I/
Pada suatu siang, saya membaca puisi yang terlampir di sampul undangan pernikahan. Saya merasa aneh, karena biasanya sebuah undangan tidak menyertakan puisi sebagai bagiannya. Yang sejauh itu saya tahu ialah terjemahan al-Qur’an beserta doa baik bagi mempelai. Tapi itu sesuatu yang saya duga puisi dan tanpa ada nama pengarangnya. Saya menduga itu puisi karena tulisannya berbait—sebagai awam saya masih culun untuk dapat mengenali apakah sebuah tulisan itu puisi atau bukan. Tapi berangsur saya meyakini kalau yang saya baca itu adalah puisi.
Reaksi saya seketika celingak-celinguk—semacam mengaktifkan daya telisik, untuk membawa lari undangan tersebut karena takut ketahuan ibu saya. Lalu saya menggunting lembar undangan yang memuat puisi itu. Aneh, saya seperti menemukan harta karun. Saya tak berniat menghafalkan tapi diam-diam saya dapat membacanya tanpa perlu melihat teksnya.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat disampaikan
Api kepada kayu yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kalimat yang tak sempat diucapkan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Itulah puisi yang terdapat di lampiran undangannya. Usia saya kalau tak salah 15 tahun ketika itu, tak selang berapa lama saya berangkat ke pondok dengan membawa kertas undangan yang sudah saya potong itu bersama kardus berisi makanan dan tetek-bengek bekal selama di pondok. Di hadapan teman-teman, di warung kopi, saya memamerkan puisi itu dengan cara deklamasi dengan misi agar mereka terpukau dan memuja saya. Dalam hati juga saya diam-diam ingin mereka memberi pengakuan betapa saya keren. Bahkan saya sempat tergoda untuk mendaku bahwa sayalah pengarang di balik puisi itu, selain karena saya benar-benar tak tahu siapa nama pengarang puisi tersebut, toh di lingkungan saya puisi masih menjadi makhluk asing sehingga nyaris tak ada yang tahu. Kalian tahu, betapa saya merasa tak menyesal pernah lugu dalam memperlakukan puisi dengan cara yang agaknya cukup wagu.
Tapi, di situlah agaknya Tuhan telah menyelamatkan saya dari dosa mendaku sesuatu yang bukan milik saya, karena mayoritas teman saya ternyata tidak takjub oleh kembang kata yang saya hamburkan dari puisi tersebut.
Kini saya selalu nyaris gemetar tiap mengingat kejadian itu. Bayangkan, andai saja teman-teman saya itu kagum terhadap puisi yang saya bacakan dan mereka kemudian menyebut saya sebagai pengarangnya. Wah…, sangat mungkin reputasiku sebagai santri—yang mempersiapkan diri hendak merintis jalan kepenyairan, akan runtuh digilas zaman. Tapi, bagaimanapun juga, kejadian tersebut sekaligus memberikan satu pemahaman kepada saya tentang ciri puisi yang baik. Puisi yang baik adalah puisi yang ketika dibaca membuat saya berpikir mengapa tidak saya saja yang menulis puisi itu. Puisi yang baik adalah yang mewakili perasaan pembaca atau pendengarnya. Puisi yang baik adalah puisi yang begitu dibaca membuat saya ingin mengumpat. Jancuk.
Dan puisi “Aku Ingin” itu bagi saya merupakan tidak hanya termasuk kategori puisi yang baik, melainkan juga memuat definisi puisi. Sebagai seseorang yang tidak berangkat dari latar belakang akademisi sastra, tentu cara mendefinisikan puisi menggunakan teori yang paling mudah saya pahami dan saya terapkan, selain karena akses untuk dapat membaca buku teori puisi berikut tata cara yang benar secara penulisannya tidak ada saat di pondok, juga saya memiliki semacam analogi untuk itu. Saya tak pernah membaca definisi cangkir tapi saya tahu bahwa itu cangkir—hanya dengan sering melihat dan menyentuhnya, meski bentuk dan warnanya bisa saja berbeda. Saya juga tak pernah membaca definisi cantik, tapi saya tahu kalau kekasihku cantik. Dan seterusnya. Ada banyak yang kita mengerti sesuatu tanpa lebih dulu membaca definisi hal tersebut.
