
Sepanjang waktu, Ibu lebih banyak berada di rumah, sementara Ayah bekerja sebagai pegawai pemerintah dan punya usaha sampingan memproduksi sepatu kulit rumahan bersama teman masa kuliahnya. Namun, Ibu tidak menganggap dirinya pengangguran. Kata Ibu, urusan rumah tangga lebih berat daripada pekerjaan apa pun di luar sana. Ayah yang pernah menggantikan Ibu melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga selama cuti kerja, mau tidak mau menghargai pendapat Ibu dan menyerahkan uang bulanan yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari mereka dan Ibu juga bebas belanja yang lainnya. Namun, Ibu tetap hati-hati saat berbelanja di swalayan tiap awal bulan, dan sering kali berkata bahwa mereka harus lebih hemat menggunakan pasta gigi atau tidak menumpahkan sabun mandi cair di lantai kamar mandi.
Ibu bangun setiap pukul lima pagi (dan tidak tidur sebelum pukul sebelas malam). Menyiapkan sarapan untuk mereka sekeluarga. Ketika Namia muncul di dapur, Ibu bertanya, Apa ada PR yang belum selesai? Namia ingat masih ada soal Matematika yang tidak mampu dia pecahkan jawabannya. Ayah sudah bangun, tetapi malas-malasan di kamar sambil bermain ponsel. “Ayah, tolong bantu Namia membuat PR!” Ibu berteriak sambil membalik tempe di teflon. Ayah tidak suka pagi harinya diganggu oleh urusan anak-anak. “Aku ini seorang pegawai pemerintah yang mesti memikirkan urusan negara,” kata Ayah beralasan—dan kalimat itu makin hari makin sering digunakan Ayah untuk menghindari pekerjaan rumah tangga. Namia menangis. Membanting buku PR-nya. Ibu harus menumis bihun untuk bekal Namia dan Domi ke sekolah. Ibu juga mesti memasak buncis campur tauge. Ayah selalu mengingatkan untuk menyiapkan makanan lengkap di pagi hari. Menurut Ayah, justru di saat sarapan mereka harus makan dengan hidangan sempurna. Namun, untuk bekal makan siang dan menu makan malam, Ayah juga minta Ibu menyiapkan macam-macam masakan.
Ibu mematikan kompor. Mengambil buku PR Namia. Namia melingkari dengan pena merah satu nomor yang belum selesai itu. Ibu tidak terlalu suka Matematika. Tiap kali belajar Matematika, tak lama kemudian dia segera lupa. Ibu menelepon Tante Sian dan memberikannya kepada Namia. Tante Sian sangat jago soal pelajaran Matematika. Tante Sian adik Ibu yang paling kecil. Dia punya brand kosmetik yang baru dirintisnya dan tampaknya akan segera menjadi besar. Saat memikirkan keberhasilan Tante Sian, Ibu merasa hanya dia yang belum menjadi apa-apa dan kadang itu menggoyahkan hatinya.
Kepala Ayah muncul dari pintu kamar, bertanya, apa Domi sudah bangun? Ayah tidak ingin mereka sampai terlambat. Ketika dia hendak berangkat, anak-anak sudah harus mengenakan seragam lengkap dan memegang tas berisi kotak makanan dan siap masuk ke mobil untuk dia antar ke sekolah satu per satu.
“Domi! Domi!” panggil Ibu. Sebab, Domi masih bermain mobil-mobilan di sudut kamar. Ibu meraih tangannya. Membawa paksa ke kamar mandi. Domi yang sudah duduk di kelas tiga sekolah dasar itu sulit sekali mandi pagi. Dan Domi menangis dalam kamar mandi. Dan Ibu bilang, Ayo, Domi, ayahmu bisa terlambat. Pakai sabunnya, Domi. Sampo jangan lupa. Ini handuk, Domi. Keringkan tubuhmu.
