Pelayan dan Sepasang Burung Cinta

deviantart.com

Kesepianlah, alasan lelaki pelayan di kedai itu memelihara sepasang burung cinta.

Aku menduga, begitulah lelaki itu berhujah pada diri, mengapa sudi mengurus kedai di teras bangunan dengan segala perabotan antik di dalamnya itu. Dia bekerja pada juragannya yang memang penggemar perkakas tua.

Bukankah itu hasrat yang manusiawi, selaku lelaki yang sepenuh hari memilih jalan sunyi, meski tinggal sendiri menempati kamar yang pucat pasi?

Bukankah suasana meresap di sukma, manakala mendengar kicau sepasang burung cinta, memandang laku bahagia burung berparuh lengkung kemerahan, berbulu lembut hijau muda dengan leher kekuning-kuningan itu?

Betapa turut bungah menyaksikan sepasang burung bermata belingsatan itu, saat bertengger sambil nyanyi di depan rumah mungil dalam sangkar itu, terlebih bila dari hubungan kasih sayang dan cintanya lantas berbiak dan jumlahnya makin banyak.

Tempat itu lebih menyerupai museum ketimbang sebuah kedai. Hanya sudut depannya yang pantas dipercaya menjual makanan dan minuman. Ada setangkup rolling door, sebuah papan nama bergambar piring, gelas, sendok, dan garpu, meski nyaris terhalang pepohonan rindang.

Dapurnya pun kecil, sekaligus tempat melayani pengunjung kedai, dengan peralatan dan perabotan serba modern; kompor gas, lemari es, pemanas air, blender juice. Selebihnya, perabot di dalam bangunan kuno itu, semuanya lawas, antik dan arkais. Meja marmer, kayu jati, jam dinding, mobil tua, mesin ketik besar, lampu gantung, lesung, bufet, beberapa peti, dan bahkan barang pecah belah terlihat dipajang di dalam almari kayu jati berpintu kaca.

Singup, sepi dan senyap itu sepanjang pagi hingga malam di kedai. Terkadang saja bila ada acara tertentu tampak ramai dikunjungi tamu.  Meski begitu, selalu ada pengunjung sepasang muda-mudi, sejoli yang memilih menyepi. Arsitektur dan desain ruangan dengan sejumlah meja dan kursi tamu menghadap rindang pepohonan, rupanya memberi kesempatan pengunjung kedai bisa berbagi banyak hal dengan pasangannya. Teduh di siang hari dan romantis di malam hari.

 “Bukan, ini bukan pemberian juragan. Ini peliharaan saya sendiri. Juragan hanya tahu yang begini-begini,” ujar pelayan itu menunjuk benda-benda tua yang dingin dan beku dalam segala waktu itu.

Rupanya firasat, perkiraan, dan dugaanku telah keliru. Seperti biasa manakala ada yang keliru dengan isi pikiranku, aku menuangi lagi dengan sesuatu hal lain.  Kupikir betapa lelaki ini pekerja keras, ubet dan ulet. Coba bayangkan, begitu banyak yang diurus dan berada di bawah tanggung jawabnya; belanja, masak, membuka kedai, melayani pembeli yang tentu punya kemauan sendiri-sendiri. Dia juga begitu dipercaya oleh juragannya menyelesaikan segala soal kedai dan perawatan bangunan itu; membersihkan, menjaga, mengurus listrik, air, yang menyita waktu sehingga harus menetap di tempat itu. Masih pula dia harus mengurus peliharaan sepasang burung cinta yang indah—yang tentu saja perawatannya perlu biaya, tenaga, keikhlasan, serta pendek kata tidaklah mudah.

“Sebetulnya, mengurus peliharaan tidak susah, Tuan. Seperti mengurus soal lainnya. Saya tahu kuncinya semuanya butuh ketekunan,” ungkap lelaki itu padaku sewaktu sudah menjadi pelanggan kedainya.

“Dan, kesabaran tentunya, ya?” sergahku sok tahu.

Lelaki itu hanya tersenyum. Senyum, yang jelas bila aku harus jujur pada diriku, di situ kutemukan sinisme.

“Namun tetap beda, Tuan. Namanya juga mengurus manusia dan burung.”

“Oh, iya. Susah mana?”