Kini, bila ada yang bertanya apakah definisi puisi? Saya mungkin akan menjawab; bacalah puisi “Aku Ingin”. Dengan membacanya, definisi puisi akan menyusun dirinya sendiri. Begitulah kira-kira pengertian puisi setidaknya menurut saya.
Setahun kemudian, saya baru mengetahui kalau pengarangnya bernama Sapardi Djoko Damono, saat itu juga saya baru tahu wajah sepuhnya. Lewat internet. Saya merasa kagum sekaligus jengkel, mengapa orang sesepuh itu bisa menulis puisi seremaja ini? Ataukah seseorang yang sudah mencapai maqom kepenyairan yang kaffah, ia akan selalu memelihara jiwa kanak-kanaknya? Jiwa yang selalu memandang bahwa dunia ini hanyalah panggung untuk mendemonstrasikan cinta—di hadapan semesta raya ini.
Puisi “Aku Ingin” itulah antara lain yang semakin membuat saya bertekad untuk merintis jalan sunyi, jalan penyair—sebuah dunia yang menuntut saya untuk mengembangkan bakat melamun. Sampai bertahun-tahun kemudian, puisi “Aku Ingin” itulah yang menjadi landasan saya memperoleh hal baru dalam mempelajari puisi.
II/
Tahun 2014, sembilan tahun sejak saya baca undangan itu, ketika saya sudah berada di Mesir, puisi “Aku Ingin” masih terus berlangsung di dalam diri saya sebagai titian yang kelak akan mengantarkan saya menuju satu titik pencapaian. Saya agaknya telat menyadari bahwa modal utama untuk serius menekuni laku kepenyairan ialah mengoleksi buku-buku puisi. Berada jauh dari Indonesia membuat saya harus meningkatkan usaha dalam mencari buku-buku Sapardi. Saya tahu membaca buku puisi saja tak cukup menjadi bekal untuk menjadi penyair, tapi setidaknya memburu dan memiliki buku-buku Sapardi merupakan langkah yang efisien untuk menebus utang rasa atas betapa puisi “Aku Ingin” telah menuntun saya ke arah yang benar. Dengan demikian saya bertekad untuk membeli seluruh buku puisinya Sapardi, piyantun sepuh yang romantis itu.
Setelah mengadakan beragam penjelajahan digital, saya bertemu dengan Sulaiman, asisten di penerbit Editum, penerbit yang waktu itu didirikan oleh Sapardi sendiri untuk menerbitkan karya-karyanya dalam jumlah terbatas. Dari Sulaiman pula saya banyak mendapatkan buku-buku langka Sapardi. Tiap hari selama setahun, saya nyaris disibukkan dengan pencarian aneh. Saya tekun bertanya kepada penjual buku online terkait buku-buku Sapardi. Dan pendek kata, saat menulis ini, saya memiliki bukunya Sapardi lebih dari 50 judul.
Sulaiman pula yang kemudian menjadi juru bicara impian saya sejak lama. Saya mulanya iseng memberi tahu Sulaiman untuk diteruskan ke Sapardi tentang bagaimana saya sudah menerjemahkan beberapa puisinya ke dalam bahasa Arab. Saya sebut iseng karena sebenarnya puisi-puisi Sapardi saya jadikan sebagai kelinci percobaan dalam belajar menerjemahkan. Karena iseng itu pula saya tak memacak harapan akan dibalas oleh Sapardi. Siapalah saya—hanya seseorang yang kebetulan membeli buku-bukunya via Sulaiman. Bertepuk sebelah tangan merupakan kemungkinan paling relevan yang akan saya terima. Siapalah saya—hanya sebatang ilalang yang bahkan bisa bahagia hanya mendapatkan pancaran cahaya rembulan dari kejauhan. Membaca puisi-puisinya sudah terasa cukup.
