Panggilan dan “Paling”

Ajip Rosidi (2010) tanpa ragu mengumbar pujian pada Asrul Sani (10 Juni 1926-11 Januari 2004): “… seorang putra bangsa Indonesia yang paling cerdas dan bijak dalam mengartikulasikan pikirannya.” Orang-orang Indonesia gampang menggunakan “paling” untuk membuat orang sulit membantah. “Paling” itu milik Asrul Sani? Pengakuan masih diberikan Ajip Rosidi: “Bacaannya sangat luas berkat penguasaan bahasa-bahasa modern seperti Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman, konon pula Spanyol. Dialah intelektual dalam artinya yang paling baik. Bahasanya jernih, bukan saja tertulis, melainkan juga yang diucapkan secara lisan.”

Kita ikhlaskan saja tokoh di sastra dan film Indonesia itu sering mendapatkan “paling” dalam pelbagai hal. Pemiliki “paling” tentu sulit ditandingi. Kita boleh turut mengakui “paling” dengan mengingat babak-babak menentukan, sejak bocah sampai tua. Asrul Sani memang pembaca rakus. Buku pemberian pertama dari ibu berjudul Kancil yang Cerdik terbitan Balai Pustaka. Hadiah itu diperoleh saat masih bocah bersekolah di HIS (Hollands Inlandsche School). Ia mengaku: “… sebagai anak kecil, tidak ada yang luar biasa dari saya.” Pengakuan jujur dimuat di Tempo, 3 Februari 1990. Pada saat masih bocah, kewajaran itu menjadi “paling” di masa dewasa. Asrul Sani itu manusia “paling” di arus sastra dan film Indonesia, sejak masa 1940-an.

Ia kelahiran 10 Juni 1926 di Sumatra Barat. Sejak kecil keranjingan membaca buku. Bacaan kesukaan adalah novel terjemahan dan novel-novel awal terbitan Balai Pustaka. Pada masa 1930-an, ia bertumbuh menjadi remaja, berpindah ke Jakarta. Ia mengaku bukan murid pintar di sekolah. Hari-hari terasa menjemukan berkaitan pelajaran-pelajaran di sekolah. Ia di kebimbangan tak kunjung usai. Tahun-tahun murung berubah pada masa 1940-an.

Perubahan tejadi gara-gara tumpukan buku di kamar. Asrul Sani melihat buku mengenai sejarah kesusastraan Yunani. Di situ, ia membaca ada puisi-puisi. Asrul Sani mulai berpikiran dan tergoda menggubah puisi dipicu kagum dan lugu. Gairah sastra semakin membara saat bersekolah di Taman Siswa. Ia mulai menggubah puisi-puisi. Sebiji puisi berhasil dimuat di majalah Pemandangan. Lelaki tak murung lagi itu mulai memiliki gengsi di mata teman-teman.

Ia memenuhi panggilan sastra. Pada suatu hari, Asrul Sani bertemu Chairil Anwar di Pasar Senen, Jakarta. Mereka lekas akrab, berjalan bersama di sastra. Pertemanan memuat aksi pencurian buku di Toko Van Dorp. Persekongkolan gagal. Mereka berniat mencuri buku Nietzsche tapi malah mengambil Injil. Babak membaca buku dan menggubah puisi semakin menderas. Situasi pendudukan Jepang ditanggapi dengan bersastra. Dua orang itu saling memberi pengaruh,  bersekutu di misi bersastra masa revolusi. Mereka bersama di buku puisi berjudul Tiga Menguak Takdir dan “mengikat mufakat” di Surat Kepertjajaan Gelanggang.

Asrul Sani memiliki dokumentasi dalam mengenang diri dan situasi sastra masa 1940-an dan 1950-an dalam buku berjudul Surat-Surat Kepercayaan (1997). Surat ditulis Asrul Sani dengan restu teman-teman itu selesai disusun 18 Februari 1950. Surat diakhiri janji-pengharapan: “Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masjarakat) adalah penghargaan orang-orang jang mengetahui adanja saling pengaruh antara masjarakat dan seniman.” Isi surat itu dilanjutkan Asrul Sani di tulisan pendek dijuduli “Surat Kepertjaan” dimuat di Gelanggang, Desember 1966. Ia menulis: “Tidak usah dikatakan lagi bahwa kita adalah penentang jang keras pendirian ‘politik adalah panglima’. Pendirian ini telah menghambat kebebasan seniman dan telah mendjadikan seluruh kehidupan kreatif mendjadi korup.” Surat kedua diumumkan setelah orang-orang cenderung mengenali Asrul Sani adalah tokoh perfilman ketimbang menempuhi jalan sastra.

Pada masa 1950-an, Asrul Sani sibuk di film. Ajip Rosidi menganggap pengaruh Asrul Sani di film lebih menguat ketimbang sastra. “Asrul Sani mulai terjun ke dunia film dengan menjadi penulis skenario – pekerjaan yang terus dia tekuni hampir sampai akhir hayatnya,” tulis Ajip Rosidi. Sekian skenario film mendapat ganjaran Piala Citra. Ia tetap saja memiliki pengaruh di sastra dengan penerbitan buku puisi berjudul Mantera (1975) dan buku kumpulan cerita berjudul Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat (1972).

