Judul : Mencari Setangkai Daun Surga
Penulis : Anton Kurnia
Penerbit : IRCiSoD, Yogyakarta
Cetakan 1 : Februari 2016
Tebal : 384 hlm
Ada satu pertanyaan besar yang kerap menyergap kepala saya: mengapa orang-orang rela membayar mahal untuk sebuah seminar motivasi sukses padahal mereka niscaya tahu kesuksesan tak pernah digaransi oleh pemateri?
Saya teringat seorang kawan di titik ini, namanya Bush. Bukan orang Amerika, tetapi Nyabakan, Madura—sebuah wilayah pelosok yang bila Anda pernah tiba ke sana, pasti Anda akan bertanya dengan nada heran padanya: “Bagaimana kamu bisa tahu di dunia ini ada kota bernama Jogja?” Aslinya Busairi, agar keren dinukillah jadi Bush saja.
Ia punya Vespa tua, yang bila mengerem harus dibantu oleh terjangan kaki ke aspal. Bila seminggu saja Vespa itu tak mogok, itu mukjizat.
Suatu hari, ia berkisah betapa ia sangat ingin mengikuti sebuah seminar sukses bisnis di JEC. Tarifnya satu juta. Dengan menggebu, dia bilang, “Apa Vespaku dijual saja ya untuk beli tiket seminar itu?”
Kami ngakak. Sengakak-ngakaknya, meski wajahnya yang tak putih menjadi kehitaman. Ia lalu menukas dengan serius, “Aku juga ingin sukses!”
Ihwal ia jadi ikut seminar itu atau tidak, saya sepenuhnya lupa. Tetapi, keseriusannya untuk menjual Vespa andalannya demi mengikuti seminar sukses bisnis itu menyentak nalar saya kini: betapa semua orang membutuhkan harapan dalam hidupnya. “Orang boleh kehilangan segalanya, kecuali harapan, sebab harapan adalah yang terindah dalam hidup manusia.”
Sitiran dari pepatah Jerman ini termuat dalam kumpulan esai Anton Kurnia ini. Buku ini terdiri dari tiga kategori tema: politik, sastra, dan budaya.
Pada tema politik, Anton berperangai bagai seorang pengamat politik yang mendedah setiap kasus dan peristiwa politik di negeri ini, dari riah lagi pikuk musuh-musuh Jokowi hingga karakter gahar Ahok. Ia juga mengupas tentang pencekalan buku-buku oleh rezim penguasa hingga fakirnya atensi pemerintah terhadap jagat intelektualitas.
Pada tema sastra, dan ini mendapatkan porsi yang amat besar, Anton sangat ahli merekam dan mengulas begitu banyak pernik kesusesatraan dunia dan Indonesia. Ada begitu banyak tokoh sastrawan besar dunia yang di-review dengan kritis oleh Anton.
Jika Anda menggemari karya-karya Orhan Pamuk, misal, Anda akan mendapatkan banyak informasi yang detail tentang siapa Pamuk, bagaimana karya-karyanya, dan mengapa ia disebut pantas benar untuk menerima hadiah Nobel dengan ganjaran uang sebesar sebelas miliar. Perihal pemberontakan Pamuk pada “dua kutub dunia” (Timur dan Barat), yang terekam dengan bernas dalam buku Pamuk, Istanbul, juga dijadikan pintu masuk oleh Anton untuk melihat kejunilan Pamuk di hadapan sastrawan-sastrawan dunia lainnya.
Jika Anda menggemari bacaan bernuansa soliter, misal novel Gunung Jiwa karya Gao Xingjian yang lekat dengan risalah-risalah klasik dari tradisi Tao Te Cing dan I Cing, Anton mengupasnya dengan sangat baik. Novel yang dijuluki “pencarian jati diri dan kedamaian batin manusia” ini mengisahkan tentang dunia sunyi, jagat soliter, yang diyakini oleh banyak pemikir dan sastrawan besar sebagai “medium” mendapatkan ide, gagasan, dan ilham dari Semesta.
Anda pun akan mendapatkan kajian mendalam tentang Mo Yan, yang sangat dihormati sebagai penabal kejayaan Sastra Asia. Pun Anda akan menemukan esai memikat tentang karya-karya Haruki Murakami. Di dalam negeri, Anton juga mengulas banyak tokoh dan peristiwa sastra dan sejarah, seperti pidato Seno Gumira Ajidarma dan hikayat Soe Hok Gie yang mati muda. Dan, masih berbanjar lagi yang dikritisi oleh Anton di sini.
Pada tema kebudayaan, Anton banyak menyoroti tentang tata nilai kehidupan manusia dan relevansinya dengan dinamika kehidupan bangsa ini. Pada esai yang jadi judul buku ini, misal, Mencari Setangkai Daun Surga, ia menguarkan ilustrasi menarik tentang masa depan bangsa ini berdasarkan buku karya pengarang Belanda yang dibacanya di masa lalu, Cor de Bruijn.
Bahwa di tengah hiruk lagi pikuk yang amat kepalang pada dunia kita hari ini, di mana kualitas seseorang cenderung diukur berdasarkan ketebalan materi dan kekuatan kekuasannya, akan selalu ada orang yang mengorbankan dirinya hanya untuk kebaikan dan orang lain. Di tengah gemuruh politik yang dengan vulgar tanpa malu mementaskan praktik dagang sapi, transaksional, dan saling sandera—sehingga lisan bisa berbalik kepalang telak dari A menjadi Z hanya dalam hitungan hari—akan selalu ada “manusia martir” yang memperjuangkan “setangkai daun surga” untuk orang lain, bukan dirinya. Melalui para pejuang tanpa syahwat materi itu, yang mutlak makin langka, harapan untuk mendapatkan masa depan yang lebih cerah, lebih adil, lebih manusia, sebutlah civilized, menjadi setangkup asa yang tak layak ditinggalkan sama sekali.
Melalui semaian harapan, semua kita lantas menjadi memiliki optimism. Dari optimism, kita menjadi tergerakkan. Bergerak, sudah pasti, menjadi titik mula perjalanan yang paling asali untuk didenyarkan. Bukankah perjalanan sejauh apa pun akan dimulai seiring dengan langkah pertama? Di titik ini, saya teringat Bush, boleh jadi cetusannya untuk menjual Vespa andalan itu dihasratkan untuk memelihara harapan yang ia sadari amatlah penting untuk selalu dirawat. Dan, dugaan ini boleh jadi pula menjadi alasan utama mengapa seminar-seminar motivasi semahal apa pun selalu dipenuhi peminat. Manusia, faktanya, sangat membutuhkan mimpi!
Khas gaya esai Anton, kekuatan data, teori, dan analisis menjadi karakter yang dijamin menyenangkan siapa pun untuk diikuti. Nuansa reflektif kian menghadirkan keteduhan bagi setiap pembacanya. Anda sangat bisa membacanya dari halaman berapa pun, tanpa khawatir kehilangan kesinambungan apa pun dari buku berkelas ini. Tak heran, Ayu Utami sampai berkomentar, “Di tengah ‘hilang arah’ kritik sastra, mari menantikan Mencari Setangkai Daun Surga ini.”
Selamat membaca.
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019