Sampai suatu saat, seperti petir di siang bolong, Sulaiman membawa kabar dari semesta. Bahwa salam saya benar-benar disampaikan, bahwa hasil terjemahan puisi-puisi Sapardi yang saya lakukan benar-benar ditunjukkan ke beliau, bahwa Sulaiman bilang Sapardi meminta email saya. Bahwa saya merasa bagai kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Alangkah menakjubkan.
Selamat siang, Usman. Pertama-tama terima kasih telah menerjemahkan sajak-sajakku, semoga kebaikanmu diterima-Nya. Saya sangat senang karena penerjemahan itu tidak bersumber pada “perintah” atau “permintaan” dari aku, tetapi pada niat baikmu. Berikut ini aku kirim naskah buku puisi yang merupakan saudara muda HUJAN BULAN JUNI, berisi sajak-sajak yang dipilih dari terbitan tahun 2000-2015, semua jumlahnya 75 sajak. Hasif Amini ikut memilih sajak-sajak itu. Buku itu nanti judulnya MELIPAT JARAK, diterbitkan Gramedia hard-cover seperti HUJAN BULAN JUNI.
Kamu baca baik-baik, dan pertimbangkan yang mana yang baik, yang kausuka, yang mudah diterjemahkan — kalau bisa jumlahnya 75 sajak (terlalu banyak, ya?) sesuai umurku sekarang. Okay, take care. Salam untuk teman-teman yang sedang nyantrik di Kairo.
Wass.,
Sapardi
Saya lama termenung, membaca berulang kali isi email itu, merasa baru dapat menerima wahyu. Bagaimana mungkin, seorang begawan mengirimkan email begitu kepada bocah ingusan yang jangankan latar belakangnya diketahui, melihat foto saya saja mungkin beliau belum pernah. Bagaimana mungkin pujangga akbar Indonesia memercayakan penerjemahan puisinya kepada seorang bocah yang sedang tertatih menapaki rimba kesastraan? Saya seperti di ambang batas antara gembira dan cemas—gembira karena saya disapa penyair idola saya. Cemas karena dalam sapaan tersebut sekaligus mengandung tanggung jawab yang ekstrem.
Saya mencoba menyusun prespektif untuk saya olah sebagai argumentasi bahwa email tersebut benar-benar tak salah alamat. Saya tak pernah membayangkan akan ada suatu masa di mana Sapardi akan memberikan kepercayaan kepada seseorang yang sama sekali belum dikenalnya. Apalagi, melihat latar belakang beliau yang tak pernah bersentuhan dengan bahasa Arab, apakah beliau tak memikirkan bagaimana kalau terjemahan atas puisinya tersebut jauh dari kemungkinan untuk bisa disebut bagus secara kualitas? Ataukah penyerahan alih-bahasa tersebut beliau percayakan kepada saya hanya karena saya belajar di Mesir dengan praktis bahasa pengantarnya bahasa Arab?
Dari sejumlah pertanyaan yang saya ajukan untuk diri saya sendiri tersebut saya menemukan setidaknya beberapa pesan luhur: Eyang Sapardi menggarisbawahi bahwa siapa pun yang menerjemahkan harus memiliki kecintaan terhadap puisi-puisinya, sebab dengan demikian si penerjemah akan menemukan beragam kemudahan dalam mencerna maknanya, untuk kemudian diterjemah. Dan selanjutnya, beliau menyandarkan kepercayaannya terhadap orang yang belum atau baru saja dikenalnya di dalam prasangka baik. Prasangka baik? Ya. Berprasangka bahwa saya mampu mewujudkannya.
Sastrawan yang baik adalah sastrawan yang juga senang menerjemahkan. Itulah motivasi Sapardi kepada saya. Berangkat dari rasa campur aduk tersebut, saya menyambut proyek penerjemahan ini sebagai kegembiraan.
