Kita sejenak mengingat tokoh pantas tercatat di buku sejarah Indonesia berdalih seni bagi bocah-bocah. Alkisah, seorang bapak memboncengkan putri tercinta di sepeda motor. Hari telah sore, setelah gerimis reda. Di perjalanan, si putri berteriak: “Pelangi!” Bocah berusia lima tahun, takjub melihat pelangi. Bapak menoleh mau membuktikan pelangi ada di langit. Di Jakarta, pelangi masih muncul menghibur orang-orang sibuk dan ramai di jalan. Peristiwa itu lekas merangsang imajinasi bapak untuk menggubah lagu. Ucapan pelangi dari si putri pantas ditanggapi dengan lagu merdu. Detik demi detik berlalu. Nada dan lirik digarap tanpa renungan panjang berlagak filosof. Lagu pun selesai digubah dengan judul “Pelangi.” Tahun demi tahun, lagu itu dilantunkan ribuan bocah di Indonesia.
Kita mengenali bapak dan penggubah lagu itu bernama Abdullah Totong Mahmud atau AT Mahmud. Lagu dipersembahkan bagi putri tercinta, Rika. Lirik sederhana tentang ketakjuban alam dan pujian pada Tuhan. Kita masih ingat: Pelangi, pelangi alangkah indahmu/ Merah, kuning, hijau di langit yang biru/ Pelukismu agung siapa gerangan/ Pelangi, pelangi ciptaan Tuhan. Lagu tak cuma kata-kata berirama tapi pengajaran bagi bocah. Lagu sederhana, melegenda di Indonesia. Bocah-bocah di TK sampai orangtua masih biasa melantunkan lagu “Pelangi” meski tak terlalu mengenali penggubah lagu.
Pada hari berbeda, AT Mahmud berjumpa Emil Salim dan keluarga. Perjumpaan membahagiakan saat usia sudah menua. Emil Salim mengenalkan putri tercinta bernama Amelia, usia tiga tahun. Bocah itu memanggil: “Om Totong.” Panggilan merdu ingin dijawab dengan lagu. Hari berganti hari, AT Mahmud terkesan kelincahan dan keramahan Amelia. Om Totong menulis lagu berjudul “Amelia.” Kita mungkin masih bisa mengingat lirik memuji bocah: O, Amelia, gadis cilik lincah nian/ Tak pernah sedih, riang selalu sepanjang hari/ O, Amelia, gadis cilik ramah nian/ Di mana-mana Amelia banyak temannya. Lagu mengeratkan hubungan dua keluarga. Lagu tetap terkenang sepanjang masa.
Pilihan menggubah lagu-lagu bagi bocah-bocah memiliki titik penentuan. AT Mahmud di buku berjudul Pustaka Nada (2008) mengingat: “Ketika pada tahun 1964 penulis menjadi guru di Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak (SGTK), kemudian disebut SPG 2, di Jalan Halimun, Jakarta, penulis mengamati bahwa para murid di SGTK sering mengalami kesulitan saat praktik mengajar di taman kanak-kanak. Khususnya jika diminta mengajarkan lagu baru atau dituntut mencari lagu yang sesuai dengan pengajaran yang harus disajikan. Keadaan itu disebabkan antara lain sukarnya memperoleh buku nyanyian anak-anak dan khazanah lagu anak-anak tidak bertambah.” Prihatin tak menjadikan AT Mahmud menanti keajaiban. Ia menugasi diri jadi penggubah lagu dan memberi diri ke pengajaran bagi bocah-bocah.
Generasi lama mengingat AT Mahmud dalam acara di TVRI bertajuk Ayo Menyanyi dan Lagu Pilihanku. Acara itu berlangsung selama dua puluh tahun, 1968-1988. Pada 1988, acara diganti oleh pihak TVRI. Para artis dan pemandu berganti tapi segera berakhir tanpa tepuk tangan. Acara baru tak diminati penonton. Keluarga-keluarga di Indonesia telanjur gandrung pada acara bersama AT Mahmud. Kebijakan TVRI perlahan sampai ke penghilangan acara lagu bocah dalam suasana gembira, bersama, dan mendidik (AT Mahmud, Meniti Pelangi, 2003). Televisi seperti bergerak mundur dalam misi menghibur dan mendidik bocah-bocah. Dua acara disahkan menjadi nostalgia.
Kita mengerti pembangunan telah sampai pada laporan-laporan kesuksesan. Kota dan desa bertumbuh secara fantastis. Urusan pendidikan, keluarga, hiburan, dan ekonomi menuju capaian-capaian sesuai mimpi Soeharto. Acara lawas biasa dianggap ketinggalan zaman. Lagu bocah terkena dampak dari sangkaan masa lalu. Pembangunan justru menghendaki bocah “mabuk hiburan” tanpa harus merenungi identitas, nasionalisme, alam, dan religiositas. Mesin pembangunan bersuara bising, mengalahkan kemerduan bocah-bocah melantunkan lagu-lagu gubahan Ibu Soed, Pak Dal, AT Mahmud, dan Pak Kasur. Penguasa rela mengganti dengan slogan-slogan agar bocah giat dalam pembangunan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN.