Dia agak lama menjawab. Nyata bahwa justru itulah persoalan sesungguhnya. Antara memelihara manusia dan melayani burung, atau melayani manusia dan memelihara burung. Rupanya lelaki itu merenungkan banyak hal, tentang pelayanan, termasuk padaku yang minta dilayani baik selaku tamu maupun pertanyaan-pertanyaan yang terang itu mengusik pribadinya—sebagai pelayan yang terus-menerus diuji tamu sepanjang waktu. Sampai lelaki itu memberesi daftar menu hidangan makan siangku dan minumanku, serta makanan ringan yang kupesan, dia belum juga menjawab pertanyaanku. Tepatnya keisenganku. Waktu yang cukup lama untuk sekadar berpikir mana lebih susah antara keduanya. Apalagi aku selalu datang ke kedai itu berdua dengan kekasihku dengan menu yang tak pernah ugahari.

Aku meninggalkan daftar menu makanan dan menggamit pinggang kekasihku dengan dihantui pertanyaan, mengapa pelayan itu begitu lambat menjawab permasalahan kesehariannya, yang semestinya bisa dengan cepat tanpa pikir dan pertimbangan untuk mengatakannya. Aku mafhum, kukira karena memang seorang yang cekatan belumlah tentu belingsatan—seperti yang tampak olehku tentang tabiat sepasang burung cinta itu. Ya, boleh jadi ini alasan lain lelaki itu mengagumi sepasang burung cinta itu: belingsatan. Kukira dia akan terus belajar dari burung-burung itu. Kukira pula inilah alasan mengapa semakin lama semakin sulit bagi lelaki itu membedakan kesulitan merawat manusia dan memelihara burung, semenjak sepasang burung cinta itu baginya segala-galanya. Betapa sebagian besar waktunya hanyalah demi sepasang burung cinta itu.

Bersama kekasihku, perempuan yang kudapatkan cintanya dengan berdarah-darah ini, di kedai itu aku memilih tempat favorit—semacam dangau beralaskan kayu dengan di bawah lantainya ada kolam ikan Mas. Hmmm…soal kekasihku dan cintanya yang kudapatkan dengan berdarah ini, akan kukisahkan pada kesempatan lain. Terpenting, di kedai ini kami benar-benar serasa berdua saja di dunia ini. Bisa pegang tangan, ciuman, pelukan, dan bisa pula berbagi dalam banyak hal. Perasaan yang sama bagi pengunjung kedai lainnya, yang siang itu juga sedang berdua, walau dengan masalah-masalah yang dihadapi berbeda. Tak pernah ada yang berani mengganggu mereka, kecuali lelaki pelayan ketika sedang mengantarkan pesanan saja. Karena memang bagi lelaki pelayan itu dirinya harus menghapus alasan apa pun untuk mengganggu para pengunjung kedai sekalipun tanpa sengaja. Ya, alasan ketaksengajaan pun mesti disingkirkannya. Bahkan tak pernah ada perbincangan apa pun ketika pelayan itu mengantarkan menu pesanan pengunjungnya. Juga karena alasan enggan mengganggu suasana hati pengunjung kedai itu.

Ya, begitu banyak rupanya yang harus disingkirkan lelaki pelayan itu dari dalam dirinya, di tempat kerjanya yang tenang dan sunyi itu, di kediamannya sendiri ketika ada sepasang kekasih yang datang padanya. Bila suatu ketika dugaanku—tentang sepasang burung cinta peliharaannya itu bukti betapa dia seorang pekerja keras—ternyata keliru pula, maka inilah dugaanku selanjutnya yang kujejalkan dalam otakku: pelayan itu butuh alasan untuk menyingkirkan segala alasannya agar tak mengganggu para tamunya berbagi cinta dengan pasangannya. Yang ini aku yakin sekali. Ketika pikiranku sedang tungkus lumus dengan pertanyaan sendiri—jika demikian adanya, sebetulnya tamunya yang berpasang-pasang, termasuk diriku ini menyenangkan pelayan ataukah justru menyiksanya—mendadak lelaki itu sudah tepat di hadapanku dengan menu di nampan; dua porsi iga bakar, keripik jamur, juice melon, dan sosis goreng.

