Pameran (Makna) di Kepala

Pada 1917, terbit buku berjudul 3 Kagoenaan atau Sifatnja Orang Tionghoa di Ini Hindia susunan Njoo Jo Tiek. Buku sudah seabad berlalu belum punah, tak ingin mampus. Buku kecil itu memuat iklan tutup kepala. Kita melihat, berharap ingat selera manusia-manusia di tanah jajahan dalam urusan mengenakan sesuatu di kepala. Iklan agak informatif meski orang boleh semakin ingin mengerti dengan melihat foto-foto lama.

Iklan dengan dua gambar tutup kepala. Judul bersahaja: “Ketoe iket boeat kaoem moeda.” Apa urusan tutup kepala cenderung melanda ke “kaum moeda” saat sedang gandrung kemodernan dan merasa zaman telah bergerak menuju segala baru. Dua gambar masih mengingatkan tata hidup lama dan baru. Tutup kepala di atas anggaplah baru. Gambar tutup kepala di bawah itu tampak lazim dikenakan manusia Jawa sejak lama.

Iklan buatan Ong Hok Bie beralamat di Tjojoedan Solo  itu rinci dan penuh, tak ingin menjadikan halaman iklan di buku mubazir. Pesan penting: “Dengen hormat! Djikaloek Toewan-toewan hendak tambah kaoentoengan dan membikin madjoenja Toewan poenja toko, saje harep Toewa sedia barang-barang goena boewat pakejan prijaji boemipoetra sahingga soedagar, jaitoe semoea soedah saja sedijaken sampik tjoekoep, seperti topo pet dari linnen poetih  compleet boeat segala prijaji….” Pelbagai jenis tutup kepala dan harga dicantumkan. Pembaca selaku pemilik usaha dagang diminta untuk belanja ke Ong Hok Bie dan menjualkan segala jenis tutup kepala agar meraih untung. Peran itu semakin menebar selera dan gengsi di kepala bagi kaum muda di Jawa.

Produksi tutup kepala tentu berlimpahan di saat Solo mengalami zaman bergerak. Pelbagai jenis topi dan blangkon di kepala menjadi pemadangan menakjubkan di jalan, ruang publik, stasiun, tempat hiburan, sekolah, dan tempat-tempat orang mengadakan politik. Sekian jenis tutup kepala pastilah ditempeli makna adat, kemajuan, agama, ideologi, dan jabatan. Di negeri sering diterpa matahari, pameran tutup kepala berarti pameran makna sedang dibentuk atau telanjur membaku sudah lama. Pameran itu menandai ada selaras perbedaan, permusuhan, atau sengketa. Kita agak kehilangan ingatan pameran saat kaum muda, kaum pergerakan, kaum bangsawan, kaum ulama, dan kaum saudagar di Jawa mengadakan  sarekat dan membuat peristiwa-peristiwa akbar turut mengubah lakon Jawa atau Hindia Belanda, sejak awal abad XX. Kita tak memiliki daftar lengkap tutup kepala mereka atau mewarisi untuk disimpan di museum.

* * *

Di kalangan jelata atau wong cilik, tutup kepala pun menandai identitas dan posisi. Mereka semakin tak ada dalam catatan saat segala sumber pendokumentasian belum mengarah ke urusan tutup kepala. Ingatan paling mengena mungkin caping. Kapan mereka bercaping dan melakukan pembaharuan makna demi segala perubahan zaman?  Di desa-desa Jawa, caping itu tutup kepala khas dalam tata kehidupan agraris. Petani bercaping untuk bertani atau menjalankan pelbagai peristiwa di desa. Caping terbuat dari bambu. Di desa, bambu-bambu bertumbuh di kebun dan pinggiran sungai.

Tutup kepala memberi ikatan ke pemakai pada tumbuhan, tanah, dan kosmologi desa. Kesanggupan membuat caping itu bermodal etos, estetika, dan etika. Caping untuk bekerja, bukan pamer kegagahan, kegantengan, dan kesombongan. Pengenaan caping menjadi bukti kemauan dan ketekunan bekerja: mengolah tanah dan percakapan romantis dengan alam. Caping itu kehormatan bagi manusia-manusia mau bekerja. Caping tentu tak elok digunakan saat pelesiran, bersantap di restoran, dan berpidato di mimbar politik. Caping itu keluguan dan kepantasan dalam kerja, bukan alat untuk pemanjaan hidup.

