Para Lelaki Berkacamata

Lelaki tak bermata bening dan lembut. Tampang pun sulit disahkan ganteng. Ia bernama Jeihan Sukmantoro, pelukis dan pujangga mbeling. Gagal memiliki mata paling memikat bagi ribuan perempuan, ia memilih melukis manusia-manusia bermata hitam. Ia malas melukis manusia berkacamata. Pilihan mata hitam sempat membikin geger. Mata itu menakutkan. Mata itu duka paling diam. Di lukisan-lukisan, Jeihan menaruh mata hitam. Di puisi, Jeihan pun mbeling pada mata. Kita membaca puisi berjudul “Mata” gubahan Jeihan, ditulis tahun 1974. Puisi lucu: seorang dokter mata menguji penglihatan seorang pasien/ dan berkata, baca ini:/ ZAMAN KITA/ si pasien kemudian membacanya:/ ZAMAN GILA/ maka sang dokter memberi ia kacamata jengkol. Puisi mustahil masuk daftar 100 puisi terpuji di Indonesia sepanjang masa. Puisi itu mendekam di buku berjudul Mata Mbeling Jeihan (2000).

Pandangan mata rusak atau terganggu meminta pengobatan. Alat diperlukan untuk membuat mata melihat jelas. Pasien dalam puisi Jeihan telanjur menganut ngawurisme. Ia tak mendapat kacamata elok. Mata tetap membaca. Salah mengeja membuktikan mata itu sakit. Jeihan sedang berlelucon, tak menginginkan puisi terpilih dalam propaganda kewarasan nasional. Kacamata di masa 1970-an mengisahkan tatanan hidup di Indonesia sedang guncang. Politik masih semrawut. Adab terus amburadul. Jeihan pun mengingat pilihan kata dari pujangga terlalu moncer di Jawa untuk memberi sebutan Indonesia masuk di zaman gila. Puisi Jeihan mengabarkan situasi guncang saat Indonesia memiliki tokoh seribu perintah: Soeharto. Jeihan memilih menulis masa 1970-an, tak ingin membuat perbandingan dengan masa lalu saat Indonesia dipaksa “bertoean” Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang, kacamata penting banget untuk melihat seribu muslihat dan propaganda politis. Jepang menabur janji, memberi petaka. Indonesia dilanda sakit parah. Orang-orang menanggung duka tapi susah melawan. Pandangan mata mereka sakit. Perasaan semakin kelabu. Pikiran sering bubrah. Imajinasi hidup ditimpa perintah deras untuk pematuhan kolosal.

Di depan mata kaum kelaparan dan berduka, Jepang mencipta sandiwara brengsek dan picisan. Mata pun pedih dan buram. Di majalah Pandji Poestaka, 20 Maret 1943, penderita sakit mata dipameri iklan hitam-putih. Iklan diselenggarakan Asia Katja Mata, beralamat di Jalan Kramat 14 B, Jakarta. Iklan itu bujukan: “Toean poenja mata ada harta jang moelia. Djagalah mata djangan sampai roesak. Periksa toean poenja mata ditempat kita dengan tidak bajar. Menerima resep dokter. Harga berdamai.” Mata di masa lalu ingin waras meski melihat lakon buruk dan busuk.

Sejarah kacamata berlatar politik tampil mengejutkan dalam bentuk iklan di Soeara Moeslimin Indonesia edisi 15 Januari 1943. Situasi pendudukan Jepang membuat jutaan orang dalam kecemasan dan kecurigaan. Pelbagai peristiwa sering dihadiri oleh mata-mata demi kepentingan merdeka, dominasi militer, dan tertib sosial-politik. Toko Asia Katja Mata membuat iklan heboh berbeda dari iklan di Pandji Poestaka: “Awas mata-mata moesoeh. Berkata pelihara lidah. Mendengar pelihara telinga. Melihat pelihara mata. Karena koerang njata mendatangkan tjelaka. Lawan tersangka kawan. Oleh sebab itoe pakailah selaloe katja mata dari Asia Katja Mata.” Iklan memang propaganda demi laba, bersaing dengan propaganda nasionalisme dan militer Jepang.

