
Terhitung sebulan tiga belas hari setelah menikah, Tn. Reza mulai mengangkat senapan angin buat menembak ayam di pekarangan. Sekarang dia sedang mengasah tombak batu buat memburu gurami di kolam belakang, sementara istrinya, Ny. Reza, menunggu di dapur sambil menyempurnakan mengolah bumbu pasemol Cianjuran, meski sebenarnya Ny. Reza lebih suka rica-rica kakap dengan sambal dabu-dabu.
Cintaku, seandainya aku ini Nabi Musa, atau minimal keturunan dekatnya, dan masih bisa membelah lautan meski tidak sempurna, kata Tn. Reza pada istrinya seraya menyisik ikan, tiap kali lapar kita akan membelah lautan dan menangkap ikan seperti anak-anak tetangga menangkapi kupu-kupu di kebun.
Ny. Reza tertawa dan berkata di sini jauh dari laut Sulawesi, seandainya suaminya membelah laut dekat sini, yang ada laut Selatan Jawa, dan di dasarnya ada kerajaan gaib. Bisa dikira mata-mata dan penjajah dari daratan, kemudian mereka menangkap kita, lanjut istrinya berkata sambil menggerak-gerakkan tangkai daun kemangi.
Tn. Reza memegang mata ikan, wah, betul juga, katanya, tapi bukannya malah tiap hari bisa makan ikan laut?
Ny. Reza, dengan naluri yang besar bersama debur ombak, menegaskan kalau itu memang benar, karena yang dekat laut saja makannya ikan laut, apalagi yang di bawah laut, tapi kalau tidak biasa bakal bikin suaminya bosan. Lama-lama suaminya di dasar laut akan meminta kangkung, kangkung yang justru dimasak daunnya dan tangkainya dibuang tidak seperti di kerajaan laut sana, atau meminta gurami pasemol seperti ini. Atau lalapan dengan sambal bawang segar disertai kencur dan terasi sebagaimana kesukaan orang Sunda, dan tentu saja akan meminta nasi, sementara di kerajaan laut tidak ada sawah. Sampai akhirnya orang-orang di sana berpikir bahwa nasi itu penting, dan mereka merasa perlu menanam padi di dasar lautan yang berisi pasir, juga menanam jeruk dan daun kemangi di antara celah batu karang. Karena tidak tumbuh, akibatnya mereka impor dari daratan hanya karena takut kalah gaya. Dan itu semua membuat kerajaan mereka merasa miskin, meski sebelumnya dan sebenarnya mereka kaya-raya dengan kebiasaan mereka sendiri.
Apa kamu kangen rumah? Tanya Tn. Reza sebelum menyobek daun pisang dan melayukannya di atas api tungku.
Tidak, kata istrinya, kenapa?
Tidak apa-apa, sahut Tn. Reza, dalam teologi dijelaskan manusia kangen surga karena mereka pernah tinggal di sana dengan bahagia.
Aku bahagia di sini kok, kata Ny. Reza.
Yakin? Aku selalu khawatir, hampir setiap hari khawatir kalau orang-orang terdekatku, yang tidak seberapa jumlahnya itu, tidak bahagia hidupnya. Sejak jalan kaki jauh dua tahun lalu, aku merasa tidak pernah mampu mengubah dunia, hanya paling banter diriku sendiri, dan setelahnya mengabdi buat keluarga atau orang terdekatku, Tn. Reza berkata sembari membuat lidi pengait daun.
Sayang, kata istrinya sembari menghentikan membaluri gurami dengan bumbu, supaya tidak khawatir, mulai sekarang kamu harus tahu bahwa kamulah rumahku, surgaku, kalau aku kangen rumah, berarti kangen kamu, kangen kita, dan nanti, kangen anak-anak.
Pembicaraan tentang anak-anak selalu membangkitkan minat tinggi bagi Tn. Reza, mulai kemarin, hari ini, dan sepertinya esok hari juga.
Meski pada masa mudanya dia berpikir betapa pusing harus menyelesaikan editan naskah sementara dari kamar jerit bayi minta ganti popok, atau sedang di kantor mengurusi penulis-penulis yang berisik dan merasa dirinya, masing-masing-masing diri penulis itu, adalah warga negara istimewa di negara yang bahkan hanya memiliki dua daerah istimewa dari puluhan daerah dan ribuan pulau ini.
