Banyak orang melihat posisi sebagai orang kedua adalah posisi yang tidak menyenangkan. Orang kedua dalam urusan asmara dipersepsikan telah merebut sebagian posisi orang pertama. Tapi bagaimana publik mempersepsikan orang kedua dalam dunia penulisan buku atau riset? Dari pengamatan saya, publik tak banyak memberi apresiasi kepada orang kedua, bahkan cenderung melupakan. Padahal peran orang kedua tersebut tak bisa dianggap enteng.
Mau bukti? Mari kita mulai dengan nama Tom Rosentiel. Para jurnalis atau mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi tentu akrab dengan nama ini. Jika belum akrab, coba tengok buku The Element of Journalism yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme terbitan Pantau. Buku ini menjadi salah satu buku penting di dunia jurnalisme Indonesia. Dalam buku ini Tom berperan sebagai penulis kedua. Penulis pertama adalah Bill Kovach. Publik (terutama di Indonesia) kemudian lebih banyak mengenal nama Blill Kovach daripada Tom Rosentiel. Rentetan selanjutnya, buah pikiran Tom jarang dikaji oleh kalangan jurnalis atau akademisi di bidang jurnalistik di Indonesia.
Padahal Tom mempunyai karier dan prestasi yang cemerlang. Dia adalah seorang penulis buku yang produktif. Ia sudah menulis delapan buku yang kebanyakan tentang jurnalisme, di antaranya buku The Element of Journalism dan Blur yang ditulisnya bareng Bill Kovach. Satu buku fiksinya adalah sebuah novel tebal berjudul Shining City yang diterbitkan oleh Harper Collins pada tahun 2017. Selain itu, hasil-hasil riset dan pandangannya tentang dunia jurnalisme banyak dipublikasikan di jurnal ilmiah dan di situs tomrosenstiel.com. Karier jurnalistiknya juga tak perlu diragukan. Sejak tahun 2013 ia menjadi executive director di American Press Institute. Sederet penghargaan diraihnya, di antaranya dari University of Missouri Journalism School. Di Indonesia, majalah Tempo pernah mendapat penghargaan jurnalistik dari universitas tersebut.
Salah satu tulisannya yang sangat penting adalah konsepnya tentang berita sebagai kecerdasan kolaboratif atau collaborative intelligence dalam esainya berjudul “News as collaborative intelligence: Correcting the myths about news in the digital age” (2015). Tom mencoba menjawab kekhawatiran-kekhawatiran akan hilangnya jurnalisme setelah kehadiran citizen journalism dan perkembangan teknologi yang melahirkan bermacam perubahan dalam lanskap jurnalisme.
Menurut dia ada 3 prasyarat penting bagi jurnalisme untuk bisa “hidup” di era digital. Yakni teknologi, komunitas, dan jurnalis yang profesional. Tiga hal itulah yang disebutnya sebagai collaborative inteligence yang harus dipunyai media. Tom banyak menawarkan solusi untuk mengembalikan ruh jurnalisme di era media sosial seperti sekarang. Jadi tidak hanya sembilan elemen jurnalisme sebagaimana yang ditulis bersama Bill Kocach.
Selain Tom Rosentiel, ada nama yang perlu kita sebut juga di sini. Yakni Robert F. Bales (1916-2004), seorang profesor di Universitas Harvard. Bales melihat proses interaksi sosial di kelompok-kelompok kecil dan membuat alat ukur untuk mengamati peningkatan produktivitas mereka. Teori sosial Bales biasa disebut dengan SYMLOG atau System for the Multiple Level Observation of Groups.
Bales kemudian berkolaborasi dengan Talcott Parsons karena sama-sama berada di Universitas Harvard untuk melakukan riset interaksi sosial. Penelitian Bales kemudian memengaruhi Parsons dalam mengembangkan skema AGIL (adaptation, goal attainment, integration, latency) yang cukup dikenal di kalangan “masyarakat sosiologi” di Indonesia. Bersama Edward A. Shils dan Parsons, Bales menulis buku Working Papers in the Theory of Action (1953).