Pada masa penjajahan Belanda, mata kaum bumiputra pun dilukai oleh miskin, lapar, bodoh, dan penghinaan. Belanda memandang Indonesia itu tanah jajahan. Sekian pejabat dan sarjana Belanda memang berkacamata tapi rakus dan sinis. Mata kekuasaan menghinakan Indonesia. Mata keilmuan menjadikan Indonesia itu studi abai pemuliaan hak-hak bumiputra. Mereka berkacamata dengan pamrih-pamrih kolonialisme. Kaum bumiputra dipaksa melihat dengan mata terduka.

Di majalah Kadjawen edisi 25 April 1939, iklan kecil bagi pemilik mata sedang sakit atau bermasalah. Iklan berbahasa Jawa: “Sampoen kakendelaken ngantos tingal risak. Kedah ngagem tismak ingkang sae saestoe. Koela sadija tismak warna-warni model enggal regi mirah, kontan oetawi tjitjilan.” Iklan oleh Toko JH Goldberg, memiliki alamat di Surabaya, Batavia, Malang, dan Jogjakarta. Tismak itu kacamata. Sutan Mohamad Zain dalam buku berjudul Djalan Bahasa Indonesia (1954) menganggap tismak atau tasmak adalah kata diperoleh dari bahasa Parsi. Di tanah jajahan, orang boleh berkacamata tanpa keangkuhan minta dihormati selaku elite terpelajar, pejabat, atau saudagar. Sekian kaum pergerakan politik kebangsaan pun berkacamat tapi mereka menggunakan kacamata untuk meralat atau mengubah tatapan kolonialisme.

* * *

Kacamata pada masa kolonial dan Orde Baru sempat digenapi tawaran bagi jemaah haji. Mata untuk beribadah di Tanah Suci digoda memiliki alat perlindungan. Alat itu bernama kacamata. Orang mau pergi haji harap berpikiran mengenakan kacamata atau pasrah pada situasi di Tanah Suci (Tempo, 25 Juni 1988). Iklan buatan Optik Melawai: “Menunaikan ibadah haji jangan lupa membawa kacamata khusus lengkap dengan rantainya.” Pilihan berkacamata bagi lelaki bakal serupa dengan gambar tokoh di iklan. Lelaki itu berkerudung dan berkacamata. Mata pembaca agak kabur tentu mengingat lelaki di iklan itu mirip tokoh wagu di Orkes Moral Pengantar Minum Racun.

Di Tanah Suci, mata orang melihat dengan takjub dan penasaran atas segala hal. Mata pun sering melihat kejadian-kejadian mengingatkan hidup-mati. Orang bermata bening melihat diri bergelimang dosa ingin bertobat. Kepasrahan berubah saat orang mengenakan kacamata setelah menerima argumentasi pengiklan: “Silaunya sinar matahari di Tanah Suci dapat diatasi dengan lensa khusus. Optik Melawai menyediakan lensa kacamata normal atau ukuran baik single vision atau bifocal dengan perlindungan khusus terhadap radiasi sinar ultra violet dari matahari.”

Kini, kita terbiasa melihat artis atau para tokoh kondang pamer foto saat menjalankan haji dengan foto diri mengenakan kacamata hitam berukuran besar. Mereka sedang tak berlindung dari debu atau sinar matahari. Mereka sedang ingin beken. Berkacamata di Tanah Suci untuk umrah atau haji mungkin mendingan asal dibandingkan kegandrungan lelaki berkacamata di Indonesia. Industri hiburan, puja artis, iklan, dan adab kota mengajarkan orang-orang Indonesia menjadikan kacamata penting dalam pelbagai adegan.

Lelaki di iklan rokok, minuman, atau otomotif sering mengenakan kacamata hitam. Orang-orang berpotret di pantai memilih mengenakan kacamata. Adegan orang sedang membaca buku atau koran sering ditampilkan dengan kacamata. Konon, orang berkacamata itu pintar. Tuduhan pintar bersaing ketetapan melihat tampang preman atau gali sering berlindung di kacamata. Cerita pop kacamata semakin bertambah dengan cara para pemusik untuk mengesankan kelawasan melalui kacamata. Naif tentu pengingat dari para lelaki lawas berkacamata tanpa melarang mata jelalatan.

