kritik terhadap The Clash of Civilizations Samuel P. Huntington) dalam posisi yang efektif secara ilmiah-akademik untuk (Anda akan kaget!) mengkaji sejarah dan wacana “hipster dalam sepak bola” (saya membayangkan Bang Edo bisa melengkapi analisis komparatif bagian ini dengan buku Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme). Dan semua narasi itu disajikannya dalam kalimat, paragraf, dan celetukan nakal yang sepenuh riang ke kepala pembaca.
Bang Edo juga begitu murah hati menukil Albert Camus, Michel Foucault, hingga Jean-Paul Sartre dalam mengukuhkan analisisnya pada berbagai item sepak bola. Sartre, misal, filsuf Prancis yang berkacamata tebal ini (jadi berbanggalah Anda yang berkacamata tebal karena memiliki personal-branding sejajar Sartre, heee…), yang dikenal luas dengan Psikologi-Imajinasi-nya, didudukkan sebagai fondasi teoretis “nine-false” dalam taktik sepak bola. “The absence of a forward is in many ways effective as his presence”. Sebuah berkah kedalaman, kejunilan, dan bahkan keliaran eksplorasi imajinasi manusia yang sanggup menghantar pada penemuan-penemuan teoretis dan praktis menakjubkan.
Saya pernah membaca Sartre dan Foucault bertahun silam seintensif saya membaca Nietzsche, sedikit Lacan, Derrida dan Baudrillard. Juga Mulla Sadra. Dari para filsuf ini, saya terperangah pada ontologi (secara gebyah-uyah) “Ada tanpa Ada” alias “keber-ada-an dalam keti-ada-an” sebagai “Cara Mengada” (ala Cartesian) dan “The Existance of Being” (ala Heidegger).
Maaf, biar lebih ramah, cukuplah pahami istilah filsafat itu sebagai “bagaimana menciptakan sesuatu (nalar/aksi) yang kenyataannya tidak ada tetapi (terasa) ada”.
Saya tak tahu pasti, apakah ada korelasi-epistemologi antara istilah “the absence of a forward” yang diadaptasi dari Sartre itu dengan istilah “nihilisme” Nietzsche, “diskontinuitas” Foucault, “The Real” Lacan, “differance” Derrida, “hiperrealitas atau galaksi simulakra” Baudrillard, dan “Al-Harakah al-Jauhariyah (transformasi substantif) Sadra. Tetapi saya tahu bahwa secara ontologis semua terma filsafat itu mengusung grand narasi yang sama, dan karenanya niscaya secara aksiologi bermuara pada dorongan tindakan yang sama.
Tanpa ampun saya memutuskan menjunjung Bang Edo setelah melahap bukunya ini, sebab buku ini membuat saya bahagia-bergairah, sebagaimana saya menjunjung Gus Mul (Agus Mulyadi) sebagai Raditya Dika-nya Jogja. Saya kira, Anda yang gemar sepak bola, juga filsafat, sangat perlu untuk membaca buku yang diterbitkan oleh Indie Book Corner (sebuah penerbit indie yang bermarkas di kedai kopi Nologaten Jogja) ini; sebuah buku yang membuktikan kepada Indonesia bahwa karya anak muda dan lokal, produk penerbit indie yang hobinya ngopi sembari cekikikan, tidaklah patut dipandang sebelah mata di hadapan buku bestseller international yang diterbitkan dengan asal-asalan oleh penerbit mayor, dari Jakarta pula.
Tentu, ini tidak perlu diotomatisasi bahwa semua produk penerbit mayor dari Jakarta (atau kota lainnya) segendang sepenarian dengan buku bagus Jonathan Black yang bernasib tragis itu di hadapan buku Bang Edo dan penerbit indie. Tidak. Jika Anda masih tega menyimpulkan demikian, hal itu tak ubahnya Anda membiarkan diri terus diracuni fitnah modernisme bahwa cantik adalah langsing; cantik adalah putih; bahagia adalah kaya; time is money; hingga kota adalah puncak peradaban manusia.
Kata Bang Edo, “…. Jika masih ada yang bersikeras mengatakan bahwa sejarah anarkisme dalam perjuangannya juga kerap bersinggungan dengan kekerasan, termasuk dalam lingkup sepak bola, jika benar demikian, mungkin Anda lupa bahwa cinta memang terkadang hanya bisa timbul melalui selongsong senapan, bukan lewat cokelat dalam Valentine’s Day.”
Ah, Bang Edo, betapa hippies-bojoable-nya kamu ini.
Sugeng enjang, Lur, please don’t judge a book by its cover, ya.
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Teguh Irawan
Tulisan sampean yang satu ini ko rasa-rasanya berbau promosi ya mas, jadi gimana gitu, duh.
Arqam maulan
Hahah ternyata Dia juga