Sambil menyiapkan penerjemahan, Eyang Sapardi bertubi-tubi mengirimiku banyak sekali bukunya yang baru diterbitkan—dan di sela itu, saya ditawari mau apa. Saya tak pikir panjang, saya ingin topi kebanggaan beliau. Topi pet, topi paling lama yang dimilikinya dan paling sering dipakainya. Besoknya, beliau mengabari kalau topi itu sudah dikirim, sambil menyertakan foto beliau dengan Najwa Shihab dan Jokpin waktu acara di TIM. Dengan keterangan gambar: Iki topi sing dikirim. Wah.
III
Pertama yang saya lakukan dalam penerjemahan puisi-puisi Sapardi ialah menyeleksi seluruh puisinya, akan saya bawa pesan beliau dalam email Kamu baca baik-baik, dan pertimbangkan yang mana yang baik, yang kausuka, yang mudah diterjemahkan sebagai landasan menyortir. Ada tiga unsur dalam pesan tersebut, yang baik, yang kausuka, dan yang mudah. Ketiga unsur tersebut sangat penting sebagai bekal dalam menerjemahkan.
Sekitar dua minggu saya mengadakan satu upaya pemilahan puisi. Tentu saja ada banyak puisi yang saya singkirkan dan atau saya masukkan lagi, ada yang sejak awal saya sudah memutuskan, ada yang belakangan saya baru memilih puisinya. Ada yang baik, yang juga saya sukai, tapi sulit diterjemahkan. Ada yang mudah diterjemahkan tapi saya kurang cocok. Dan demikianlah saya memulai menerjemahkan puisi-puisinya—memilih puisi-puisinya seturut ketiga unsur tersebut.
Ada yang kemudian saya ambil beberapa bait saja dari buku Namaku Sita.
Perempuan itu tak bisa dieja
kecantikannya;
ia adalah kalimat utuh
yang tak cukup sekedar dilisankan,
dan baru mengandung jiwa
bila disenandungkan
yang hanya bisa terdengar getarnya
dalam upacara yang khusuk
di sudut-sudut ingatan
Bait di atas merupakan puisi panjang dari buku Namaku Sita, mulanya saya hendak memasukkan satu puisi panjang itu ke dalam materi yang mau saya terjemahkan, tapi urung saya lakukan mengingat terlampau panjang untuk saya garap. Selain karena kebingungan mengarabkan istilah “dalang”, juga puisinya terlalu panjang untuk daya kerja saya yang terbatas.
Sejak hari ketika email itu datang, saya melakukan kontak dengan Eyang Sapardi, dan dalam komunikasi itu lebih banyak pertanyaan terkait puisi-puisinya. Pertanyaan-pertanyaan pendek yang saya rasa muskil untuk saya urai maknanya, tentu sebelum saya menyodorkan pertanyaan itu saya menelisik lebih dulu via kamus.
“Kau bebas jender dalam kebanyakan puisiku, tapi bahasa Arab lebih baik jadi perempuan.”
Itu merupakan jawaban Eyang Sapardi saat saya bertanya apakah objek “Kau” dalam kebanyakan puisinya lebih baik ditulis sebagai lelaki atau perempuan. Dari jawaban itu, saya agak merasa bersalah telah mengira beliau tak pernah bersentuhan dengan bahasa Arab. Jawaban yang cukup membuat saya mengerti bahwa beliau ternyata melek terhadap bahasa Arab. Tapi, saya sungguh gembira mendapati bahwa eyang Sapardi ternyata sangat milenial untuk ukuran usia sesepuh itu, dialog demi dialog berlangsung dengan suasana yang sangat remaja. Antara lain dialog berikut ini.
Dalam puisi berjudul “Gadis Kecil”, saya bertanya. Kira-kira berapa usia Gadis Kecil yang dimaksudkan?
“SD kelas 5, sekitar usia 10 tahun.”