Suasana betul-betul hening sejenak. Rasanya, kesunyian nyaris menghapus kami dari dunia ini.  Yang sebenarnya terjadi; seperti ada ruang kosong pada masing-masing kepala kami. Jikapun ada yang tersisa guratan laju pikiran dalam benak kami masing-masing, barangkali adalah perihal; sesungguhnya kami sedang menyiapkan strategi membela diri, atau taktik untuk mengumpulkan energi, tersebab diam-diam saling mengerti sedang menjalani pertemuan yang dingin karena saling mengintai dan memata-matai. Kawankah? Lawankah? Seberapa bermanfaat atau rugikah di antara pelayan dan tamunya ini? Seberapa terikkah bibit kebencian dan kepedulian sesama orang yang terus terang tidak saling mengenal dengan baik—kecuali perhatian pada sepasang burung cinta yang entah butuh simpati, empati, atau tidak keduanya.

Pelayan lelaki itu sekonyong-konyong memecahkan kebekuan dengan mengatakan sesuatu yang tak kuduga, dan betul-betul mengejutkanku. “Burung itu pemberian seorang kawan. Tadi Tuan bertanya, sekarang saya jawab: sulit sekali merawatnya. Lebih sulit dari memelihara manusia. Apalagi saya jadi mengerti alasannya mengapa burung itu dipasrahkan kepada saya,” begitu kalimat lelaki itu yang kukira ini kalimat terpanjang yang pernah kudengar darinya.

Aku tidak mencoba menahan dirinya agar menyusun kalimat baru. Aku sendiri perlu menyelesaikan suasana hati yang bertubi-tubi alunan gejolaknya ini. Aku hanya memintanya berjanji sudi mengisahkannya padaku perihal sepasang burung cinta itu. “Aku tidak hanya sekali dua kali datang kemari, maukah kau berjanji menceritakannya?” celetukku.

Lelaki itu menyatakan kesanggupannya sambil minta undur diri dengan mempersilakan aku dan kekasihku menikmati hari indah di kedainya.

Aku mengambil alih cerita pelayan lelaki itu karena gaya penyampaiannya yang buruk, miskin berbahasa, serta kesempatannya yang hanya sepenggal-sepenggal mengungkapkannya padaku, dalam pelbagai kesempatan, menyebabkan kisahnya bagiku seperti remahan-remahan roti di lantai. Bisa dibayangkan, cerita ini terjadi di antara sejumlah kesempatannya melayani pengunjung kedai, mengantarkan pesanan makanan buatku, saat sibuk mengurusi sepasang burung cinta peliharaannya, dan menjelang pulang ketika aku membayarnya pada kasir—yang tak lain dia sendiri yang mengurusi pekerjaan ini sekaligus merangkap pengerani. Aku harus penuh kesabaran dan ketekunan memunguti dan menyusunnya kembali menjadi cerita yang sebagian besar berisi keluh kesah dan kesendiriannya. Aku sudah memerah ceritanya, memilah yang cukup baik dan menjadikannya seperti ini:

“Sebetulnya saya sudah bosan bekerja di sini,” katanya.

“Tapi kenapa masih di sini dan kulihat sama sekali tak ada kesan hendak pergi dari tempat ini,” tedasku.

“Lha mau pindah ke mana?”

“Ke mana saja. Asal lebih baik, buatmu. Apa sepi kedai ini? Apa gajimu terlalu sedikit? Apa karena pekerjaannya terlalu berat?” desakku.

“Karena saya tidak punya tempat selain di sini. Karena juragan terlalu baik pada saya. Rasanya dia lebih mengurus diri saya daripada kedai ini,” terangnya.

“Lalu kenapa tidak kerasan?”

“Entahlah. Mungkin karena bosan saja. Sehari-hari hanya itu-itu saja. Begini-begini saja.”

“Ceritakan padaku, bagaimana engkau tertarik memelihara burung ini.”

“Oh, sebenarnya ini bukan mau saya. Tapi seorang teman memasrahkan burung ini. Buat pelajaran hidup saya, katanya. Sepasang burung yang mulanya belum berjodoh, lalu saya berusaha menjodohkan. Awalnya belum pernah bertelur dan kemudian harapannya beranak pinak. Bila saya berhasil membuatnya berkembang biak, itu pertanda saya sudah lulus dari ujian dan dipercaya untuk mengawali sukses berkeluarga—mencari istri dan menghidupi anak-anak saya kelak kemudian hari, katanya,” ungkap lelaki itu di sela memberesi kandang, memandikan, menyediakan makanan dan minuman sepasang burung cinta itu.

