TENGAH malam hampir lewat ketika Ki Broto menghentikan gerakan tariannya yang bertumpu pada hentakan kendang. Tarian yang diciptakannya kali ini sangat bergantung pada hentakan-hentakan kendang yang dimainkan Lik Kirjo. Ki Broto bisa menemukan gerakan-gerakan baru lantaran hentakan-hentakan kendang yang memberi irama setiap gerak tubuhnya, sampai getaran ujung jari. Lik Kirjo menolak untuk terus mengiringi Ki Broto menemukan gerak tarinya. Ia ingin pulang, setelah langit selalu gelap sepanjang hari, gunung menyemburkan awan panas membubung, dan hujan abu menyelubungi pedepokan.
Langit gelap dan orang-orang cemas, suatu saat awan panas akan meluncur dari puncak gunung.
“Tarianku kali ini sangat bergantung pada hentakan kendangmu,” kata Ki Broto. “Kalau kau memainkan kendang dengan sepenuh jiwa, aku akan menemukan gerak tari yang memikat.”
“Semoga saya bisa mengiringi tarianmu.”
“Kuharap kau tak terus-menerus memikirkan istrimu di rumah. Bukankah di dukuhmu tinggal juru kunci gunung yang sakti?”
“Justru rumah kami dekat juru kunci, istriku merasa tenteram dalam situasi genting begini. Ia tak mau meninggalkan rumah,” balas Lik Kirjo.
Lik Kirjo berpamitan. Ki Broto masih ingin menyempurnakan gerak tariannya dengan irama kendang. Tapi ia ingin membebaskan Lik Kirjo pulang. Menemani istrinya di tengah hujan abu yang tiada henti tertabur dari langit. Ia melepas Lik Kirjo meninggalkan pedepokan.
***
LANGIT gelap dalam kecemasan orang-orang di sekitar gunung. Hujan abu deras. Tercium aroma belerang menyelubungi langit. Orang-orang di sekitar rumah juru kunci gunung masih tenang dan seperti tak terjadi apa pun, meski getaran gempa terus-menerus mengguncang tanah. Tamu-tamu berdatangan ke rumah juru kunci gunung. Mereka meninggalkan ruang tamu juru kunci gunung dengan gugup. Tampak sekali wajah mereka kecewa. Gagal mengajak juru kunci gunung meninggalkan dukuh.
Ki Broto diterima Lik Kirjo dengan gugup. Memang baru sekali itu Ki Broto bertamu ke rumah Lik Kirjo. Istri Lik Kirjo tampak tidak berkenan menerima kedatangan Ki Broto yang mengajak mengungsi, menghindari letusan gunung. Tapi kekuatan pandangan mata Ki Broto dan juga pembawaannya yang tenang, telah memberi pengaruh yang kuat pada perempuan setengah baya itu.
“Aku datang untuk menjemput kalian turun dari dukuh ini,” kata Ki Broto. “Di pedepokan terdapat kamar kosong yang bisa ditempati. Kalau keadaan sudah aman, kalian boleh kembali menempati rumah ini.”
Istri Lik Kirjo terdiam. Tersenyum. Memandang Ki Broto dengan cahaya mata yang menertawakan.
“Di sini tempat tinggalku,” balas perempuan setengah baya itu. “Sejak lahir saya berada di dukuh ini. Tak pernah terjadi bencana awan panas. Kami dilindungi juru kunci. Selama juru kunci masih berada di sini, kami tetap selamat.”
Ki Broto tak ingin membantah istri Lik Kirjo. Ia tak bisa melenyapkan keyakinan istri Lik Kirjo. Betapa pun ia sangat bersedih, rasa hormat pada Lik Kirjo yang wajah dan pandangan matanya tenteram serupa itu, mengurungkan niatnya untuk memaksakan kehendak.
