Partini Gandrung Sastra

Di Taman Balekambang, Solo, pengunjung biasa melihat patung perempuan cantik. Di patung, tercantum keterangan nama: Partini. Patung itu batu dan keras, tak bicara dengan kata-kata. Patung cuma tanda. Siapa mau mengikuti jalan tanda sampai ke pengenalan Partini dan sastra di Mangkunegaran? Di Taman Balekambang, acara demi acara telah mengundang ribuan pengunjung. Mereka datang mencari udara segar, melihat pemandangan, berpotret, menonton pentas seni, atau berpacaran. Di sana, patung itu ada tapi hampir tanpa cerita.

Siapa Partini? Orang gampang memberi jawab beliau adalah puteri Mangkunegara VII. Jawaban pendek bakal menghilangkan biografi dan sejarah. Jawaban-jawaban panjang bisa dilacak meski tak lengkap. Pada 1971, novel berjudul Widijawati cetak ulang ketiga. Novel bersampul gambar bunga matahari. Novel itu ditulis oleh Arti Purbani. Para pembaca sastra Indonesia mungkin belum terlalu mengenali Arti Purbani. Nama jarang muncul dalam kritik sastra dan ulasan tentang pengarang perempuan di Indonesia. Nama bersahaja mengandung sekian penasaran. Di novel terbitan Balai Pustaka, pembaca memang tak menemukan halaman berisi data diri penulis. Sampul belakang kosong.

Pada cetakan keempat (1979), pembaca mulai mendapat keterangan singkat tentang penulis. Arti Purbani adalah nama samaran BRA Partini Djajadiningrat. Pengarang lahir di Solo, 14 Agustus 1902. Di lingkungan Mangkunegaran, Partini atau Arti Purbani mendapat pengasuhan sesuai adat Jawa dan pengaruh Eropa (modern). Partini bersekolah di Europeesche Lagere School, Solo. Ilmu, sastra, dan pelbagai pengertian baru tentang dunia dipelajari sejak dini. Hidup di Jawa tapi ide-imajinasi Partini bergerak ke segala arah. Sejak kecil sampai dewasa, Partini menempuhi jalan mendua: Jawa dan Eropa. Sastra menjadi pilihan bercerita misi menjadi Jawa dan godaan-godaan Eropa berdalih modernitas.

Novel berjudul Widijawati bertokoh kaum perempuan di kegamangan biografi. Tokoh bernama Widjawati (Widati) bersama teman-teman memiliki panggilan jadi manusia modern tapi sulit melepas ikatan tradisi Jawa. Kehidupan mereka berlangsung pada masa penjajahan. Dilema-dilema ditanggung para remaja putri mengenai sekolah, busana, perjodohan, pekerjaan, dan hiburan. Widati sering mendapat dilema tanpa jawaban gamblang. Adat, keluarga, dan zaman “kemadjoean” memengaruhi keputusan-keputusan hidup. Widati tampil sebagai “manusia bebas”, tak mau terlalu patuh pada tata cara hidup di kaum bangsawan dan berharap jadi modern tanpa jadi manusia terasing. Tata politik dan sosial-kultural di Kasunanan dan Mangkunegaran masih jadi referensi penting bagi warga. Situasi itu agak menghambat ambisi para perempuan bergerak maju.

Widati memilih jadi penganut kemodernan. Semula, Widati menempuh pendidikan guru. Lulus dari sekolah, Widati bekerja jadi guru: meninggalkan Solo ke Palembang. Kisruh keluarga, perjodohan, dan asmara suci pada Rawinto membuat Widati tak rampung ditimpa kesedihan. Peran guru berakhir dengan kepulangan ke Solo. Widati ingin mengabdi pada kemanusiaan jika jadi perawat. Impian mesti diraih sampai ke Belanda. Keinginan itu termasuk heboh. Pemenuhan janji kemanusiaan ingin ditunaikan berbarengan seribu urusan sulit terjawab. Widati pun tampil sebagai tokoh representatif bagi kemajuan perempuan berlatar feodalisme dan kolonialisme di Jawa.

