
Judul : Mati Ketawa Cara Slavoj Zizek
Penulis : Slavoj Zizek
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : Pertama, Mei 2016
Tebal : vi + 130 hlm.; 14 x 20,3 cm
ISBN : 978-979-1260-58-9
Sudah dengar banyolan mahasiswa di masa Orde Baru?
Di zaman itu mahasiswa bukan saja agen perubahan, namun juga agen pemasyarakatan banyolan cabul (obscene joke), banyolan penghinaan etnis (ethnic slur), dan banyolan kurang ajar lainnya. Bagi mahasiswa Orde Baru, “yang ngetop itu lelucon teka-teki benda yang bentuknya bulat panjang, warnanya dekil, letaknya di antara paha lelaki, suka dipencet dan ditekan keras-keras, jawabannya rem becak!” (Badil, dkk., 2016: 36). Salah seorang mahasiswa Universitas Indonesia (pada zamannya) sekaligus dedengkot Warkop, Kasino, mengaku, “mau folklor kek, apalagi yang faklor yang cerita pake fak-fak itu, gue suka buat modal siaran dan di acara, ya acara faklor yang jorok itu sebagai folklor menjadi ilmiah ya, hehe.”
Bapak folklor Indonesia, James Danandjaja, mengategorikan banyolan-banyolan cabul nan kurang ajar yang digemari para mahasiswa sebagai folklor. Banyolan cabul, bagi Danandjaja, pantas mendapat tempat dalam kajian ilmiah. Sebab, banyolan cabul menyimpan berbagai rahasia, berbagai misi, tidak sekadar mengekspresikan berahi lewat canda tawa. Dalam banyolan cabul yang beredar di kalangan mahasiswa Orde Baru, ada muatan politis yang dibawa. Kebebasan berpendapat di masa itu, sebagaimana kita tahu, belum seleluasa zaman ini. Maka, untuk menyembunyikan kritik, makian, dan umpatan terhadap rezim, mahasiswa memakai banyolan-banyolan kurang ajar sebagai ekspresi mereka.
Namun, bagi Slavoj Zizek, banyolan cabul diposisikan lebih tinggi lagi. Banyolan cabul dibikin melangit, sampai ke ranah politik global, filsafat, bahkan agama, Tuhan, dan serba-serbi akhirat. Filsuf Slovenia tersebut menghimpun berbagai banyolan kurang ajar dalam Zizek’s Jokes (2014), yang diterjemahkan penerbit Marjin Kiri dengan judul Mati Ketawa Cara Slavoj Zizek. Sebagai pewaris psikoanalisis Lacanian, Zizek paham betul bagaimana meramu dan menafsir berbagai banyolan ihwal perkara seks. Misalnya, “benda apa yang paling ringan di muka bumi?—Falus, karena itu satu-satunya benda yang bisa diangkat hanya dengan pikiran.” (hlm. 123)
Banyolan cabul yang dihimpun Zizek banyak yang mengandung muatan lainnya. Banyolan cabul (obscene joke) dalam Mati Ketawa Cara Slavoj Zizek kerap berkelindan dengan lelucon penghinaan etnis (ethnic slur), yang oleh kalangan kita dianggap SARA (menyinggung suku, agama, ras, antargolongan). Salah satu banyolan kurang ajar adalah soal kematian Bill Clinton yang lihai merayu perempuan, dan Paus sang manusia suci. Konon, mereka berdua meninggal pada hari yang sama. Namun, gara-gara kesalahan administrasi akhirat, Clinton malah masuk surga dan Paus dijebloskan ke neraka. Lalu, setelah kekeliruan ini disadari, keduanya diperintahkan bertukar tempat. Di perjalanan, Paus berpapasan dengan Clinton, dan bertanya bagaimana rupa perawan Maria. Clinton enteng menjawab, “Maaf ya, sekarang dia sudah tidak lagi perawan.” (hlm. 15)
Dari dua contoh banyolan Zizek yang dikutip di sini, kita sudah bisa menyepakati komentar Slate di sampul belakang buku, bahwa Zizek adalah “bedebah kelas dunia”. Meski demikian, banyolan standar Zizek belum tentu membuat semua orang tertawa. Kalau bikin marah, barangkali lebih mudah. Sebab, untuk memahami (dan menertawai) banyolan Zizek, bukan saja membutuhkan imajinasi nakal belaka, namun juga wawasan sastra, filsafat, dan politik. Referensi film seumpama Monty Phyton’s The Meaning of Life (1983) juga membantu. Zizek menyiratkan bahwa banyolan bukan sekadar hiburan, namun juga perlu dipikirkan dan diwacanakan.
Impresi yang didapat dari Mati Ketawa Cara Slavoj Zizek juga akan berbeda kalau pembaca sudah lebih dahulu menonton film-film Zizek. Kecenderungan Zizek memakai tradisi Yahudi dan Katolik, serta relatif sedikit memakai agama samawi lainnya (Islam) sudah terlacak sejak dalam film The Pervert’s Guide to Ideology (2012). Dari film dan bukunya, kita dapat merasakan betapa Zizek sangat menggebu-gebu kalau sudah bikin obrolan dan banyolan yang berangkat dari tradisi Yahudi dan Katolik. Bagi kita yang sudah menonton film Zizek, satu lagi yang tidak terelakkan adalah terbayangnya gaya bicara Zizek yang cepat, dan kebanyakan bilang “and so on” itu, ketika membaca buku tersebut.
Diterjemahkannya buku ini ke bahasa Indonesia patut disyukuri, terutama karena diksinya cukup mudah dicerna pembaca kita. Oleh karena buku Zizek berisi banyolan-banyolan, tentu bahasa yang digunakan tak boleh kelewat baku. Diksi sehari-hari, dan tentu saja kata-kata cabul, akan sering dijumpai di sekujur buku ini. Tapi, sebagaimana Friedrich Nietzsche, yang konon karyanya terlalu filosofis untuk ukuran sastra, serta terlalu puitis untuk standar teks filsafat, Zizek juga demikian. Mati Ketawa Cara Slavoj Zizek boleh dibilang terlalu serius untuk ukuran humor, dan terlalu membanyol untuk standar teks filsafat. Semoga tidak ada yang benar-benar mati dengan cara ketawa Zizek ini. []
- Yang Meronta dalam Sangkar - 22 February 2020
- Filsafat sebagai Laku Hidup - 7 December 2019
- Obrolan Tanpa Kepakaran - 31 August 2019