Dalam bahasa Arab, gadis kecil ada spesifikasinya untuk dapat disebut secara akurat. Ada banyak kategori Gadis Kecil seturut dengan varian usia. الطفلة , الغلامة , الصبية . Urutannya yaitu tiflah, shobiyah, ghulamah. Definisi tiflah yaitu perempuan antara rentang sejak lahir sampai bisa membedakan sesuatu, kira-kira usia 5 tahun, kemudian shobiyah, perempuan yang sudah tidak disapih sampai ia mimpi basah. Lalu ghulamah, ciri-cirinya kalau laki-kali ia yang jejak kumisnya sudah muncul, kira-kira usianya 15 tahun. Dengan demikian, saya memakai shobiyah untuk menerjemahkan Gadis Kecil—sesuai kategori yang sudah dikanonkan dalam Arab.
Dialog interaktif secara jarak jauh berlangsung layaknya seorang cucu dengan kakeknya. Pertanyaan-pertanyaan kecil seperti maksud diksi cericit, penghujan, nahu, ganggang, dan apakah boleh mengambil beberapa bait saja dari satu puisi panjang di buku Namaku Sita, juga apakah dalam sajak “Membebaskan Hujan”, si ‘Ada yang Ingin’ itu seseorang atau bukan. Dijawab oleh beliau dengan jawaban yang khas, jelas, dan bernas. Iya, orang, tetapi lebih mengacu ke pikirannya, dan bukan sosoknya.
Pertanyaan-pertanyaan saya ajukan sebagai upaya saya untuk lebih detail memahami maksud, sebelum kemudian saya lebih mudah dalam mencari kosakata yang relevan dalam penerjemahan. Tapi, sekaya-kayanya khazanah bahasa Arab ternyata masih ada lubang yang belum terisi. Saya menemukan diksi “gurindam”, kamus Munawir yang saya jadikan sebagai basis hanya memberi pengertiannya, bukan mengalih-bahasakan sebuah istilah. Bahwa gurindam merupakan satu dari jenis sajak. نوع من السجع
Tak juga dijelaskan lebih lanjut pengertiannya. Dari sisi ini, ada tradisi di Indonesia yang tak dimiliki oleh Arab. Saya belum menemukan syair Arab yang dalam bentuknya memper-memper gurindam. Gurindam merupakan jenis puisi lama dan struktur fisiknya terdiri dari dua bait, dan tiap bait terdiri dari dua baris kalimat dengan rima yang sama, sementara struktur batinnya memuat unsur didaktik. Akhirnya, saya mencari kemungkinan lain untuk dapat mengalih-bahasakan gurindam dalam Arab. Apa boleh buat, karena tak ada istilah yang pas, saya mengadakan ijtihad untuk menawarkan istilah gurindam dalam bahasa Arab. Yaitu Syi’rul Irsyad.
Setelah kira-kira tiga bulan lamanya saya menerjemahkan dengan kondisi kepala yang umup, saya baru memikirkan judul. Ada sejumlah opsi yang bakal saya pilih, tapi di antara opsi tersebut saya langsung sreg dengan judul DukaMu Abadi. Selain karena ia menjadi buku pertama yang diterbitkan oleh Sapardi, secara kalimat juga sangat musikal. Enak dilafalkan dan ikonik.
Saya semula tak tahu bagaimana selanjutnya nasib naskah penerjemahan ini, ketika masih dalam proses menerjemahkan, saya tak sempat memikirkannya. Tapi tiba-tiba Eyang Sapardi bertanya, apakah di Mesir sana tidak ada penerbit yang mau menerbitkan naskah kita?
Tiba-tiba saya teringat pada tahun 2014, saya pernah menghadiri peluncuran buku puisi berjudul al-Ba’in an al-Ain, oleh penyair Mesir, Saleem Shahbany, di Bait al-Sinnari, di bilangan Sayedah Zaenab. Saya ambil bukunya di rak dan melihat penerbitnya, tertera Dar Twetta. Dari situ mulailah terjadi percakapan dengan pihak penerbit. Prosesnya lumayan cepat. Saya kirim naskahnya sesuai petunjuk penerbit, dan seminggu kemudian diajak ketemu untuk pembicaraan soal nota kesepakatan.