Pada babak permulaan, ia itu penggubah puisi. Peran di perpuisian mendapat pengakuan dari HB Jassin dengan memilih sekian puisi Asrul Sani dimuat dalam buku Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (1948). Di situ, kita membaca puisi berjudul “Anak Laut” memiliki bait heroik: Sekali aku pergi/ dengan perahu/ kenegeri djauhan/ dan menjanji/ kekasih hati/ lagu merindukan daku.// Tenggelam matahari/ ufuk sana tiada njata/ bajang-bajang bergerak perlahan/ aku kembali kepadanja. Puisi jarang dihafalkan murid-murid sekolah. Puisi-puisi gubahan Asrul Sani tak sememikat puisi-puisi gubahan Chairil Anwar. Asrul Sani cenderung pemikir. Ia malah bisa diakui pantas dipuji “paling” dalam penulisan esai-esai. Konon, ia telah mengerti: “puisi tak lagi memenuhi kebutuhan.”

Pada masa 1950-an, ia menempuhi jalan esai. Asrul Sani di Tempo, 3 Februari 1990, mengatakan: “Esai merupakan hasil pemikiran spekulatif yang sangat subjektif.” Pengakuan berjarak puluhan tahun lalu saat ia rajin mengajukan esai-esai ke pembaca. Urusan esai, Asrul Sani memberikan sikap melalui tulisan berjudul “Surat Singkat Tentang Esai”, diumumkan di majalah Siasat, 1 April 1951.

Kita mengutip sekian kalimat sambil menduga posisi esai di kesusastraan Indonesia masa 1950-an. Penjelasan Asrul Sani: “Esai adalah pintu bersembunji dari kehendak jang hendak mengatakan ‘beginilah sebenarnja’. Djadi, esai adalah permintaan kerelaan.” Surat itu seperti klarifikasi dari situasi sastra rawan saling merendahkan dan bersengketa. Asrul Sani berkata bijak: “… maka tidak ada gunanja kita mempertengkarkan apakah seorang esais lebih rendah atau lebih tinggi dari penjair atau pengarang roman.” Pesan bijak itu terus berlaku di Indonesia abad XXI. Pada masa lalu, esai di kebimbangan, tak terakui pasti ketimbang cerita pendek, puisi, dan novel. “Kebimbangan untuk mula-mula mengakui esai sebagai hasil seni, ialah karena esai lebih lagi daripada sadjak bergantung pada zaman hidup pembikinnja, sehingga harga abadinja agak dilalaikan orang,” sejumput renungan Asrul Sani.

Pada masa sibuk di film, tema-tema esai berganti dari sastra ke film. Asrul Sani teranggap rajin menulis tentang film, bersaing dengan Usmar Ismail dan Rosihan Anwar. Esai-esai perfilman turut menggairahkan babak awal film nasional di Indonesia. Film memerlukan perbincangan serius mengacu tulisan-tulisan, tak melulu bergantung tatapan mata ke “lajar putih.” Asrul Sani adalah orang film tapi memiliki peran tambahan mencipta debat perfilman. Kemahiran menulis esai memungkinkan ia sanggup ada di perbantahan dan pengajuan ide-ide kemajuan untuk film Indonesia.

Ikhtiar memajukan film menemui belokan-belokan kecewa pada masa 1990-an. Film Indonesia sedang redup, memburuk, dan memelas. Pada 1992, Asrul Sani masih sanggup bersuara tentang film. Ia memberi kritik atas tumpukan kecewa dengan membuat bandingan tapakan-tapakan sejak masa 1950-an. “Film Indonesia mengalami pasang-surut dan berada di titiknya yang terendah,” kata Asrul Sani. Ia berhak kecewa meski tak kentara memberi perhatian ke sastra. Pada masa 1990-an, sastra Indonesia terus subur dan memiliki capaian-capaian estetis dan politis. Asrul Sani sudah mengurangi jatah menulis esai-esai bertema sastra. Tatapan sastra malah cenderung harus berkaitan dengan film. Ia muncul sebagai penggarap novel-novel ke film, sebelum sekarang ada selera berlebihan untuk novel ke film atau film ke novel.

Asrul Sani telah kenangan dalam sastra dan film. Pada 1953, Asrul Sani memberi petuah: “Menulis tentang kesusastraan ialah menulis perihal derita, kegembiraan, kepahitan, dan kemanisan jang telah dialami, pengalaman jang telah djadi kesadaran dan kemudian beroleh bentuk dalam kata jang membentuk kalimat dan kalimat jang mendjadikan karangan” Petuah itu tertinggal di belakang saat Asrul Sani mulai menulis skenario dan esai-esai bertema film.

Kita mulai berterima dengan pemberian “paling” oleh Ajip Rosidi. “Paling” itu terasa di film ketimbang di sastra. Asrul Sani tetap tercatat di buku besar sastra meski sengaja “melambatkan” perjalanan setelah kepencut film. Ia memang “paling” asal kita mengenali dan terhindar dari ketularan lupa. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!