Ki Nartosabdo dalam Gending-Gending Djawi Saha Dolanan Gagrag Enggal (1969) menggubah tembang berjudul “Tjaping”, mengisahkan kerja para petani. Caping menjadi simbol gairah hidup dan insaf atas ikatan diri bersama alam. Lagu itu digubah dalam kebersahajaan: Tjaping, tjaping, tjaping, tjapinge/ Pantjen njata si tjaping paedahe/ Para tani makarja ing tengah sawah/ Nggaru, mluku, matjul sarta nandur/ Ajom ajem kudung tjaping/ Dasar pantjen praboite tetanen/ Wiwit njebar widji anganti panen/ Mangsa rendeng lan ketiga perlu uga nganggo tjaping/ Tjaping, tjaping, tjaping. Caping senantiasa dipakai petani tak melulu melindungi kepala dari sinar matahari dan hujan. Caping telah melekat dalam ritual dan kerja bertani, sejak menebar benih sampai panen. Petani tanpa caping mungkin terlihat aneh dan wagu.

Petani bercaping pun terpilih untuk beriklan. Tampilan khas petani itu mungkin dianggap menambahai gairah kalangan di desa lekas membeli Delfia. Iklan di majalah Minggu Pagi edisi 27 Januari 1957. Gambar besar petani bercaping membawa hasil bumi dan pesan gamblang: “Padi masak djagung mengupih. Keuntungan jang berganda bagi para petani. Djuga njonja akan memperoleh keuntungan jang sedemikian, djika selalu memakai Delfia, karena minjak goreng ini mendjamin kelezatan semua masakan. Delfia dapat dipakai berkali-kali dan tahan berpekan-pekan.” Kita agak bingung melihat petani dan imajinasi orang menggoreng makanan dengan Delfia. Kita pastikan petani itu bercaping saja.

Tutup kepala atau caping itu masih teringat meski belum masuk dalam daftar sejarah besar. Kebesaran para tokoh dalam sejarah Indonesia biasa diperlihatkan melalui penggunaan tutup kepala. Pangeran Diponegoro tampil beserban. Soekarno memilih peci untuk menjelaskan simbol nasional di masa penjajahan. Marco Kartodikromo dan Semaoen dalam foto tercakep biasa mengenakan topi khas Eropa. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Haji Misbcah dalam tampilan Jawa masih memungkinkan membuat gerakan revolusioner. Di kepala dua tokoh ganjil di Jawa itu tiada peci dan topi. Mereka mengenakan blangkon dan ikat kepala khas Jawa. Tampilan khas Tjipto Mangoenkoesoemo disajikan di sampul buku berjudul Dr Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati oleh M Balfas, terbitan Djambatan, 1952.

Pada masa pergerakan politik kebangsaan dan kemunculan elite terpelajar awal abad XX, pilihan tutup kepala biasa memicu polemik dan sengketa ideologis. Mereka saling mengajukan tuduhan dan argumentasi berdalih agama, identitas, nasionalisme, adat, dan modernitas. Di kepala, segala pameran tergelar dengan pelbagai risiko.

* * *

Dulu, pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah modern agar bumiputera melek aksara dan bisa bekerja di pelbagai instansi pemerintah. Sejak awal abad XX, muncul kaum elite terpelajar alias orang sekolahan. Mereka menempuh pendidikan guru, kedokteran, teknik, dan hukum. Di sekolah modern, mereka mempelajari ilmu dan tata cara kehidupan modern. Pembelajaran itu berbeda dengan aturan kolonial mengenai busana. Di STOVIA, murid-murid bumiputra mesti mengenakan busana adat agar ada pembeda identitas. Bagi murid-murid asal Jawa, mereka biasa mengenakan sarung, beskap, dan blangkon.

Kita bisa mengingat penampilan kaum elite terpelajar sebagai tokoh pergerakan kebangsaan. Mereka tampil mengenakan blangkon: Wahidin Soedirohoesodo, Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat, dan Radjiman Wediodiningrat. Mereka berblangkon, berdalih ekspresi kultural dan simbol dari kemauan menggerakkan perubahan atau “kemadjoean” tanpa meninggalkan akar sejarah. Penampilan berblangkon juga bisa jadi politis.

Blangkon perlahan menjadi ekspresi kultural-politik bagi kaum pergerakan kebangsaan di Jawa. Berblangkon adalah siasat mengukuhkan identitas. Politik tutup kepala menjadi pilihan menggenapi organisasi, pidato, dan tulisan. Sekian orang masih berblangkon meski “zaman bergerak” alias zaman berubah ke arah modern. Di film Guru Bangsa Tjokroaminoto garapan Garin Nugroho, kita melihat kaum pergerakan mengenakan blangkon. Semula, HOS Tjokroaminoto terbiasa mengenakan blangkon. Pertemuan dengan Agus Salim mengubah kebiasaan lama. Agus Salim menghadiahi peci berwarna hitam. Penggerak Sarekat Islam itu mulai memilih mengenakan peci berdalih memberi penjelasan identitas setara atau egaliter. Peci mengesankan anutan nasionalisme dan tak memihak ke etnis.