Sontak aku dan kekasihku berbagi pandangan, lantas menahan tawa supaya tidak meledak di hadapannya.  Semula aku berpikir, nyatalah di balik pemberian sepasang burung cinta ini dibungkus penuh siasat, bahkan suatu ledekan jikapun bukan sebuah penghinaan. Tapi sudahlah, toh aku sudah terbiasa dengan pikiran yang menduga-duga, dan dugaanku banyak yang salah. Bukan itu saja, tidak ada salahnya mulai berpikir ikhwal lain yang baik—pelajaran hidup, kesabaran, ketekunan, keikhlasan, dan sudah barang tentu perihal harapan. Terlebih ini muaranya pada cinta pada hidup dan kehidupan. Namanya saja burung cinta. Biarlah, kadang harganya selangit, walau sesungguhnya cinta tak bisa dinilai sekalipun dengan benda langit.

Jadi sering kubisikkan pada kekasihku, pelayan ini sebetulnya tidak sedang memberi pelajaran pada dirinya sendiri, tetapi juga padaku dan kekasihku. Tersebab itulah kekasihku, sama sekali tak pernah merendahkan pelayan itu, apalagi hingga menertawakannya. Sama sekali tidak. Kami selalu berkaca pada diri kami sendiri. Bahwa kami pun sedang berjuang mendapatkan cinta itu, laiknya pelayan dan sepasang burung cinta itu.  Kekasihku menjadi peduli pada kesungguhan usaha lelaki pelayan itu merawat sepasang burung cinta itu.

“Apakah sekarang sudah ada tanda-tanda berhasil?” tanya kekasihku.

“Belum. Padahal semua bekal petunjuk yang disampaikan pada saya sudah saya jalankan. Membersihkan kandang dari puyan. Memberi makan biji bunga matahari, jagung muda, sesekali kuberikan padanya serangga, juga apel, bahkan buah dan sayur terbaik saya sediakan untuk burung itu daripada untuk manusia, pelanggan saya. Saya juga tak lupa memberinya suplemen multivitamin—hal yang saya sendiri tak pernah mendapatkannya,” ungkap pelayan itu sambil penuh tawa, waktu itu dia memang banyak tertawa di depan sepasang burung cintanya.

Sempat kutanyakan, apakah ada hubungannya cara lelaki itu tertawa dengan sepasang burung cinta itu. Katanya, ada. Dia ceritakan pada mulanya burung itu jera, takut bertemu dirinya. Bergegas masuk rumah-rumahan bila mendengar suara tuannya, atau melihat gelagat pemiliknya. Setelah banyak tawa, dan bernyanyi untuknya, burung itu sudah tidak lagi takut. dia berharap masuknya sepasang burung itu ke rumah-rumahan, bukan lantaran takut. Tetapi memang karena sedang terbit gairah dan ingin bercinta.

“Bukan itu saja. Sekarang burung-burung itu sudah mulai bernyanyi,” ungkap pelayan itu dengan girang.

“Oh…luar biasa. Berarti sebentar lagi bertelur, dan tinggal menunggu anak-anak burung itu menetas,” aku lupa ini kekasihku atau akukah yang berkata.

“Tidak semudah itu,” pelayan itu antusias dan makin lancar berbahasa. “Sudah pernah bertelur. Tampaknya pasangan itu sering bertengkar dan kerap bertindak penuh kemarahan. Kadang-kadang telurnya dihancurkannya sendiri. Saya sudah berusaha sebaik mungkin, tapi tidak pernah tahu betul isi hati dan perasaan burung-burung itu, mengapa berbuat demikian. Tapi lama-kelamaan saya mencermatinya, mempelajarinya hal yang sama sekali tak bisa saya pelajari dari para pengunjung yang datang ke kedai ini. Saya tidak tahu apakah saya kurang ramah. Saya hanya yakin burung-burung ini seperti manusia juga. Dia tak mau diurus berlebihan. Tak sudi diganggu. Keberatan bila diusik kegiatan pribadinya apalagi sampai dimata-matai di rumahnya sendiri. Dia butuh kenyamanan, udara yang bersih, terbebas dari kebisingan. Mungkin dia tahu kata-kata kotor, umpatan-umpatan yang tak pantas didengarnya.”