Sebelumnya, saya meminta penyair Saleem Shahbany untuk turut terlibat dalam proses penyempurnaan naskah dengan menuliskan kata pengantar. Saya bertemu dua kali dengan Saleem, pertama di kafe wilayah Tahrir, dan saat itu ternyata Saleem tak sendirian. Ia mengajak beberapa seniman Mesir, antara lain novelis Basham Sharaf, musisi Hisyam Tawfiq, juga Aya Abdullah, seorang perempuan pemain musik kanon. Kedua kalinya saya bertemu di Cairo Book Fair. Dan di situ kami mengenalkan Sapardi Djoko Damono kepada mereka, juga membacakan beberapa puisinya yang sudah saya terjemah.
Saya janjian dengan direktur penerbit di sebuah kafe di bilangan Tahrir, letaknya di lorong antara flat yang menjulang, tertera di dinding sebuah tulisan Maqha Bustan Azzahra, Multaqo Fananin—tempat pertemuan para seniman. Nota kesepemahaman disodorkan dan saya tandatangani. Di tempat yang sama pula saya dan pihak penerbit memulai rencana pra cetak, yaitu proses edit. Proses editing ini memakan banyak waktu, tiga kali pertemuan dan masing-masing pertemuan sekitar delapan sampai sepuluh jam.
Sebenarnya, dari sekian proses editing ini, Khaled, editor yang dipasrahi penerbit itu, hanya ingin memasukkan kahanan atau suasana Arab di dalam puisi-puisi Sapardi yang sangat Indonesia. Secara gramatikal mungkin sudah benar, tapi akan menjadi janggal ketika puisi Indonesia yang diarabkan itu dibaca oleh orang Arab.
Seperti perkara sajak, di dalam judul puisi “Sajak Tafsir”, mengalami polemik yang begitu rumit. Dalam literatur Indonesia modern, Sajak yang dimaksud di situ sinonim dengan Puisi. Namun urusannya akan menjadi panjang bila Sajak, dalam pengertian Arab, tetap dipakai untuk Sajak Tafsir dalam Puisi Sapardi itu.
Eyel-eyelan antara saya dan Khaled berlangsung begitu seru, Khaled tetap berpendapat bahwa Sajak di situ tidak boleh digunakan dalam puisi itu karena melanggar kaidah umum. Sajak harus tersusun dengan memakai sejumlah unsur: Rawy, Mutharaf, Murosha’, Qofiyah. Sementara itu, isi puisi dalam Sajak Tafsir tidak memuat keempat unsur itu. Berulang kali saya sudah bilang kalau kata Sajak di situ murodif dengan puisi. Tapi Khaled telah menunjukkan watak orang Mesir secara asli. Yaitu ngeyelan. Ya sudah, daripada waktu habis untuk mengurusi kata Sajak, saya mengusulkan untuk mengubah judul menjadi Syi’ru at-Tafsir.
Ada banyak sekali istilah Arab yang baru saya tahu saat menerjemahkan, antara lain Bulan Juni, cukup diterjemahkan sebagai Khaziroon, tidak Syahru Yuniyu, yang selama itu saya tahu. Ada pula istilah yang membuat saya harus googling dulu untuk dapat menjelaskannya kepada Khaled, yaitu petai cina.
Tiga minggu proses editing itu berlangsung, dan akhirnya terbit seminggu sebelum Cairo Book Fair itu dibuka. Sebagai informasi, buku DukaMu Abadi itu akhirnya memiliki judul Arab: Hammuka Daimun. Tak ada cara lain. M sebagai huruf kapital dalam DukaMu, tak bisa diakomodasi oleh bahasa Arab. Pendek kata, penerjemahan ini belumlah final bahkan ketika naskah tersebut sudah menjadi buku. Penerjemahan ini mentok sebagai upaya untuk mengenalkan penyair Indonesia ke bangsa Arab—itu pun kalau boleh demikian.
