
“Secara definisi, kesadaran adalah metode dalam arti kata yang paling umum.”
Alvaro Viera Pinto
Konsientitasi (kesadaran) adalah kata kunci penting dalam “kamus pendidikan” untuk orang tertindas yang dirumuskan secara jernih oleh Paulo Freire (terutama magnum opsusnya Pendidikan Kaum Tertindas). Tanpa konsientitasi dalam dirinya, mereka yang tertindas bukan hanya tidak tahu jika dirinya sedang ditindas, lebih dari itu mereka juga tidak akan dapat mengubah situasi yang menindasnya.
Kecemasan terbesar bagi Freire dalam mewujudkan pendidikan humanis ialah saat orang yang tertindas kelak akan menjadi penindas (penindas kecil) bagi yang lainnya. Itu sebabnya, proses “penyadaran” bagi orang tertindas menjadi penting dalam laku kehidupan terutama dalam konteks ini: pendidikan.
Pertanyaannya apakah itu suatu perubahan alamiah yang terjadi pada diri orang tertindas? Tentu saja tidak karena sistemlah yang akhirnya membentuk perilaku manusia secara mekanis. Dalam bahasa sederhana struktur pikiran manusia dengan sendirinya akan terbentuk melalui situasi eksistensial yang konkret—yang diterimanya dalam laku hidup. Inilah yang dinamakan oleh Freire model harkat martabat manusia (dalam gejala tertentu (eksistensial) orang tertindas akan mengikuti dan meniru sikap yang “melekat” dari si penindasnya).
Dalam dunia pendidikan kita ada satu proses mekanis yang menyebabkan “penyadaran” tidak terjadi dengan semestinya. Tidak bisa dipungkiri suasana pembelajaran di kelas-kelas terjadi kontradiksi yang dibentuk oleh pengajar (baca: guru). Hubungan “vertikal” antara pengajar dan peserta didik dikukuhkan di ruang belajar. Tradisi itu lebih dikehendaki oleh pengajar ketimbang membangun hubungan yang “horizontal”. Relasi feodal semacam itu hanya akan menyebabkan komunalisme, bukan egalitarianisme: kesetaraan dan keakraban. Ada beberapa hal yang menghalangi proses kesadaran manusia untuk mengubah situasi yang menindasnya: pendidikan gaya bank dan antidialogik di antaranya.
Pendidikan gaya bank
Bahasa adalah sponsor resmi kekuasaan. Melalui “bahasa” komunikasi dikendalikan oleh pengajar. Sebaliknya, peserta didik dipaksa menjadi pendengar yang penurut. Jika hukum dialektika dinihilkan, di situ bekerja hukum kekuasaan: pengucap dan pendengar, pemberi perintah dan pendengar perintah. Artinya, peserta didik tidak dirangsang pikirannya, melainkan diringkus pikirannya. Pada akhirnya, aktivitas pembelajaran dimonopoli oleh satu pihak saja: pengajar. Legitimasinya pengajar diyakini sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Di situ karakter “budaya bisu” dibentuk di ranah pendidikan[.
Inilah yang dinamakan oleh Freire pendidikan gaya bank (Banking Concept of Education). Pengajar tampil layaknya instruktur lumba-lumba. Pengajar masih memahami dirinya sebagai subjek yang memiliki wewenang sekaligus pengatur. Sedangkan peserta didik diperlakukan secara pasif; mencatat, menghafal, dan mengulangi materi yang disampaikan oleh pengajar. Dalam pendidikan gaya bank, pengajar ibarat pegawai bank yang memberikan deposit kepada peserta didik. Tak heran jika peserta didik kita datang ke kelas dengan mental mengemis. Ia ibarat bejana kosong yang menunggu dituangkan air pengetahuan oleh pengajar sebanyak-banyaknya.
Tanpa disadari inilah situasi yang menindas peserta didik (dehumanisasi). Dari sistem pendidikan gaya bank ini pula, peserta didik sebagai orang tertindas pada gilirannya akan menjadi “penindas kecil”. Pada titik ini pengajar menginvestasikan pengetahuannya kepada peserta didik, dan siklus yang “menindas” akan terus dilanggengkan dalam budaya belajar kita—dalam pendidikan arus utama kita yang lapuk.
Mental feodal para pengajar yang mengukuhkan dirinya sendirinya, mempertajam dikotomi antara dirinya dengan peserta didik sebagai pihak yang berlawanan. Pengajar menganggap peserta didik sebagai manusia bodoh, yang diperlakukan layaknya objek “benda” pasif agar mudah diatur, oleh karenanya harus diisi pengetahuan sebanyak-banyaknya ialah sebuah kesalahan fatal dalam proses pembelajaran gaya bank yang menindas—dalam bahasa Freire, mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertindas secara keseluruhan;
- Guru mengajar; murid diajar.
- Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
- Guru berpikir, murid dipikirkan.
- Guru bercerita, murid patuh dan mendengar.
- Guru menentukan peraturan, murid diatur.
- Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
- Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
- Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan isi pelajaran.
- Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
- Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid adalah objek belaka.
Pembelajaran satu arah yang mengandaikan pengajar sebagai api dan peserta didik ialah laronnya. Kesadaran yang dibangun dalam pendidikan gaya bank ini, pengajar mencekoki peserta didik. Konsekuensi dari pembelajaran antidialogik semacam itu hanya akan melahirkan peserta didik yang membeo, membungkuk, memiskinkan imajinasi, menumpulkan kreativitas peserta didikan dan menghilangkan kemampuannya untuk melihat dunia dengan segala persoalannya secara kritis (critical subjectivity).