Kembali penjelasan lelaki itu membuat aku dan kekasihku saling bertukar pandang, membentengi tawa dan tak bisa sembarang melempar komentar. Kukira lelaki itu tak sedang main-main saat melambungkan kehormatannya pada sepasang burung cintanya, sembari memperolok manusia.  “Jadi sekarang sepasang burung itu sudah mendapatkan apa yang seharusnya dia dapatkan?” lagi, kekasihku bermaksud mempertegas pengakuan lelaki itu.

“Itulah persoalannya kini. Siapa yang bisa menjamin pengunjung kedai ini berkelakuan baik, bermoral, sopan, dan tidak menerbitkan kebencian, kemarahan, kemuakan pada diri hati perasaan dan jiwa sepasang burung cinta itu? Sementara saya sendiri tidak memiliki kehidupan yang beres dalam banyak hal—apalagi untuk bisa menertibkan para pengunjung kedai ini. Saya tidak bisa membereskan kehidupan saya sendiri, saya tidak bisa cerewet, tak bisa jadi pengkhotbah. Tapi saya hanya menjadi penghulu bagi sepasang burung cinta. Alangkah bahagianya seorang penghulu bila menyaksikan pengantinnya kelak kemudian hari hidup bahagia bersama keluarganya,” rangkaian kalimat terakhir ini lebih banyak buatanku sendiri karena semakin muskil memunguti ujaran lelaki pelayan itu yang sedang menyindir para pengunjung kedai, termasuk aku dan kekasihku, ataukah aku sedang menceritakan hal kehidupan pribadiku bersama kekasihku.

Yang genah, pada akhirnya kami—aku dan kekasihku—tak bisa membendung ledakan tawa yang besar dan lagi panjang ini. Oleh karena begitu banyak yang harus kami tertawakan; gaya bicara lelaki yang kocak tapi nelangsa itu, isi pembicaraannya yang lucu, para pengunjung kedai yang berpasang-pasang seperti jengah ketahuan apa yang dilakukannya sepanjang waktu di situ, lalu kelakuan sepasang burung cinta yang kelihatannya aneh bagi kebanyakan manusia, kemudian keadaan yang sepertinya tak menentu namun ditunggu. Juga suara dari hati yang terdalam lelaki itu yang lebih percaya dan hormat pada sepasang burung ketimbang pada manusia, bahkan terhadap dirinya sendiri. Hanya saja, semua itu tak lain dugaan-dugaan dari pikiranku yang entah mengapa energi besarku untuk itu, sementara sisa tenaganya menjadikan diriku akhirnya tak peduli lagi apakah dugaan-dugaanku benar ataukah salah ataukah tidak benar tapi juga tidak salah.

Aku hanya memastikan gelak tawa kami—aku dan kekasihku—meledak, sudah barang tentu termasuk menertawakan diri kami sendiri. Mengapa? Karena terus terang, selama ini, dalam setiap kunjungan ke kedai ini kami begitu serius berbagi cinta hanya berdua. Tidak peduli pengunjung, tidak hormat pada burung, tidak pula menimbang keadaan pelayan. Aku benar-benar tak peduli. Apalagi aku menduga orang akan mengira kami—aku dan kekasihku—yang telah cukup tua ini selaku sepasang suami istri yang sedang mengenang tempat itu, atau membicarakan masa depan anak-anak kami.

Walaupun yang sebenarnya terjadi adalah; kami sepasang kekasih yang sudah sama sama punya suami dan punya istri tetapi merasa hidup 25 tahun di masa lampau ketika kami pernah diam-diam saling jatuh hati namun sama-sama tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan. Renjana, dan gairah hidup serta cinta kami sama-sama kembali menyala tersebab di antara kami sama-sama tak pernah berhasil menelurkan seorang putra pun, sama-sama tidak sudi mengadopsi anak, namun kemudian menjadi masalah dan oleh sebab itu kami selalu membahasnya di kedai itu—tempat yang sekaligus bagi kami seperti diberi kuasa dan hak untuk bermesraan, bercumbu rayu, berciuman, berpelukan dan kadang-kadang juga tiduran—oleh karena salah satu atau salah dua dari kami belum ada yang memutuskan diri dari ikatan perkawinannya yang sah.

Mungkin terhadap kami, Tuhan tidak peduli, atau juga bimbang karena nyatanya kami terbelit dalam urusan cinta, kasih sayang, rindu, dan perkawinan yang sangat rumit.  Menghadapi masalah yang pelik dan hampir tak tepermanai ujung pangkalnya ini, anehnya dari deret sepanjang waktu berjam-jam di kedai itu, hanya sedikit waktu yang disediakan untuk mengungkai soal: Bagaimana kami—sepasang kekasih yang saling ingin bercinta ini—bisa menikah dan berbuah. Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan selain suatu keajaiban?