Di majalah Intisari edisi Agustus 1974, biografi pengarang novel Widijawati semakin terang. Partini pada saat menua mulai berbagi keterangan-keterangan tentang diri dan misi bersastra. Novel Widijawati mulai ditulis pada 1945 saat Partini sudah berpredikat sebagai istri Hoesein Djajadiningrat dan memiliki 2 anak. Pada usia 23 tahun, Partini mulai membuat “coretan-coretan” menjadi novel. Gairah menulis tampak khas mengacu ke Mangkunegaran, bertokoh sastra Mangkunegara IV dan Mangkunegara VII. Partini hidup bersama intelektual kondang memiliki jalan literasi sebagai pengarang. Semula, novel ditulis dalam bahasa Belanda. Pada 1948, novel berhasil terbit di Amsterdam (Belanda) berjudul Het Javaanse Meisje Widijawati. Pembaca di Indonesia bisa membaca novel itu setelah diterjemahkan oleh Ediati Soerasno, diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1949. Novel terbit dalam bahasa Belanda dan Indonesia meski sempat diragukan oleh Hoesein Djajadiningrat. Partini pun ingat pesan bapak, Mangkunegara VII: “Jaga baik-baik tanganmu, jangan sampai terbakar.” Sikap suami dan bapak malah merangsang Partini terus bersastra.

Pada 1986, terbit buku berjudul Partini: Tulisan Kehidupan Seorang Putri Mangkunegaran. Buku ditulis oleh Roswitha Pamoentjak Singgih berdasarkan penceritaan Partini. Buku diterbitkan Djambatan. Dick Hartoko di Basis edisi Desember 1986 memberi pujian: “Buku ini bagaikan meja penuh hidangan-hidangan lezat yang menggiurkan lidah. Sekurang-kurangnya bagi mereka yang mempunyai ikatan batin dengan masa silam dan bagi mereka yang dahulu kala, ‘tempo doeloe’, dari dekat atau jauh pernah mengikuti kehidupan di keraton Yogyakarta dan Surakarta.”

Penerbitan buku itu bermula dari tumpukan surat. Orang-orang penasaran pada BRA Partini Djajadiningrat. Di pengantar, Partini menulis: “Banyak surat dan pertanyaan sering diajukan kepada saya mengenai diri saya, kehidupan saya, waktu saya kecil dan tinggal di kraton, yaitu Istana Mangkunegaran-Surakarta. Pertanyaan-pertanyaan ini pada umumnya diajukan oleh generasi muda. Rupanya masih banyak yang ingin mengetahui tata cara dan kehidupan kraton Jawa di zaman dahulu.” Pada masa 1980-an, jumlah pengarang di Indonesia terus bertambah. Sekian perempuan jadi pengarang tenar dan berpengaruh. Partini sebagai pengarang masih teringat dan mendapat penghormatan meski tak seheboh pengarang-pengarang muda.

Partini semakin bisa dikenali publik meski belum mendapat pengakuan “resmi” dalam alur sejarah dan perkembangan sastra di Indonesia. Partini berhasil menulis Widijawati, Hasta Cerita, Sepasar dan Satu Malam, Ande-Ande Lumut, dan Tunjung Biru. Sejak remaja, Partini memang gandrung sastra. Pada 1919, Partini ikut dalam Kongres Java Instituut di Solo. Para tokoh hadir membahas peradaban Jawa: bahasa, sastra, seni, dan pendidikan. Partini semakin sadar dengan Jawa dan kemodernan. Buku-buku milik bapak juga jadi santapan untuk pengembaraan ide-imajinasi. Pada saat sudah menjadi istri Hoesein Djajadiningrat, Partini ikut dalam kongres kedua Java Instituut di Bandung. Suami berperan sebagai ketua. Peristiwa-peristiwa itu menguatkan janji bersastra.

Janji sudah terucap sejak masih bocah. Di majalah Femina,2 Agustus 1977, Partini mengenang: “Sejak aku umur 8 tahun, aku masih ingat sering memandangi potret pujangga besar moyangku, Mangkunegara IV, yang tergantung di rumah paman. Aku selalu mendambakan agar diwarisi percikan bakat kepenyairan beliau.” Peristiwa memandang foto berlanjut ke menulis cerita pendek dan novel. Ia mendapatkan percik warisan kesusastraan.

Kini, pengunjung Taman Balekambang berhak melihat dan memotret patung Partini. Pengunjung pun berhak mencari keterangan-keterangan mengenai Partini. Pilihan membaca novel dan kumpulan cerita gubahan Partini semakin memberi pernghormatan kesusastraan. Partini pantas kita hormati sebagai pengarang, melampaui patung tanpa keterangan lengkap di Taman Balekambang, Solo. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!