Skema AGIL yang dikembangkan Parsons sangat populer dan jarang yang menyinggung peran Bales. Salah satu penulis yang pernah menyinggung kontribusi Bales bagi teori Parsons adalah Doyle Paul Johnson dengan bukunya berjudul Teori Sosiologi Klasik dan Modern (2) terbit tahun 1986. Johnson menuturkan skema AGIL berangkat dari penelitian Bales pada kelompok kecil di tingkat mikro dalam sebuah laboratorium sosial yang dibuatnya. (hal: 128-129).
Boleh jadi ini sekadar perkara lumrah dan alamiah saja, yakni ketika nomor satu lebih di depan daripada nomor dua. Sebagaimana presiden dan wakil presiden atau kepala daerah dan wakil kepala daerah. Akan tetapi boleh jadi ini merupakan ketidakadilan publik kepada para penulis kedua. Saat menyebut buku Sembilan Elemen Jurnalisme, seseorang cukup dengan menyebut penulisnya adalah Bill Kovach tanpa mengikutkan nama Tom Rosentiel. Demikian juga saat mengutip atau mendiskusikan teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons dengan skema AGIL-nya, sangat jarang disebut nama Robert F. Bales.
Sebagai pembaca atau masyarakat yang peduli dengan kerja-kerja intelektual, sudah seharusnya kita memberikan apresiasi kepada orang-orang kedua yang sering terlupakan. Salah satu cara mengapresiasi paling sederhana adalah dengan menyebut namanya atas karya bersamanya, atau menyebut namanya saat mendiskusikannya. Karena saya yakin banyak sekali orang kedua yang dilupakan begitu saja, dan hanya fokus pada orang pertama.
Beberapa nama lain bisa kita sebut sebagai tambahan adalah Karen A. Foss. Karen adalah profesor di Universitas New Mexico. Ia dikenal sebagai seorang pemikir feminis tapi juga konsen di bidang ilmu komunikasi. Bersama John F. Littlejohn, ia menulis buku Theories of Human Communication hingga terbitan edisi 11 tahun 2017. Hampir sama dengan nama-nama di atas, Foss juga jarang sekali disebut saat seseorang mendiskusikan salah satu buku pegangan mahasiswa Ilmu Komunikasi tersebut.
Minimnya penghargaan publik pada orang kedua bisa dimaknai sebagai minimnya penghargaan pada proses kerjasama dan saling membantu dalam kerja-kerja intelektual. Padahal dalam setiap karya, selalu ada satu atau lebih orang yang terlibat di dalamnya. Selain itu, minimnya apresiasi kepada orang kedua juga bisa bermakna publik lebih menghargai kerja-kerja individual daripada kerja kolektif.
Jika benar demikian, maka hal ini perlu menjadi kekhawatiran bersama. Pasalnya ketika kita kurang memberi apresiasi pada kerjasama dan lebih menghargai kerja-kerja individual, maka dunia intelektual kita akan sulit bergerak dengan cepat. Memang perlu dilakukan sebuah riset untuk membuktikan korelasi antara penghargaan pada kerja kolektif di dunia intelektual dengan perkembangan ilmu pengetahuan, namun setidaknya kesimpulan sementara ini bisa memberi sedikit gambaran.
Karena pada kenyataannya riset-riset ilmiah sering kali dilakukan dalam bentuk tim. Karena dalam tim akan ada dialog pemikiran yang secara tidak langsung akan terus diasah untuk memperbarui dirinya. Kerja-kerja intelektual tidak mungkin dilakukan seorang diri dari awal hingga akhir. Dan fakta yang ada saat ini, Indonesia sangat miskin temuan-temuan meski lembaga riset cukup banyak. Pada tahun 2017, Indonesia terpuruk di peringkat 39 dari 45 negara versi Global Intellectual Property Center (GPIC) dalam hal produk temuan. Padahal Indonesia mempunyai 474 lembaga riset di bawah perguruan tinggi dan kementerian.
Nah, bagaimana menurutmu?
- Orang Kedua yang Sering Dilupakan - 30 August 2018
- Ketika Buku Tak Sekadar Kata-Kata yang Dijilid - 9 October 2017