Tn. Reza sebelum menikah sempat membayangkan, betapa pada suatu hari, pikirnya, orang-orang yang menulis sastra, termasuk dirinya, akan dibelah kepalanya menjadi dua setelah menikah, dibelah lagi menjadi tiga setelah punya anak, dan di dalam belahan-belahan itu, dia harus bersusah payah menghasilkan karya sebagai wujud keberadaannya. Padahal saat masih sendiri saja berkarya susahnya minta ampun. Dia sempat merenungkan penulis yang sering juara dan produktif adalah penulis yang masih berkepala satu di mana satu kepalanya tiap hari mikir tulisan, mikir perdebatan dengan penulis, mikir status penulis lain, mikir komentar penulis lain, mikir grup penulis, mikir honor penulis, mikir penerbitan ganda penulis, mikir semua hal tentang menulis, bagaimana ketika kepalanya telah dibelah jadi dua, pikirnya.
Hei, Bung, sudahlah, kita ini jenis manusia biasa-biasa saja di antara banyak tipe manusia lain yang luar biasa, kata temannya yang berkacamata di kafe.
Biasa saja bagaimana, Bung? Tanya Tn. Reza muda.
Ketika kita kecil, kita ini jenis biasa-biasa saja dan ingin besar, sekolah ingin lulus, lulus ingin kerja, kerja ingin menikah, menikah ingin punya anak, punya anak ingin punya cucu, punya cucu ingin mati karena sudah bosan lama benar hidup ini dan begini saja, ketika mati ingin masuk surga, ketika masuk surga, nah, keinginannya tambah mengerikan, ingin abadi di sana selamanya.
Tapi aku cemas ini, Bung, apa masih bisa menulis dan memahami pemikiran dunia, sahut Tn. Reza muda.
Baguslah kalau cemas, penulis yang tidak cemas itu hanya pensiunan penulis. Sudahlah, menulis itu soal kebiasaan dan ketekunan, kalau dilatih dengan kerja keras dan penderitaan yang baik, meski punya waktu sempit dan sepanjang usia hidup di dalam benteng pertahanan perang yang sibuk dan sering ditembaki musuh, seseorang akan tetap bisa nulis laporan pandangan mata perang, buku harian perang, bahkan novel dan komik perang. Lagi pula, nulis itu kayak beriman, bukan tentang kapan seseorang mulai beriman, tapi sampai kapan, sebagaimana mati, semua orang akan mati, tinggal caranya. Kukira penulis yang khusnul khatimah itu penulis yang mati dalam keadaan menulis atau sehabis menulis, kata temannya lebih lanjut sambil ketawa, yang mana pekan depan si teman berkacamata ini akan pergi mendalami studi hubungan internasional di China tentang jalur sutera, jalur perang dagang, dan jalur perang dunia di masa depan.
Masalah yang menarik justru, kata temannya itu setelah minum jus, ketika punya anak nanti dan kita tidak tahu pendidikan seperti apa yang cocok baginya di masa depan. Anak-anak akan menghadapi masa yang berbeda dengan kita. Mereka akan hidup pada era algoritma. Paling simpel gini contohnya, anak-anak lebih diwarisi hewan-hewan liar dalam bentuk animasi dan yang terpenjara dalam kebun binatang. Ayam dan gurami pun besar dalam peternakan yang berdesakan memakan yang bukan hasil perburuan mereka. Kalau pun banyak hewan liar, itu adalah nyamuk dan lalat, yang tentu saja tidak akan kita makan sebagaimana cecak. Anak-anak akan berevolusi dengan perlahan menjauh dari alam atau sebenarnya dijauhkan oleh generasi sebelumnya. Kita harus khawatir mereka tidak lagi mencicipi nikmatnya makan umbi yang ditanam sendiri, atau ikan yang ditangkap dengan berburu.
Kalimat panjang yang dipenuhi rasa sok tahu dari temannya tersebut tenyata memengaruhi pemikiran Tn. Reza muda.
Terlebih Tn. Reza muda seorang pencinta alam yang rajin mendaki gunung dan melewati lembah di antara sungai yang mengalir indah bersama teman petualang.
Karenanya, setelah menikah, Tn. Reza memutuskan tidak tinggal di kontrakan dalam kota, melainkan mencari rimbun pekarangan yang menyerupai hutan dan membangun rumah kayunya dibantu para pekerja yang cekatan dan sebagian lain menggali tanah buat kolam dan membelah bambu buat pagar kandang ayam, pagar yang rendah.