Ayah bertanya, Kapan sarapan bisa dimulai? Namia sudah selesai mengerjakan PR dan segera berlari ke kamar mandi di kamarnya. Namia bisa mengurus diri sendiri (selain PR Matematika itu!). Bahkan Namia, kalau saja Ibu membolehkan, bisa membuat masakan sederhana seperti yang dia pelajari di YouTube. Hanya saja, Tidak, kata Ibu, Biar Ibu saja. Entah sejak kapan, Ibu mulai sering mengatakan, Biar Ibu saja, tiap kali Namia ingin terlibat mengerjakan pekerjaan rumah tangga bersamanya. Seolah Ibu mau bilang, tempatmu bukan di sini. Ingat, Namia, pokoknya tempatmu bukan di sini ya. Ketika mengatakan itu, diam-diam Ibu berusaha menyembunyikan matanya dari semua orang.
Ibu keluar dari kamar mandi bersama Domi. Ibu bilang, tunggu sebentar. Sebenarnya Ibu ingin berkata, sebaiknya Ayah pergi mandi saja dulu, baru sarapan. Namun, Ayah tidak pernah mau membalik urutan kegiatan yang biasa dilakukannya di pagi hari. Jadi Ibu memilih segera menyiapkan seragam untuk Domi, setelah itu dia berlari ke dapur, menata menu sarapan di meja makan. Semangkuk besar nasi putih. Tumis buncis dan tauge. Tempe goreng. Dada ayam krispi bumbu bawang putih. Secangkir kopi. Segelas teh hitam. Dua gelas susu murni hangat.
Seperti itulah kesibukan Ibu setiap pagi. Begitu mereka siap semua, mereka duduk mengelilingi meja makan. “Selamat makan,” kata Ibu tetap tersenyum, meski dia belum sempat mandi dan berganti pakaian bersih, dan tampak berantakan. “Selamat makan,” kata Ayah ceria dan penuh semangat. Namia manyun. Domi menguap.
Setelah mobil Ayah pergi membawa serta Namia dan Domi, Ibu masih berdiri di pintu untuk beberapa menit. Menghirup dan membuang napas panjang. Ibu sudah menyimpan sisa makanan untuk makan siangnya. Ayah, Namia, Domi, sudah membawa bekal masing-masing, lengkap dengan camilan—yang besok akan berganti menu lain dan nanti Ibu harus mengecek stok bahan makanan di kulkas demi memastikan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya.
Sekarang Ibu hanya ingin sedikit bersantai. Melepaskan semua urusan pekerjaan rumah tangga. Namun, seekor burung yang hinggap di pohon ketapang kencana segera mengganggunya. Mungkin tersesat, pikir Ibu, sebab apa yang bisa dicari dari pohon itu? Ulat, pikir Ibu lagi. Pasti burung-burung itu mencari ulat-ulat yang mungkin bersembunyi di balik daun-daun. Ulat-ulat yang seharusnya tumbuh menjadi kupu-kupu. Itu yang dikatakan tukang taman dan membuatnya setuju untuk menanam sebatang pohon di halaman rumahnya yang sempit.
Ibu memperhatikan pohon ketapang kencana dengan lebih saksama. Ah, sudah saatnya dipangkas, pikir Ibu. Dia tidak mau ketapang kencana itu terlalu tinggi atau cabangnya menjulur ke luar pagar. Namun, itu akan membuat burung-burung tidak akan punya alasan untuk datang lagi ke sana atau ulat-ulat tidak akan pernah menjadi kupu-kupu. Ibu mendesah. Seolah dia sedang menghadapi masalah yang amat berat. Dan dia telah memutuskan akan menghubungi tukang taman itu, meski tidak mungkin sekarang. Berjanji dengan tukang taman bisa menghabiskan waktu seharian, sebab pasti dia bilang, Ya, Bu, saya segera jalan, tapi baru datang berjam-jam kemudian, itu pun setelah dihubungi dua atau tiga kali lagi, dan setengah menyombongkan diri dia beralasan, “Akhir-akhir ini banyak sekali yang membutuhkan jasa tukang taman.”
Ibu ingat, peralatan masak di dapur belum dicuci. Meja makan belum dibereskan. Rumah belum disapu dan dipel. Kamar mandi mesti disikat satu per satu dan diberi pengharum agar Ayah tidak protes atau Domi tambah malas mandi. Dan tukang taman itu, kenapa makin bertingkah saja, pikir Ibu, menjadi kesal. Seharusnya aku segera memanggilnya, pikir Ibu. Bagaimanapun kehadiran tukang taman di halaman rumahnya membuatnya senang. Tukang taman itu suka bercerita, terutama soal tanaman, ulat, dan kupu-kupu. Dan hanya tukang taman itu yang berkata kepadanya, “Hiduplah dengan bahagia.” yang entah kalimat itu dia dapatkan dari mana, yang terdengar sederhana dan mestinya tak begitu sulit baginya.
