“Pembaca” Jawa

Sejarah Indonesia pernah diramaikan dengan Polemik Kebudayaan pada masa 1930-an. Para tokoh memerkarakan kiblat dan orientasi atas pembentukan Indonesia. Poerbatjaraka (1935) ikut memberi suara lirih bertendensi jalan tengah di antara perseteruan kubu Sutan Takdir Alisjahbana (Barat) dengan Sanusi Pane (Timur). Pakar sastra Jawa Kuno dari Solo itu mengungkapkan: “Janganlah mabuk kebudayaan kuno, tapi juga jangan mabuk kebaratan. Ketahuilah kedua-duanya itu, supaya kita bisa memakainya dengan selamat di dalam hari-hari yang akan datang kelak.” Anjuran diajukan atas nama penentuan nasib Indonesia.

Pemikiran tokoh itu mulai surut dari kenangan kalangan sastra dan intelektual abad XXI. Poerbatjaraka (1884-1969) lekas hilang dari perbincangan dan kenangan. Kehadiran Poerbatjaraka jadi jejak samar dalam penulisan sejarah sastra atau keintelektualan. Ia lahir dan tumbuh di Solo. Tiket untuk menempuh pendidikan formal di HIS (Hollands-Indische School) diperoleh atas restu Paku Buwono X. Poerbatjaraka bergairah belajar sastra Jawa Kuno, bahasa Belanda, sejarah, dan seni. Naluri keintelektualan itu tercium oleh GAJ Hazeu saat menjabat sebagai Adviseur van Inlandsche Zaken. Sikap NJ Krom juga menentukan biografi dan otoritas keintelektualan Poerbatjaraka. Hubungan erat terbentuk antara pribumi terpelajar, kalangan intelektual kolonial, dan institusi pendidikan di Belanda. Poerbatjaraka meladeni itu semua dengan kritis tapi kejawaan diri tak luntur.

Poerbatjaraka lugas membuat pengakuan atas jasa dari penguasa keraton di Solo dan para sarjana Belanda tapi tak harus membungkam diri untuk memberi kritik. Posisi mendua ingin dihindari dengan kesadaran otoritas dan kematangan dalam pelbagai publikasi studi ilmiah. Poerbatjaraka mengajarkan bara keintelektualan tanpa menjadi jinak oleh patron atau penguasa. Ia meneruskan studi sampai ke Belanda, pulang membawa gelar. Di Indonesia, ia mengajar sastra dan sejarah di saat minat mahasiswa masih tipis. Ia memutuskan pulang ke Indonesia meski harus menjalani kerja bergaji kecil dan kurang penghormatan.

Sosok Poerbatjaraka bisa kita mengerti dari penjelasan Abdul Rivai dalam Bintang Timoer (29 November 1926). Rivai mengatakan: “Banjak jang pergi dengan pengharapan akan poelang ke Indonesia dengan pengetahoean dan ilmoe jang telah ditjarinja, tetapi ada poela jang pergi tidak dengan pengharapan akan poelang lagi, selama Indonesia, seperti Indonesia jang sekarang.” Pendapat itu masih berlaku sampai sekarang.

Biografi Poerbatjaraka tercatat dalam jajaran depan kemunculan doktor pada masa kolonial. Studi di Universitas Leiden dijalani tanpa bekal ijazah sekolah menengah. Keajaiban itu disempurnakan dengan keberhasilan merampungkan disertasi berjudul Agastya in den Archipel (1926). Pencapaian gelar menjadi modal untuk menepis ejekan pelbagai pihak sering menganggap Poerbatjaraka edan, arogan, atau hamba kolonial. Pengetahuan atas pelbagai hal dibuktikan melalui publikasi buku-buku dan tulisan di jurnal-jurnal penting dalam kajian bahasa, sastra, dan sejarah. Buku berjudul Kepustakaan Djawa (1952) menjadi warisan terpenting.

Ikhtiar menjadi intelektual itu ejawantah dari kepemilikan akar historis-sosial-kultural dan kesanggupan meladeni tantangan zaman. Lakon kesarjanaan Poerbatjaraka pantas diteladani ketimbang sibuk meladeni impian orang menjadi intelektual “terstandarisasikan”. Kisah Poerbatjaraka pantas direnungi mengacu pada intimitas kejawaan melalui pilihan studi, peran, dan pekerjaan. Kontribusi intelektual itu terasakan melalui pengabdian di Museum Jakarta, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Udayana, dan lain-lain. Peran itu  memiliki acuan kepemilikan jiwa Jawa dengan ketekunan melakukan studi dan mengamalkan pelbagai muatan dalam sastra Jawa Kuno.

Mpu dari Solo itu memilih Ramayana gubahan Walmiki dan Sasana Sunu gubahan Yasadipura II sebagai kitab babon untuk memupuk etos kesarjanaan dan mengonstruksi biografi diri di zaman modern. Tafsir atas kekunoan bisa mengajarkan keadaban dalam zaman modern. Kesemuan pemikiran modern justru bisa menjerumuskan keintelektualan dalam pesta arogansi tanpa janji keselamatan.