Rumah itu nyaman dan hangat. Di hari kerja dia akan pergi berkendara ke kota selama satu jam jaraknya, ke kantornya, dan kembali ke rumah pada sore, lalu melatih kemampuan berburu dan meramu sampai malam tiba, lantas menyalakan api dalam tungku buat membakar ubi yang aduhai nikmatnya. Pada hari libur, seluruh harinya dihabiskan untuk mengasah kapak genggam dan kapak perimbas, sementara istrinya menanam biji-bijian di lahan serta mencangkok tanaman jeruk sebagaimana diajarkan Tn. Reza dengan mahir.
Ini semua demi anak-anak nanti, ketika hari-hari pertama Tn. Reza berkata pada istrinya sambil mengecek senapan angin yang dijual online.
Apa tidak menimbulkan masalah dengan tetangga? Tanya Ny. Reza.
Tetangga kita jauh-jauh, kata Tn. Reza, satu-satunya masalah kita adalah kalau masih ada harimau liar di kaki bukit tua ini. Kita tidak terbiasa hidup bersama mereka. Tidak seperti orang tuamu atau para nelayan yang biasa hidup berdampingan bersama ikan-ikan hiu. Kami orang-orang darat sudah lama tidak berkomunikasi secara baik-baik dengan harimau. Komunikasi kami lewat tiket kebun binatang dan memandangnya dari balik jeruji padahal mereka bukanlah penjahat.
Harimau itu benar-benar muncul tepat sebulan dua puluh hari setelah pernikahannya.
Ketika itu bulan Maret masih menyimpan hujan. Ada suara keributan ayam petelur, yang dibeli Tn. Reza dengan umur yang sudah produktif sebagaimana gurami yang dibeli sudah besar-besar. Kamis malam itu, hujan menimbulkan suara di atas genting, dan membawa hawa dingin, serta airnya turun tidak terkira membuat pohon dan kebun di luar basah semua. Tn. Reza mengenakan kembali sarungnya, mengambil teropong malam, memeriksa CCTV kandang-kandang ternak, dan dia mendapati seekor harimau sedang sibuk makan malam dengan ayam yang tidak disembelih atau diolah lebih dahulu biar lebih hangat dan gurih.
Biarkan saja, kata Tn. Reza.
Tapi bisa habis nanti, Ny. Reza protes dekat layar monitor pengawas.
Dia tidak akan menghabiskan semuanya. Dia akan berhenti ketika kenyang. Lihat saja, dia tidak bawa kantung belanjaan, kan? Tn. Reza meledek istrinya, kemudian membawa teropong malam buat mengintip perilaku hewan liar yang selama ini dia nantikan dan ingin sekali anaknya juga bisa melihatnya secara langsung.
Seandainya kita punya sapi atau kambing-kambing, kata Tn. Reza, tentu akan lebih memuliakan tamu.
Aku tidak sanggup kalau harus merumput tiap hari, bisnis onlineku bisa kacau, respons Ny. Reza setelah minum air hangat.
Kamu tidak perlu merumput. Kita bisa mempekerjakan orang lain, kata Tn. Reza.
Tapi aku juga harus kerja, Ny. Reza membenahi daster, di luar pasti dingin sekali. Aku mesti jadi anak berbakti juga, sekali dua waktu kirim uang belanja buat orang tua.
Seperti kubilang dulu, kata Tn. Reza mengendurkan teropong, aku bisa mengirimi mereka, tapi kamu tetap memaksa kerja. Aku tidak begitu tertarik dengan uang sejak warung depan kosku waktu mahasiswa diobrak-abrik rentenir, mengerikan sekali persoalan uang itu. Aku ambil seperlunya dan keperluanku sangat sedikit. Sisanya terserah mau buat apa. Apa aku salah?
Bukan salahmu, tapi perempuan juga boleh kerja, kan, kata Ny. Reza.
Perempuan bagiku boleh melakukan apa yang menurutnya baik untuk dirinya, kata Tn. Reza, termasuk mau kerja atau tidak kerja. Yang penting dia tidak merasa minder kalau kebetulan menjadi ibu rumah tangga dan merawat anak-anak. Tidak pada tempatnya bagi laki-laki merasa lebih dari perempuan hanya karena telah menikahinya.
Pagi harinya, ketika Tn. Reza bersepeda ke warung di perempatan jauh sana, mau beli garam sebungkus, minyak goreng setengah kilo, bawang merah bawang putih sepuluh ribu, sambil mulutnya menghafal, Tn. Reza bertemu dengan kerumunan orang yang membicarakan pemangsa ayam-ayam mereka.