* * *

Tanah jajahan menerima benda-benda baru dari negeri-negeri jauh. Semula, kacamata asing dan dipakai orang-orang asing. Kedatangan benda itu menceritakan intelektualitas, identitas, dan kelas sosial. Cerita mengenai kacamata pun menguak kesibukan orang berfilsafat, bersastra, berilmu, berpolitik. Manusia-manusia di Eropa mengenakan kacamata menandai diri dengan imbuhan-imbuah keparlentean, kesopanan umum, dan pesona zaman. Foto para tokoh moncer masa lalu tampil berkacamata.

Di Indonesia, pemakai kacamata di kalangan bumiputra tak mutlak berkiblat ke mitos-mitos berkacamata di Eropa dan Amerika. Kita belum memiliki daftar lengkap tokoh besar atau pembesar mengenakan kacamata dengan dalih-dalih sakit atau penampilan. Di ingatan publik, sekian tokoh penggerak sejarah berkacamata: Agoes Salim, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan WR Soepratman. Di buku-buku sejarah, murid jarang mendapatkan segala cerita mengenai kacamata mereka.

Di negeri berbeda, para tokoh pergerakan politik dan elite terpelajar Indonesia malah mendapat tokoh unik berkacamata. Lelaki kurus pernah berpendidikan Barat memilih mengenakan busana sederhana dan berkacamata bundar. Ia bernama Mahatma Gandhi, pengubah India dan dunia. Kacamata itu apik dan anggun. Orang mustahil menebak kacamata itu berharga mahal atau dikenakan untuk menambahi kegantengan. Kacamata terlalu bercerita kolonialisme, religiositas, dan identitas. Dulu, foto atau ingatan rupa Gandhi agak membedakan penglihatan kaum bumiputra pada para pembesar kolonial dan pejabat-pejabat pribumi berkacamata. Benda itu dipengaruhi tata kekuasaan tapi menampilkan biografi-biografi bersimpang jalan dengan Gandhi. Kaum bocah di Indonesia dikenalkan sosok Gandhi melalui tulisan pendek dan bergambar di majalah Kunang-Kunang edisi 25 Maret 1950. Tulisan Da Kacha itu menceritakan masa kecil Gandhi tapi gambar malah Gandhi berkacamata saat tua.

Pembaca sastra mungkin membaca ulang novel Mira & the Mahatma gubahan Sudhir Kakar. Di kacamata Gandhi, terlihat kemanusiaan dan kecamuk asmara melanda perempuan asal Inggris Mirabehn. Kehidupan suci dan pasang-surut asmara terekam di kacamata. Gandhi berwajah anggun dan melihat pelbagai hal dengan kacamata bundar. Tatapan tak melulu ke agama, kekuasaan, pendidikan, dan moral. Asmara pun mendapatkan tatapan sendu dan haru. Lelaki itu memilih memberi diri ke dunia, tak berpasrah ke asmara.

Indonesia abad XXI memperkenankan pujangga mengartikan kacamata itu lembut dan romantis. Puisi tanpa pamrih mengenang masa lalu atau membantah asmaranisme di kacamata Gandhi. Pujangga belum berkacamata tapi masih kurus bernama Joko Pinurbo memberi Sajak Kacamata (2012). Pembaca mungkin terlena: Saya tahu, jika saatnya tiba, saya akan memakai kacamata./ Kacamata yang kacanya terbuat dari kaca kata/ dan matanya dari mata bocah yang haus cinta.// Ada senja kecil yang sedang berdoa di mata saya/ dan doa terbaik adalah sunyi./ Seseorang akan memberi saya kacamata/ untuk memancarkan cahaya sunyi senja/ ke jalan-jalan yang dilewati puisi. Kacamata terlalu puitis dan religius. Kita membaca takjub asal tak kebablasan memuja si pujangga. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!