Di majalah Hai, 15-21 April 1986, sosok itu dikenalkan ke kaum remaja. Nama mungkin jarang jadi idaman bagi kaum remaja untuk memiliki cita-cita sebagai sarjana atau penekun sastra Jawa. Poerbatjaraka, nama mengguncang pemerintah kolonial dan kalangan sarjana Eropa di penguatan studi (sastra) Jawa pada abad XX. Perkenalan di Hai dimulai dengan puisi sederhana: Anak Jawa yang mengenakan ‘helm’ sampai hari tua/ kalem tapi juga urakan/ bangsawan keraton dibikin mainan/ doktor kenamaan tanpa sekolah ini/ hidupnya sederhana, sangat seadanya/ pernah juga marah kepada Tuhan/ bukan karena dipekerjakan sebagai mandor/ mengawasi pohon tinggi dan got macet. Puisi itu mengandung “lelucon”. Poerbatjaraka memang selalu mengenakan busana Jawa sampai tua. Di perkuliahan atau forum-forum intelektual, dandanan itu membuat orang kagum dan meledek. “Helm” di puisi itu tentu tutup kepala khas Jawa, bukan helm di kepala pengendara sepeda motor.

Ketokohan di pengajaran Jawa di pelbagai kampus teringat melalui kelugasan dan keampuhan. Para mantan mahasiswa mengenang: “Sebagai guru besar, dia mengajar tanpa pernah membawa buku. Tak jarang dalam dua jam dia hanya menerangkan arti satu kata.” Kenangan agak lucu pernah muncul di majalah Intisari edisi 1970-an. Seseorang mengingat saat mengikuti perkuliahan. Poerbatjaraka menguji para mahasiswa: “Apa itu barat, timur, selatan, utara?” Para mahasiswa serentak menjawab: “mata angin”. Nah, jawaban itu membuat Poerbatjaraka marah-marah. Di detik-detik menegangkan, para mahasiswa memilih diam. Mereka lekas mengerti kemarahan itu gara-gara Poerbatjaraka “membodohkan” para leluhur saat memunculkan istilah mata angin. Istilah aneh dan bodoh. Para mahasiswa menahan tawa tapi berpikir serius mengenai asal kemunculan sebutan mata angin, terwariskan sampai sekarang. Kita malah mulai mendapati nama itu digunakan penerbit di Jogjakarta.

Keampuhan ilmu Poerbatjarakan dipelajari dari para sarjana Eropa. Ia pun kuliah di Belanda demi mengerti Jawa. Pemberitaan di Indische Gids (1921) mengenai Poerbatjaraka: “Sudah lama Tuan Poerbatjaraka mendambakan belajar beberapa waktu lamanya di Negeri Belanda, baik untuk memperdalam pendidikannya sendiri maupun untuk berkenalan dengan harta sangat berharga berupa naskah-naskah Jawa Kuno yang tersimpan di Leiden. Kini persetujuan dari Pemerintah Hindia telah memungkinkannya tinggal di negeri ini dua tahun lamanya. Kita dapat meramalkan bahwa kemurahan yang telah diberikan kepada Raden Ngabehi Poerbatjaraka ini sama sekali tidak akan sia-sia, dan sekaligus akan menjadi pendorong bagi orang-orang Jawa lain yang berbakat untuk mencurahkan tenaganya guna mempelajari masa lalunya sendiri, suatu tugas yang pertama-tama harus mereka pikul demi peningkatan pendidikan bangsa mereka (Harry A Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, 2008)”

Posisi intelektual asal Jawa itu tampak rendah akibat secara politis bergantung pada “kebaikan” pemerintah kolonial. Pembahasaan dari pihak Belanda sengaja menjadikan negara penjajah itu bermurah hati dan terpuji. Poerbatjaraka mengerti situasi dilema tapi bergerak terus untuk mengerti dan “memiliki” Jawa. Pulang ke Indonesia, ia tampil sebagai sarjana otoritatif mengenai Jawa. Ia pun menekuni dan menuliskan pelbagai hal bertema sejarah.

Peran kesarjanaan itu dibuktikan pula pada masa 1960-an. Poerbatjaraka menjadi pengurus di penerbitan Penelitian Sedjarah, majalah ilmiah sejarah. Artikel-artikel sejarah ditulis Poerbatjaraka menginginkan ada pengawetan segala ilmu. Di jalan sastra dan sejarah, ia memberi warisan tulisan-tulisan mungkin perlahan cuma dibaca sedikit orang. Poerbatjaraka, manusia unik dan sederhana itu berpamit 1969. Puluhan tahun berlalu, nama Poerbatjaraka jarang terucap atau ditulis di perkara-perkara pelik mengenai Jawa dan sejarah. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!