IV
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Bulan Juni tampaknya tak sekadar abadi dalam puisi Sapardi, ia menjelma sebagai ruang yang di dalamnya menampung keinginan untuk sebuah pertemuan. Bulan Juni, tahun 2017, saya berencana pulang. Benar bahwa tak ada yang lebih tabah dari bulan Juni, sepuluh tahun berlangsung di dalam ketabahan akan sebuah pertemuan—di mana saya sama sekali tak pernah membayangkan bahwa puisi “Hujan Bulan Juni” dapat mewujudkan kontak artistik, bahwa akhirnya di bulan Juni tahun itu, telah terjadi pertemuan pertama saya dengan Sapardi. Seperti juga yang telah dituturkan—dirahasiakannya rintik rindunya/ kepada pohon berbunga itu.
Saya sowan ke rumah Sapardi untuk pertama kali di bulan Juni. Saya disuguhi kopi Jawa. Saya lebih banyak diam, lebih banyak mengamati gerak-gerik piyantun sepuh yang romantis itu, ada puisi yang berbinar di sepasang matanya—di sebelah saya ada pot bunga kecil: dibiarkannya yang tak terucapkan/ diserap akar pohon bunga itu. Tiga jam terasa sesaat. Kemudian, kudengar jam dinding seolah menuturkan puisi: Yang fana adalah waktu/ kita abadi.
Ketika pamit, Eyang Sapardi mengantarkan saya ke halaman rumahnya, dan topinya yang beliau kirim ke Kairo itu saya pakai sejak pertama masuk rumahnya yang asri. Tepat ketika saya salim dan mencium tangannya, beliau berkata dengan bahasa Jawa: Jebul topine pas yo dienggo gundulmu.
Usia saya sekitar 16 tahun ketika pertama kali membaca puisi “Aku Ingin”, di selembar undangan pernikahan, tanpa tahu siapa pengarangnya. Dan hidup selalu penuh dengan kejutan, sepuluh tahun kemudian, Sapardi mengundang saya untuk baca puisi sebagai pembuka acara dalam peluncuran bukunya Manuskrip Sajak di JCC, Jakarta. Sepuluh tahun kemudian sejak saya pertama kali membaca puisi “Aku Ingin”, saya berada di satu panggung di sebuah acara di kafe Basabasi, Jogja. Saya percaya bahwa saya tidak salah dalam mengidolakan seseorang, dan itu pula sebabnya Tuhan mengutus semesta untuk mengatur sejumlah pertemuan antara saya dengan si idola, yaitu Sapardi Djoko Damono.
Hidup penuh dengan kejutan, dan akan selalu begitu.
Kairo, Maret, 2020
- Pada Suatu Sapardi - 19 March 2020
- Puisi-Puisi Usman Arrumy; Elegi Kopi - 17 March 2020
- Kiai Wahid Zuhdi - 23 January 2020
KN Krise G
Min… Menjadikannya tiada e kok ada dua. Hayoo
Khairul Huda
Salam….
Menginspirasi.
Ternyata benar, pikiran itu tak pernah menjadi tua dan uzur.
yang abadi adalah kita
yang fana adalah waktu
Salam
Elyatul Muawanah
‘Ajiib bang usman
Serbet meja
Ada salah penulisan dalam puisi di atas.
“Api kepada kayu yang menjadikannya tiada”
Seharusnya.
Api kepada kayu yang menjadikannya abu
Arifah
Ah, saya iri sama kang usman.
EML
Menginspirasi dan mengharukan ceritanya :’)
wiar
merinding di akhir cerita. Betapa hidup memang penuh kejutan
Yuliasarie
Dan akupun menitikan air dari mata..
Dhito
Eyang…..