Yudhi Herwibowo (2018) menjuluki Wage Rudolf Supratman adalah “sang penggesek biola”. Julukan untuk mengesankan peran di sejarah nasionalisme dan keampuhan bermusik. Di biola, lelaki memiliki sapaan Wage memberi lantunan sejarah membentuk dan memuliakan Indonesia. Pada 2019, lagu pernah dimainkan dengan biola di peristiwa 1928 terus teringat di lapangan stadion sepakbola, sekolah, hotel, dan pelbagai tempat. Usulan melantunkan Indonesia Raya di gedung bioskop memicu polemik. Anjuran berdalih nasionalisme tanpa harus ada misi mengenalkan biografi si penggubah lagu.
Pada hari-hari politik, orang-orang mungkin melupa ada peringatan Hari Musik Nasional, mengacu ke tanggal kelahiran Wage, 9 Maret 1903. Biografi sebagai komponis dimuliakan tanpa harus menepikan pengenalan Wage adalah pengarang dan jurnalis. Nama besar bagi Indonesia, tak memastikan bakal semakin “dimiliki” melalui penerbitan buku-buku biografi. Ketokohan dalam sejarah kadang mengabur gara-gara ketiadaan buku untuk dipelajari, dari murid SD sampai mahasiswa.
Pada 1952, Soebagijo IN mulai mengenalkan Wage ke publik dengan buku tipis berjudul Wage Rudolf Supratman. Buku terbitan Panjebar Semangat. Penerbit itu mengingatkan ke tokoh pendiri bernama Soetomo. Pada masa lalu, Wage memiliki kekaguman pada Soetomo selaku penggerak Boedi Oetomo dan pemikir nasionalisme. Perjumpaan dan percakapan memunculkan janji memuliakan Indonesia. Soetomo bergerak di partai politik dan membesarkan pers. Wage diminta membuatkan lagu untuk membesarkan seruan-seruan politik nasionalisme. Panjebar Semangat menerbitkan biografi Wage tentu kepantasan dokumentasi sejarah.
Wage atau Supratman bertumbuh di pelbagai kota. Babak penting terjadi di Bandung dan Jakarta. Ia mulai mengerti politik. Wage mau terlibat. Rapat-rapat politik dihadiri dan pelbagai surat kabar disimak untuk peka situasi politik di tanah jajahan. Peristiwa-peristiwa itu merangsang Wage tutrut memberi andil di arus melawan kolonialisme. Soebagijo IN mengisahkan dalam bahasa Jawa: “Ija manawa Supratman dong ngrungokake sesorahe para pemimpin ing ndalem rapat-rapat mangkono mau, kadang-kadang tuwuh gagasane kang ngandakake manwa deweke iku aran ora patut banget, jen ta nerus-nerusake panguripane satjara ropjan-ropjan, kaja sing uwis-uwis, sedeng bangsane uripe sengasar, nandang papa ing tengah-tengahing alam kang sarwa subur lan sarwa makmur.” Ia mengubah cara hidup demi nasionalisme. Wage tak ingin Indonesia sengsara. Terlibat di gerakan nasionalisme itu keharusan.
Hari-hari menjadi wartawan di Jakarta mempertemukan Wage dengan kaum pergerakan kebangsaan dan seniman. Pikat ingatan pergaulan Wage diusahakan Umar Nur Zain dalam novel berjudul Namaku Wage (1983). Novel terlalu ingin mendeskripsikan dan menjelaskan. “Seperti biasanya Wage muncul di kerapatan Menteng, Stovia, atau Gang Kenari. Di Gang Kenari, terdapat konsentrasi kegiatan pemuda. Mereka mengadakan rapat, berdebat. Suhu pergerakan nasional memang tetap terpelihara. Wage tekun menghadiri pertemuan-pertemuan di Gang Kenari. Tokoh-tokoh terkenal bemunculan, seperti Husni Thamrin, Tabrani, dan lain-lain. Begitu selesai menghadiri rapat, Wage masih menyadap berbagai keterangan tokoh-tokoh itu.” Pada masa 1920-an dan 1930-an, peran Wage semakin besar di arus nasionalisme. Titik terpenting tentu 28 Oktober 1928.