Tn. Reza berhenti dan mereka meledek saat tahu pengantin baru yang tinggal di rumah kayu antik tapi dilengkapi parabola dan CCTV mau beli garam sepagi ini. Tn. Reza hanya tertawa dan berkata semalam di kandang ayamnya ada harimau. Yang berkerumun serempak tidak percaya, mana mungkin, paling banter garangan atau anjing liar, namun Tn. Reza punya salinan rekaman CCTV di HP-nya, kemudian dia tunjukkan pada orang-orang itu.
Seorang bersarung menduga harimau ini dari gunung purba sebelah sana yang kini dijadikan tempat wisata.
Seorang yang mengisap rokok curiga itu harimau jadi-jadian.
Yang bersarung tidak percaya, buat apa jadi-jadian harimau lalu makan ayam mentah, mending harimau di tempat hiburan bisa dapat duit hanya modal pose foto bareng wisatawan.
Hush, kata yang merokok, zaman sulit begini, ilmu-ilmu gaib makin laris lho.
Halah, mitos, Kang, kata yang bersarung, kalau ilmu gaib bisa begitu, menjadi jadi berubah jadi satpam bank saja, bobol bank, toh buktinya bank aman-aman saja, tidak ada babi ngepet atau harimau yang mencuri saldo rekening nasabah.
Tn. Reza, merasa paling muda di situ dan warga baru, agak segan menimpali, tapi dia sempat mendukung pendapat yang bersarung, mungkin harimau itu lapar karena tidak ada makanan, lagi pula harimau hanya makan ayam bukan mengambil emas atau motor kita.
Yang lain tertawa.
Tapi kita tetap harus menangkapnya, kalau sampai dibiarkan, bisa habis ternak kita dicuri, kata yang berkumis.
Membahayakan kita juga, bisa diterkam pas ke kebun atau cari kayu, kata yang bersarung.
Kalau menurut saya, Tn. Reza bicara hati-hati, sebenarnya harimau itu bukan mencuri. Kenapa, karena saat seorang dari kita menangkapi kijang atau kelinci di hutan disebut dengan berburu bukan mencuri, padahal bisa jadi itu miliknya si harimau, yang dititipkan oleh penciptanya di dalam hutan, karena setiap yang hidup pasti akan diberi makan.
Yang lain terkejut dengan pendapat seperti itu, dan tetap menolak, mereka memutuskan akan menemui Pak Lurah buat kerja sama dengan aparat menangkap harimau yang muncul.
Tn. Reza bersepeda, ke warung, baliknya menombaki gurami, lalu sarapan dan ke kantornya di kota.
Sore hari setelah pulang, tiga orang menemuinya termasuk Pak Lurah dan menanyakan video rekaman harimau. Setelah ditunjukkan, Pak Kapolsek sepakat akan menangkapnya demi keamanan warga, biar nanti dipindah ke kebun binatang. Pak Kapolsek juga meminta Tn. Reza untuk memagari tinggi-tinggi lingkungan peternakannya, jangan serendah itu, agar tidak mengundang hewan-hewan dari perbukitan turun merusak pertanian dan mencuri peternakan warga.
Sebagai warga baru, kata Pak Lurah, sudah semestinya dapat bekerja sama dengan baik.
Tn. Reza diam dan mengingat masa depan anaknya yang hanya melihat nyamuk dan lalat liar, sementara harimau ada dalam penjara kebun binatang dan tidak pernah berburu, apa artinya jadi harimau bertaring dan berkuku tajam kalau hanya diam menunggu kiriman makanan.
Soal ditangkap, baiklah, tapi bagaimana nanti kalau saya yang memeliharanya saja, Tn. Reza memberanikan diri.
Itu melanggar hukum, kata Pak Kapolsek.
Mohon maaf ini, Pak, maaf sebelumnya, bukannya memenjarakan hewan di kebun binatang itu juga melanggar hukum alam, Tn. Reza bicara dengan hormat.
Tapi kalau dibiarkan bisa ditangkap orang yang tidak bertanggung jawab atau yang sengaja memasang umpan dengan peternakan ayam terbuka dan kolam gurami, sindir Pak Lurah.
Mereka pergi dan berkata akan bersiap memasang perangkap. Kalau perlu, menembak dengan bius pada malam nanti. Orang-orang akan bersiaga di daerah kaki bukit, termasuk di dekat rumah Tn. Reza.