Sejak bocah, AT Mahmud belajar bermain gitar. Pada usia dewasa, ia tekun belajar bahasa Inggris dan berprofesi sebagai guru. Usia semakin bertambah tanpa sadar ada panggilan untuk kembali menggandrungi musik. Pada saat berkeluarga dan menunaikan tugas mendidik-mengajar di Jakarta, ia memilih mengabdi di jalan seni: menggubah lagu-lagu bagi bocah. Keputusan pada tahun 1964 itu sempat disesali sang istri. Tangan kembali memetik gitar dan kertas-kertas siap ditulisi lagu-lagu bocah.
Gairah bermusik menguat dengan belajar pada lagu-lagu gubahan Ibu Soed, Pak Dal, dan seniman-seniman di Indonesia. Keputusan itu mengantar AT Mahmud bersiaran di radio dan televisi. Album-album lagu terus diproduksi dan laris di pasar. Tahun-tahun pengabdian seni berlanjut ke penerbitan buku-buku. Beliau referensi bagi guru-guru TK dan SD. Bocah-bocah Indonesia terhibur dan belajar sambil berdendang. Kerja dan capaian itu mendapat penghargaan berupa Hadiah Seni, 1999. AT Mahmud (2003) mengaku itu hadiah seni pertama dari pemerintah melalui upacara resmi. Penghargaan mesti menunggu rezim Orde Baru tamat?
Pada 1986, terbit buku AT Mahmud berjudul Gita Puspa. Buku diterbitkan oleh Balai Pustaka. Pengantar dari penerbit: “Dengan bernyanyi anak-anak diharapkan mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara apresiatif dan perseptif. Dengan demikian dapat membantu menumbuhkan rasa estetis pada masa-masa perkembangannya menuju pribadi yang serasi.” Bocah tanpa bersenandung mungkin termenung dalam sedih dan nelangsa. AT Mahmud turut membagi hiburan dan pengajaran ke bocah agar terhindar dari segala kebodohan dan kesesatan. Pelbagai tema digarap, sejak masa 1960-an. Ia berhasil menggubah 500 lagu tapi tak semua terkenal. Kita membuat daftar pendek: “Pelangi”, “Amelia”, “Ambilkan Bulan”, “Aku Anak Gembala”, “Libur Telah Tiba”, dan “Bintang Kejora”.
Pada pergantian abad, AT Mahmud masih berperan dalam mendidik-mengajar bocah dengan lagu. Situasi Indonesia telah berubah. Sejak masa 1990-an, bocah-bocah kehilangan acara-acara mendidik di televisi. Industri hiburan malah mengajak bocah-bocah ikut dalam lomba-lomba komersial. Bocah-bocah melantunkan lagu cinta: pop, dangdut, dan campursari. Program lagu bocah semakin langka. Tokoh-tokoh pendidikan dan seni kehilangan pengaruh saat industri memberi mimpi sukses, uang, dan popularitas. Para tokoh dan lagu-lagu lama lekas terlupakan. AT Mahmud tak berputus asa. Pada 2003, terbit buku berjudul Lagu Anak Muslim. Lagu-lagu religius mungkin mengajak bocah insaf atas kuasa Tuhan dan arti kehidupan. Lagu religius tak serupa khotbah.
Tokoh bagi bocah-bocah dan kaum guru itu dilahirkan di Palembang, 3 Februari 1930. Kelahiran di masa maleise melanda tanah jajahan. Sejarah suram tapi AT Mahmud membuat sejarah baru bersenandung dan sinau bagi bocah-bocah seantero Indonesia, dari masa ke masa. Bagi bocah-bocah abad XXI, mengenali AT Mahmud diperantarari Tasya. Mereka ingat suara merdu dan lucu Tasya saat bersenandung “Libur Telah Tiba”. Tasya itu bocah menggemaskan di mata penonton televisi. Lagu itu gampang dihapalkan jutaan bocah tapi arah menuju biografi si penggubah lagu (AT Mahmud) tak mudah. Lagu sering dicukupkan untuk dilantunkan tanpa kemauan mengenali AT Mahmud.
Situasi itu jarang membuat AT Mahmud bersedih. Ia selalu saja bahagia dan merasa memiliki peran bagi Indonesia: “Setiap kali mendengar lagu saya dinyanyikan, yang pertama-tama terbayang oleh saya peristiwa atau cerita bagaimana lagu itu tercipta dalam ruang, waktu, dan pelaku yang melatari.” Ia memilih lagu demi kegirangan bocah-bocah Indonesia sepanjang masa. Selama puluhan tahun, AT Mahmud memberi lagu-lagu, menjadikan Indonesia bersenandung setiap hari tanpa jemu. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022