Sudah barang tentu, jalan mana pun buntu. Sampai kemudian tanpa sengaja terucap pada pelayan yang edan itu dan dengan enteng saja, mengatakan ada dua gang yang tersisa dan gang yang pertama dia menyebutnya dengan: Tukar tambah!  Gang yang kedua pelayan itu tak secara gamblang mengatakan. Namun aku sudah menduganya; pelayan itu dan hanya dialah yang benar-benar siap menjadi penghulu bagi rencana nekat pernikahanku dan kekasihku ini. Aku mengingat ucapannya: burung-burung ini seperti manusia juga. Aku bisa membaliknya; manusia itu seperti burung pula.  Kini, tidak lain dan tidak bukan, pelayan itu tidak pernah berbicara apapun selain tentang sepasang burung cinta itu, seperti halnya saat kami membicarakan masa depan pernikahan kami. Pelayan itu tak pernah menyoal makanan biarpun pengunjung kedai mengusiknya. Ketika banyak orang umuk dengan urusan menteri, pemerintahan, dan calon presiden, pelayan itu pun cuma masyuk membincang sepasang burung cintanya.

Sebaliknya, pada sepasang burung cinta dan pelayan lelaki itu, tampaknya Tuhan sama sekali tak ada keraguan. Kami terus mengunjungi kedai itu, sementara pelayan lelaki itu terus menunggu sepasang burung cinta itu bertelur dan menetaskan anak-anaknya. Belum pernah berhasil, namun pelayan itu terus mencobanya dan terus mencobanya lagi. Sampai kemudian terbit semacam perasaan putus asa dan berakhir dengan melepaskan serta mengusir sepasang burung cinta itu terbang ke mana pun sesukanya. Tetapi benarkah itu sebuah keputusasaan?

Kami tidak tahu persis dan tidak juga menduga-duga. Pelayan itu pun kiranya juga tidak berusaha tahu, putus asakah dia. Karena tentu dia punya rencana-rencana, dan kami pun boleh mengusulkan padanya—sebagaimana sahabatnya yang memberi pelajaran hidup dengan sepasang burung cinta itu—tata cara menghadapi hari esok. Setidaknya dengan meminjam filosofi hidupnya, beburung itu pun seperti manusia, dan aku menambahkan padanya manusia juga seperti burung pula.

Beberapa hari kemudian, tersiar kabar pelayan itu menuntut balas pada sahabatnya sang pedagang burung itu. Keduanya tak berseteru soal uang, namun pelayan itu terus melambungkan semua beburung sabahatnya dengan melepaskannya dari kandang untuk terbang. Sudah barang tentu dengan amarah. Sebaliknya pedagang dan pemilik puluhan burung itu pun tak mau kalah, apalagi menyerah atau pasrah.  Selepas beburung terbebas, dua lelaki itu pun kerah—saling cakar, seperti dua ekor kucing yang bertengkar.  Begitulah sebagaimana manusia, dua burung jantan ini pun pada akhirnya dijebloskan ke dalam sangkar.

Selebihnya aku tak tahu banyak, juga tak bernyali menduga lagi. Yang kutahu kedai telah tutup dalam beberapa hari ini. Kami—aku dan kekasihku yang kuperjuangkan dengan berdarah-darah itu—masih terus merancang hidup bahagia sepanjang masa sisa umur kami hidup di dunia yang fana ini. Suatu kebahagiaan di luar rumah.

S. Jai
Latest posts by S. Jai (see all)

Comments

  1. Eki Reply

    Wah bagus .. kalo ikut ngirim naskah, ada pemberitahuan di tolak nggaknya gak ya ?

  2. Anonymous Reply

    Trims. Coba baca di cara pengiriman naskah. Kayaknya ada ketentuan waktu 2 bulan. Artinya bila selama itu tak ada kabar, anda dipersilakan manarik kembali naskah anda.

    • S. Jai Reply

      Trims. Coba baca di cara pengiriman naskah. Kayaknya ada ketentuan waktu 2 bulan. Artinya bila selama itu tak ada kabar, anda dipersilakan manarik kembali naskah anda.

Leave a Reply to Anonymous Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!