Tn. Reza harus menemukan jalan penyelamatan. Dia berkata pada Ny. Reza bagaimana caranya mertuanya dapat bicara dengan hiu.
Ny. Reza menelepon ayahnya dan cukup lama menunggu, sebab sinyal sulit, ketika sudah terhubung bicara tidak jelas, tapi dapat dipahami. Kurang lebih garis besarnya, pertama baca semua surat yang ada cerita Nabi Sulaiman, kedua bersihkan pikiran sebab para hewan memahami maksud tersembunyi yang ditutupi dengan kata-kata dari mulut, tetapi tidak tertutup bagi hewan, ketiga mereka bicara menggunakan getaran semacam gelombang, ini sulit dan butuh waktu empat puluh tahun buat memahami dengan fasih semua isyarat dari getaran gelombang hiu.
Tn. Reza menyela istrinya sambil mencatat dan berkata tidak mungkin menunggu empat puluh tahun, yang praktis karena empat jam lagi bakal dipakai, di luar mulai gerimis.
Ny. Reza menanyakan pada ayahnya dan ayahnya berkata tidak bisa.
Kalau nanti bapak mertua bicara langsung ke harimaunya lewat telepon bagaimana? Tn. Reza menanyakan hal konyol. Nanti bisa dikeraskan volumenya. Atau direkam saja suaranya.
Nah, itu coba nanti, jangan sampai dikurung di kebun binatang, ya, saya juga sedih lihat hiu di TV ada yang dimasukkan kaca, kata mertua lebih lanjut. Tn. Reza merekam suara mertuanya yang biasa bicara baik-baik dengan hiu di laut Sulawesi. Menurut mertuanya, binatang juga memiliki bahasa persatuan. Meski ini bahasa buat hiu, tapi bisa kok dipahami harimau dan hewan lainnya, terlebih jika memulai dengan doa Nabi Sulaiman, para binatang akan taat.
Setelah selesai merekam bahasa yang lebih mirip bisikan dan siulan itu Tn. Reza dan Ny. Reza memutar rekamannya di dapur pada awal malam. Belum lagi dua menit suara itu menggema di rumah, pintu dapur dipatuki sesuatu, dan ketika dibuka dengan rasa takut, terlihat dalam kegelapan ayam-ayam berkerumun seperti salah waktu sarapan, kemudian masuk ke rumah berdesakan menuju suara rekaman yang diletakkan di meja dapur.
Ikan gurami dan lele menyusul mengesot-ngesot, menggelepar ingin sampai dengan badan penuh lumpur, kelinci lebih cepat, dan kelelawar hadir berputar-putar seperti pesawat tempur bermanuver, laron muncul, nyamuk berkerumun, cecak waspada, dan dari luar terdengar gaduh ternak tetangga dan suara burung hantu yang seperti memanggil sesuatu. Rumah berubah jadi gaduh dan alat-alat dapur pada jatuh ketika burung-burung muncul nangkring di rak piring. Ular-ular muncul dan melingkari selang tabung gas, sementara kepalanya menyimak suara mertuanya dalam rekaman di atas meja dapur.
Telepon ayahmu, Tn. Reza kini berseru pada istrinya yang sama-sama berdiri di atas meja, bahaya ini. Semua binatang bisa datang kemari.
Tidak terhubung, Ny. Reza ikut panik.
Coba lagi, Tn. Reza mengambil nyamuk yang nempel bibir, kalau sampai para pemburu harimau itu datang, nanti mereka mengira justru kita yang punya kekuatan gaib.
Iya ini lagi dicoba, Ny. Reza terus menelepon, tidak ada sinyal, nih, lihat, tidak bisa.
(Xi’an, 2020)
Buat temanku yang baru menikah, Reza Nufa. Selamat menempuh hidup baru.
- Sastra di Antara Fiksi dan Fakta Virus Corona - 15 April 2020
- Pemburu - 21 February 2020
- Bisikan Menulis Novel dari Peraih Nobel - 20 April 2019
Anonymous
Pantas saja cakep, yg nulis begawan.
KN Krise G
La ya itu.. Nguweri
fajar
keren
Anonymous
akhir yang kocak… keren
nita emiliana
apasehhh, kata temen w yang penasaran ngeliat w ketawa-tawa sendiri baca ni cerpen. haaaa…haaaa