Ibu bergegas masuk ke rumah. Menulis pesan kepada tukang taman. Lalu dia mulai membereskan peralatan masak, lalu meja makan, lalu menyapu lantai. Betapa tak habis-habisnya pekerjaan rumah tangga, pikir Ibu membayangkan setumpuk pakaian kotor dan sekeranjang besar yang mesti diseterika. Debu di sofa dan di rak juga harus dibersihkan. Karpet sudah waktunya diantar ke tempat laundry. “Kau bisa minta bantuan orang lain,” kata Ayah, dulu sekali, sebelum Namia lahir. Waktu itu Ibu berpikir, uang mereka terlalu sedikit untuk berbagi dengan asisten rumah tangga. Ayah tidak pernah lagi membahasnya sejak itu dan Ibu sudah telanjur terbiasa mengerjakan semuanya sampai-sampai dia menganggap tidak ada yang bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebaik dirinya.
Siang hari, sebelum jam pulang sekolah tiba—dan harus menjemput Namia dan Domi—Ibu sudah membereskan setengah dari pekerjaannya. Tidak ada yang sulit jika sudah terbiasa, pikir Ibu. Namun, entah kenapa dia jadi teringat kata-kata Tante Sian yang emosional: Akan sampai kapan kau hidup seperti ini? Dan kata-kata tukang taman: Hiduplah dengan bahagia.
Sebenarnya Ibu bisa saja bekerja di kantor atau membuka usaha sendiri. Lalu, sesekali, sepulang bekerja menghabiskan waktu bersama teman-teman, minum kopi sore atau makan-makan. Toh Ibu pernah belajar di perguruan tinggi, pernah terlibat di berbagai kegiatan, pernah menjajal berbagai macam pekerjaan paruh waktu. Namun, dulu Ibu tidak memilihnya. Maksud Ibu, mengurus anak-anak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga membuatnya kehabisan tenaga untuk hal lain. Ibu tidak menyesali hidupnya, tetapi Ibu pernah bilang kepada Namia, “Lebih baik kau menjadi dokter atau penyanyi atau apa saja yang membuatmu tidak terjebak di dalam rumah sepanjang hari.”
“Kenapa tidak Ibu saja yang menjadi dokter atau penyanyi atau apa pun itu?” kata Namia yang merasa sebal karena teman-teman di sekolahnya sering membanggakan ibu mereka yang luar biasa, sedangkan dia terpaksa menyimpan rapat-rapat tentang ibunya yang rambutnya bau minyak goreng dan bumbu-bumbuan di pagi hari dan tubuh menggemuk dari waktu ke waktu.
Saat itu Ibu tidak menjawab pertanyaan Namia. Namun, dia justru berkata kepada dirinya sendiri, “Huh, menjadi dokter atau penyanyi?” Sebentar kemudian dia sudah melupakannya dan tenggelam dalam berbagai urusan rumah tangga.
Ibu pergi ke swalayan terdekat, sebab ternyata beberapa stok bahan makanan di kulkas sudah habis. Ibu hanya sesekali pergi ke pasar tradisional. Dia tidak tahan dengan kesemrawutannya. Ibu pergi berjalan kaki. Membawa tas belanja besar. Namun, lagi-lagi dia teringat pohon ketapang kencana yang harus dipangkas dan tukang taman yang mungkin sibuk sekali. Dia berpikir sebaiknya kembali menulis pesan untuk tukang taman itu.
Hanya saja, sekarang ini dia mesti buru-buru membeli berbagai bahan makanan agar nanti tidak terlambat menyiapkan makan malam. Ibu mengambil jamur enoki di rak sayuran. Paprika. Cabai merah. Kacang kapri. Bayam. Lalu Ibu bergerak ke bagian bahan makanan beku. Daging. Ikan.
