Pemeran Utama

akhbar-alkhaleej.com

 

Sangat dimungkinkan seseorang menyaksikan dan merasakan peran Allah Ta’ala ketika sang hamba itu sedang mempersembahkan berbagai macam amal kebaikan dengan segenap makrifat dan ketulusan terhadap hadiratNya. Pun, dia juga bisa menyaksikan peran Allah Ta’ala dalam setiap perbuatan baik yang dilaksanakan oleh orang lain. Bahkan pada “kebaikan-kebaikan” yang terejawantahkan di luar aktivitas manusia.

Sebab, tanpa adanya keterlibatan hadiratNya, bagaimana mungkin seseorang bisa mengerjakan suatu kebaikan walau nilainya hanya sebutir debu? Tak mungkin. Karena Allah Ta’ala merupakan pusat sekaligus sumber dari segala kebaikan. Dan kebaikan-kebaikan yang bertebaran pada seluruh makhluk, utamanya manusia, tak lain merupakan emanasi dari hadiratNya. Tak ada sumber emanasi yang lain lagi.

Ketika seseorang beribadah sembari menyaksikan titik fokus dari tujuan ibadah itu, dia akan melihat Allah Ta’ala sebagai segenap kekuatannya. Menjelma gerakan tangan, gerakan kaki, gerakan anggota tubuh yang lain, pandangan mata, pendengaran telinga, kekhusyukan hati, kejernihan pikiran, dan sebagainya.

Maka dapat dipastikan secara esensial bahwa selain Dia sendiri tidak ada dan tidak akan pernah ada siapa pun yang bisa menyembah hadiratNya. Menakjubkan bukan? Hanya Dia yang bisa menemui diriNya sendiri. Yang lain muspra. Seakan Dia berderivasi “menjadi sekian” untuk kemudian menyatu kembali melalui pintu-pintu sembah sujud para hambaNya.

Seandainya aku, engkau, atau siapa pun belum sampai pada kedudukan rohani yang terpuji ini dan sama sekali tidak memiliki kaki spiritual yang tangguh untuk melangkah ke sana, maka kita tidak perlu “khawatir”. Karena seorang mistikus besar dunia, Ibn ‘Arabi di mana, menurut James W. Morris, seluruh kitab tasawuf karya sufi-sufi yang lain setelah Si Belerang Merah itu hanyalah merupakan catatan kaki dari karya-karyanya, telah menunjukkan peta tentang jalan suci itu kepada kita.

Yaitu dengan pertama kali memahami bahwa para nabi itu, utamanya Nabi Muhammad Saw., adalah orang-orang yang paling presesif penciptaan lahir dan batin mereka dengan risalah yang dimandatkan oleh Allah Ta’ala kepada mereka. Betul-betul singkron antara wadah rohani kejiwaan mereka dengan isinya yang berupa madu spiritualitas yang mesti dijajakan kepada umat atas nama takzim dan cinta kepada hadiratNya semata.

Memahami “perangai” para nabi dengan untaian-untaian kerohanian yang berkilauan dan berpendar-pendar pada kehidupan mereka merupakan sesuatu yang sangat urgen. Yaitu tak lain agar kita mempersiapkan diri sebagai wadah rohani yang kukuh dan indah sehingga “layak” mendapatkan curahan isi rohani yang kukuh dan indah pula dari tambang kemurahanNya.

Untuk tujuan yang mulia itulah kita mesti tekun belajar, sebagaimana telah diteladankan oleh para nabi, untuk menafikan berbagai macam ketertarikan kepada segala sesuatu yang secara hakiki sesungguhnya memang tidak ada dan tidak mungkin ada. Itulah fungsi spiritual dari la (لا) nafi yang termaktub di dalam kalimat tauhid.

Dari reruntuhan dan puing-puing berserakan yang hancur oleh kerja rohani la nafi itu, selain akan menjulang pohon itsbat (إثبات) yang kukuh dan rimbun yang akan selalu menaungi dan bermanfaat bagi kehidupan, akan menghambur pula cahaya spiritual para nabi terhadap si salik yang akan senantiasa menjadi suluh bagi dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya dalam menempuh perjalanan paling menyenangkan menuju kepada rida Allah Ta’ala.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!