Pendidikan dengan model gaya bank menemukan momentumnya saat pandemi Covid-19 menjungkirbalikkan pendidikan dari tatap muka beralih daring dalam proses pembelajaran jarak jauh. Pengajar dan peserta didik yang dipertemukan di dunia kedua (virtual) tidak hanya memperlihatkan kesenjangan antara kelas sosial atas dan bawah dalam mengakses pembelajaran, tetapi juga terjadinya monopoli proses belajar yang dilakukan oleh pengajar.
Tanpa disadari, baik sekolah maupun universitas dalam proses pembelajarannya, pengajar tampil menjadi “tukang instruksi” kepada peserta didiknya. Minimnya materi dan implementasi dalam pembelajaran seakan-akan dibiarkan tanpa ada evaluasi dari pemerintah. Perlu diketahui produksi kesadaran kritis tidak lahir dalam proses pembelajaran yang antidialogik semacam ini.
Tentu saja Freire tidak hanya melemparkan kritik keras terhadap model pendidikan gaya bank yang telah mendarah daging (tidak hanya dalam pendidikan tradisional di Brazil tetapi juga seluruh dunia), tetapi juga memberikan solusinya. Sebagai upaya untuk merespons pendidikan yang dominan sekaligus menjungkirbalikkan status quo, Freire merumuskan strategi pembelajaran “hadap-masalah” (problem-posing education).
Dalam pendidikan “hadap-masalah” pengajar akan mengajar dirinya sendiri dan menjadikan peserta didik sebagai rekan diskusi yang kritis melalui dialog untuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama. Pengajar dan peserta didik tidak dipisahkan oleh hubungan yang “vertikal” sebagaimana pendidikan gaya bank, melainkan kedudukan pengajar dan peserta didik sebagai subjek yang setara dan bersama-sama memahami dunia sebagai objeknya. Serta bersama-sama mengaktualisasikan diri.
Dialogik
Dialog adalah kata kunci kedua yang tak kalah pentingnya setelah konsientitasi bagi Freire. Hakikat dialog adalah kata. Sebagai langkah awal untuk menuju konsientitasi diperlukan dialog yang terus-menerus secara radikal. Dalam dialog kata hanyalah alat, oleh karenanya diperlukan unsur pembentuknya. Ada dua dimensi etis dalam kata—dialog: refleksi dan aksi (tindakan). Menurut Freire, kata tanpa refleksi hanyalah aktivisme. Sedangkan kata tanpa aksi hanyalah verbalisme—omong kosong.
Itu juga yang terjadi dalam pendidikan gaya bank. Sebab, dalam pembelajaran dengan model gaya bank, kata-kata seperti kertas putih: kosong. Pengajarlah yang mencoret-coretnya untuk memberi arti. Peserta didik dipaksa menelan tanpa mengunyahnya. Kata-kata kehilangan maknanya: asap berselubung kabut.
Dari situlah, kita mengetahui pada dasarnya dialog adalah fitrah manusia yang melekat pada dirinya. Tidak mungkin kita membungkam manusia untuk tidak berkata-kata. Dialog merupakan jembatan yang mempertemukan sesama manusia untuk mengubah dunia dan menamainya (dengan syarat memadukan refleksi dan aksi untuk selanjutnya disebut praksis). Hanya dengan itu, pendidikan yang humanis dapat tercapai untuk melepaskan diri baik sebagai orang tertindas atau orang yang menindasnya.
Dalam pendidikan “hadap-masalah” yang menekankan dialog antara pengajar dan peserta didik tampil sebagai subjek yang setara (bukan subjek-objek layaknya pendidikan gaya bank yang antidialogik). Pendidikan “hadap-masalah” tidak menjadikan pelajaran sebagai irisan, potongan-potongan informasi belaka yang “ditabungkan” ke peserta didik. Jika disederhanakan dalam bahasa Freire, pelajaran yang diajarkan dihidangkan kembali kepada peserta didik tentang sesuatu yang mereka ingin ketahui seluruhnya. Meminjam Freire: pendidikan yang sejati tidak dilaksanakan oleh A untuk B atau oleh A tentang B, tetapi justru oleh A bersama B dengan dunia sebagai medianya.
Pengajar yang menekankan pentingnya dialog, mereka pada akhirnya percaya bahwa dialog (dalam proses belajar mengajar) tidak bisa disederhanakan sebagai tindakan “menabung” gagasan yang diberikan kepada peserta didik. Dialog juga tidak bisa dikecilkan yang hanya dianggap sebagai pertukaran gagasan kepada peserta didik. Freire sendiri menganggap dialog adalah suatu laku penciptaan; dialog tidak boleh dijadikan alat dominasi seseorang terhadap lainnya.
Dan pendidikan yang humanis (membebaskan manusia dari keterasingannya) hanya dapat ditempuh dengan cara dialog. Bukan antidialogik. Jika Freire meyakininya, saya pun meyakininya.
Sumber Referensi:
Mulyono, Ade. 2021. Dehumanisasi Pendidikan; Sehimpun Esai Pendidikan. Cirebon: Poesis Indonesia (Hyang Pustaka).
- Paulo Freire; Pendidikan Orang Tertindas - 4 January 2023
- Lekra yang Dihapuskan dari Sejarahnya - 5 October 2022
- Membaca Soedjatmoko; Pendidikan yang Humanis - 27 July 2022