Ayah menyukai makanan pedas. Terutama daging dan ikan. Ayah bilang, dia sudah bekerja keras di kantor dan layak mendapat suguhan yang bergizi. Ibu tidak keberatan atas permintaan Ayah. Masalahnya, dan itu yang bikin repot, Namia dan Domi tidak tahan dengan makanan pedas dan membuat Ibu terpaksa membuat dua kelompok masakan tiap kali dia mulai masuk ke dapur. Pedas dan tidak pedas. Bisa dibayangkan berapa lama waktu yang Ibu habiskan hanya untuk makan malam saja. Belum lagi kalau Namia menolak makan nuget karena bosan. Belum lagi kalau Domi tiba-tiba alergi makan udang goreng yang ternyata sudah tidak terlalu segar. Maka, Ibu akan berdiri dari meja makan. Melepaskan piringnya yang masih berisi sisa nasi setengah. Dia kembali ke dapur. Mencari-cari sesuatu yang bisa dimasak di kulkas dan buru-buru mengolahnya menjadi makanan.
Ibu masih berada di swalayan—dan rasanya dia ingin di sana selamanya. Dia bergerak dari satu rak ke rak yang lain. Dari kotak pendingin satu ke yang lainnya sambil berpikir soal menu makan malam yang nanti akan dia hidangkan. Keranjang belanja dorongnya sudah penuh. Namun, Ibu masih bergerak ke sana kemari di swalayan itu seolah ingin menghabiskan seluruh uangnya dan sesekali dia berpikir harus menghubungi tukang taman, lalu kembali mengelilingi berbagai rak bahan makanan dan terus-menerus melakukannya, sampai dia menyadari hari sudah terlalu sore. Kemudian ponselnya berbunyi, pesan dari tukang taman. Lelaki itu mengiriminya foto halaman yang sudah rapi dan ketapang kencana sehabis dipangkas. Ibu tersenyum. Seolah tukang taman itu berkata di telinganya, “Hiduplah dengan bahagia.”
Akan tetapi, ponselnya kembali berbunyi, panggilan dari Ayah yang marah-marah karena dia lupa menjemput Namia dan Domi di sekolah.[]
Rumah Kinoli, 2024
- Pekerjaan Rumah Tangga - 3 May 2024
- Di Mana Kita Bisa Bahagia Hari Ini? - 1 November 2019
- Marinda Menjadi Mawar - 23 August 2019
agnes
so heartwarming! tugas seorang ibu memang berat, kuat-kuat perempuan!
dento
sehat selalu para ibu
Aiu Ratna
Ketika membaca ini, saya merasa seolah-olah sedang berkaca.
Don
Dalam banyak sastra, kenapa sosok suami/ayah kerap negatif ya?
Nama
Tampaknya mgkn krn isu fatherless di negara kita yg cukup mempengaruhi, contohnya seperti pada cerita ini, dan mungkin banyak para bapak yg tidak menyadari juga?
Ranti
Izin menjawab. Menurut saya karena ini yang terjadi secara disebagian besar dengan sistem Patriarki.
Emina Tazk
Kuat-kuat untuk para ibu di seluruh dunia
DM
aku suka tulisan ringan tentang konflik sosial yang jarang dibahas… ringan dibaca, meski konflik yang diceritakan bukan konflik sederhana namun sering dilupakan. tulsian ini bagus sekali
Yuni niniu
Wow kuat”
Wiwin
Walau hanya baca, terasa capeknya. Sehat-sehat buat ibu seluruh dunia
Taufiksentana
Ringan mengalir walau materi sebenarnya berat, suatu realitas yg kadang tidak tampak.
Ita
Seorang ibu juga manusia, kadangkala butuh sarana melepas kepenatan dari rutinitasnya. Salah satunya dengan manulis. Sehat selalu para bunda tercinta
izzana
sehat selalu untuk ibuku dan seluruh ibu-ibu hebat di dunia.
arif
memang seorang perempuan itu multi tasking, bisa mengerjakan bebrapa pekerjaan dalam satu waktu. lain juga dengan laki laki yang harus fokus pada satu pekerjaan. manusia memang di ciptakan berbeda beda dan itulah keindahannya
Devi
Turut merasakan lelahnya. Semangat ibu