Di rumah beralamat di Paneleh, Surabaya, Soekarno menjadi saksi dari proses pemaknaan peci. Kesaksian menguatkan propaganda membesarkan nasionalisme melalui peci sebagai simbol nasional. Soekarno mengenang peminggiran blangkon pada masa 1920-an: “… jang menamakan dirinja kaum intelligensia, jang mendjauhkan diri dari saudara-saudaranja rakjat biasa, merasa terhina djika memakai blangkon, tutup kepala jang biasa dipakai orang Djawa dengan sarung” (Adams, 1966). Sikap kaum terpelajar itu “mengedjek dengan halus terhadap kelas-kelas jang lebih rendah.” Blangkon menjadi sumber polemik tentang intelektualitas, etnisitas, identitas, kemodernan, dan nasionalisme.

Tahun demi tahun berlalu. Sekian orang melepaskan blangkon tapi tutup kepala tradisional tak punah. Pemuatan iklan di Daulat Ra’jat edisi 10 Desember 1931 memberi ingatan makna blangkon dan nasionalisme. Iklan itu representasi pribumi masih menggunakan blangkon dalam dinas kerja, keseharian, atau ritual. Isi iklan: “Sanggoep membikin roepa-roepa model menoeroet maoenja jang pesan, djoega sedia jang soedah djadi. Harga dan oepah moerah. Boleh persaksikan!” Si pengiklan adalah Blangkonmakerij Oemarjo, beralamat di Gang Tanah Njonja No 35, Batavia. Iklan ini terus tampil dalam puluhan edisi Daulat Ra’jat, menjelaskan kerajinan blangkon turut mendanai penerbitan majalah kaum pergerakan kebangsaan.

Blangkon juga pernah menjadi kejutan. Tokoh bernama AR Baswedan (1908-1986) selaku pendiri Perhimpuan Arab Indonesia, pernah membuat heboh. Di surat kabar Mata Hari edisi 1 Agustus 1934, memuat foto A. R. Baswedan mengenakan beskap dan blangkon. Teks pengiring foto berisi kalimat: “Apakah foto ini meroepaken peranakan Arab dari generatie jang aken dateng?” Kehadiran foto itu menjelaskan kemauan berbaur (Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi AR Baswedan: Membangun Bangsa dan Merajut Keindonesiaan, 2014). Di kalangan peranakan Tionghoa, kemauan berbaur juga dibuktikan dengan mengenakan busana Jawa: beskap dan blangkon. Kita bisa mengenang ikhtiar Go Tik Swan saat ingin menjadi Jawa. Berblangkon menjadi simbol untuk mengerti Jawa. Blangkon perlahan menjelaskan identitas dan proses menjadi Jawa.

* * *

Cerita-cerita di Jawa itu berbeda dengan India. Novel berjudul Paria (2018) gubahan Mulk Raj Anand memuat cerita getir mengenai topi. Pemuda di kalangan paria memiliki obsesi mengenakan busana asing milik orang Inggris. Ia setiap hari bekerja membersihkan toilet dan dihinakan tapi menginginkan ada secuil girang dengan busana dan topi. Pada kalangan terhormat dan berkasta, ia melihat tutup kepala itu menjadikan anggun, gagah, dan pesona. Ia sangat bermimpi mengenakan topi. Hidup semakin hancur. Perasaan tak keruan. Makan tak cukup. Penghinaan semakin menumpuk. Ia menjadi paria dengan seribu kutukan. Di mata, ia melihat topi dan ia ingin mengenakan topi. Obsesi itu mengenaskan jika melihat India masa lalu dalam penjajahan dan sistem kasta.

Di Indonesia, obsesi topi melanda sejak awal awad XX tapi tak separah nasib paria di India. Pembentukan kaum revolusioner memerlukan beragam tutup kepala atau topi pada masa 1950-an sampai 1960-an. Topi pun dijadikan pendisiplinan agar jutaan murid patuh. Pada masa Orde Baru, Indonesia itu bertopi dengan pelbagai warna sesuai jenjang: SD, SMP, SMA. Bersekolah itu bertopi. Murid mengenakan topi berarti disiplin. Di mata penguasa, topi itu menandai murid-murid mengerti Indonesia dan menuruti petunjuk-petunjuk dalam capaian pendidikan nasional. Topi ada di kepala PNS demi menunaikan kerja-kerja diharapkan membenarkan pembangunan nasional.

Di luar patuh dan tertib, orang-orang memiliki hak memilih mengenakan topi mengacu selera beragam gara-gara melihat film, iklan,  foto, dan turis. Topi tak melulu ada oleh “seribu perintah” negara. Topi itu penciptaan gengsi, kecantikan, kegagahan, keasingan, kesenimanan, dan kebebasan. Topi demi topi bermunculan di Indonesia. Di jutaan kepala, topi-topi itu bersaing menebar ide tapi lekas usang, setelah produksi topi-topi baru terus bermunculan dengan pengiklanan fantastis. Di atas kepala, segala kerja mengadakan benda dan makna belum jua rampung meski tahun-tahun terus berlalu. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!