Pada tahun-tahun kerja belum selesai, Wage menanggung derita demi derita. Di sebuah rumah sederhana, beralamat di Jalan Mangga 21, Tambaksari, Surabaya, Wage Rudolf Supratman wafat, 17 Agustus 1938. Penggubah lagu Indonesia Raya itu tak sempat menjadi saksi pembacaan teks proklamasi dan lantunan lagu Indonesia Raya di serambi rumah beralamat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, 17 Agustus 1945. Wage Rudolf Supratman wafat meninggalkan warisan terbesar: lagu Indonesia Raya. Semula, lagu ini disajikan dengan biola dalam Kongres Pemoeda II (1928). Teks lagu dimuat di Sin Po. Lagu segera menjadi pilihan ungkapan nasionalisme di kalangan pergerakan politik.
Pemakaman Wage di Pekuburuan Kapas, Kenjeran, Surabaya dilangsungkan sederhana. Oerip Kasansengari dalam buku berjudul Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raja (1967) menginformasikan bahwa upacara itu dihadiri 40 orang dari kalangan kepanduan, wartawan, dan warga setempat. Puluhan tahun berselang dari hari kematian, orang-orang ingin mengingat kelahiran. Sejak 2003, kalangan seniman mengusulkan peringatan Hari Musik Nasional. Megawati Soekarnoputri selaku presiden merestui dengan mencanangkan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional. Tanggal dipilih untuk menghormati tanggal kelahiran Wage. Kelahiran sering memberi kebahagiaan dan pengharapan. Tanggal kelahiran sang penggubah Indonesia Raja dihormati sebagai Hari Musik Nasional. Kita turut bergembira. Kebijakan berlanjut pada masa pemerintahan SBY. Presiden dan pemusik itu mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013. Hari Musik Nasional mengingatkan kita pada W.R. Soepratman.
Penghormatan bagi Wage Rudolf Supratman menebus kesedihan saat wafat. Dulu, upacara sederhana tak terlalu mengesankan ketokohan. Tanggal kelahiran sebagai acuan Hari Musik Nasional membuktikan kita adalah bangsa tak abai sejarah. Dulu, JA Dungga dan L Manik dalam buku berjudul Musik di Indonesia dan Beberapa Persoalannja (1952) menjelaskan pengaruh Wage dalam arus musik Indonesia dan kebermaknaan Indonesia Raya. Mereka menulis: “Supratman hanja memakai alat jang berlaku, djadi dimengerti masjarakatnja, dalam zamannja. Usaha-usaha untuk menudju suatu tjorak jang tertentu buat musik Indonesia tidak kita djumpai pada gubahan-gubahannja. Memang, Supratman lebih dahulu merupakan seorang petjinta tanah air dari seorang penjair, lebih dahulu merupakan seorang nasionalis dari seorang komponis.”
Wage selalu komponis. Umar Nur Zain memberi akhirang mengena bagi pengenang penggubah lagu kebangsaan: “Sinar matahari memantulkan bayangan dari nisan makam Wage Supratman. Burung-burung terdengar berceloteh di atas ranting, beterbangan kian kemari dari satu pohon ke lain pohon. Desir angin lagi-lagi terdengar. Seolah membisikkan sajak yang dibuat RM Jusupadi Danuhadiningrat mengenai kerapatan besar Indonesia Muda pada tanggal 31 Desember 1930 di Surakarta: Dari Djakarta/ Moelailah kemenangan kita/ Boekankah di itoe hari lahir lagoe/ Indonesia Raja, lagoe jang kita/ akoei sebagai lagoe kebangsaan?/ Boekankah di itoe hari kita poeteri/ dan poetera Indonesia bersoempah.”
Sekarang, kita memperingati Wage Rudolf Supratman dan Hari Musik Nasional. Berziarah ke makam, berdoa, atau mendengarkan kembali lagu-lagu gubahan Wage Rudolf Supratman menjadi kepantasan. Kita malah ingin ada ungkapan lanjutan dalam mengerti perkembangan musik di Indonesia. Ribuan lagu telah digubah dan diperdengarkan. Lagu terus mengandung pesan-pesan mengartikan Indonesia, dari masa ke masa. Lagu tentu tak cuma untuk telinga. Sejak 1928, lagu-lagu bertema Indonesia telah menggerakkan kemauan mengejawantahkan ide dan imajinasi Indonesia. Di situ, kita mengenang lelaki dan biola. Ingatan pada kerja sastra dan buku masih menantikan pengisahan. Ia memang penggesek biola tapi telah memberi novel dinantikan bakal cetak ulang. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022