Ki Broto membutuhkan Lik Kirjo, penabuh kendang pedepokannya, yang tak tergantikan. Lagi pula, dulu Lik Kirjo pernah tinggal di Dukuh Turgo yang dilanda awan panas, ketika ia sedang menikahkan anak perempuannya. Istri dan anak perempuan yang dinikahkan mati. Lalu, ia menikah dengan seorang janda tanpa anak dari Dukuh Kinahrejo, dan tinggal di rumah istrinya. Di ruang tamu itu Ki Broto berhadapan dengan ketenangan suami-istri. Ki Broto begitu gundah, tetapi mereka tak peduli.
“Ayo, Lik. Ajak istrimu ke pedepokanku. Jangan lagi terulang, keluargamu tersapu awan panas!” bujuk Ki Broto.
“Tak mungkin aku menyelamatkan diriku sendiri,” kata Lik Kirjo. “Lihat, istriku tak mau meninggalkan rumah. Ia hanya mau meninggalkan dukuh ini bila juru kunci juga meninggalkan rumahnya.”
Istri Lik Kirjo tampak begitu tenang, tanpa kecemasan sedikit pun. Wajahnya serupa permukaan batu gunung. Keras. Tak tergoyahkan. Ki Broto kian gelisah dan terguncang.
“Kalau begitu, kutunggu kedatangan kalian ke pedepokanku,” kata Ki Broto, bergegas meninggalkan ruang tamu rumah Lik Kirjo. Ia mulai melihat sebagian orang tetangga sang juru kunci bergegas meninggalkan rumah dan menyelamatkan sapi-sapinya. Tapi banyak juga di antara mereka begitu tenang, persis seperti wajah istri Lik Kirjo, serupa batu gunung yang tak tergoyahkan. Ki Broto menjauh dari rumah Lik Kirjo dengan kegugupan dan lutut gemetar. Ia tak ingin menemukan peristiwa yang terulang seperti saat tinggal di Dukuh Turgo, tergulung awan panas dari puncak gunung.
***
MENJELANG dini hari Ki Broto terbangun. Matanya masih terpejam ketika ia mendengar suara hentakan kendang Lik Kirjo. Ia membuka mata. Hentakan kendang tak lagi ia dengar. Ia kembali memejamkan mata. Hentakan kendang itu begitu bening terdengar. Ia bangkit dan melihat pelataran yang dilapisi hamparan abu tebal. Lik Kirjo dan istrinya tak datang ke pedepokan.
Buru-buru Ki Broto menuju barak pengungsi. Di antara jajaran jenazah yang ditemukan dari Dukuh Kinahrejo, dan jenazah juru kunci gunung, Ki Broto mencari-cari kabar Lik Kirjo. Semalam ia menanti kedatangan Lik Kirjo dan istrinya di pedepokan. Tapi mereka tak pernah datang. Hingga awan panas bergemuruh menggulung dukuh itu menjelang senja. Ki Broto tak ingin kehilangan penabuh kendangnya. Tari “Lengger Mendem” yang tengah ia ciptakan, mungkin tak akan selesai tanpa iringan kendang Lik Kirjo. Ia mencari-cari Lik Kirjo dan istrinya, tak pernah ketemu. Ia mencari-cari di antara jajaran jenazah dalam peti mati, tak pernah menemukan penabuh kendangnya.
***
ESOK paginya Ki Broto kembali datang ke barak pengungsi. Jenazah-jenazah baru kembali ditemukan, berjajar di atas meja. Langit masih gelap hujan abu. Ia ingin menemukan Lik Kirjo, dan memperoleh kabar tentang penabuh kendang itu. Ia bertanya pada orang-orang yang dianggapnya mengenal Lik Kirjo. Tak seorang pun mengetahui keberadaan Lik Kirjo dan istrinya.
Seorang jejaka gagah berkumis mendekati Ki Broto. Menyalami dan mencium tangannya. Ia memperkenalkan diri bernama Jendro. “Saya dulu diselamatkan Bapak. Waktu itu umur saya empat tahun, Bapak bergegas pulang dari rumah Lik Kirjo di Dukuh Turgo yang disapu awan panas. Kalau saja saya tak diselamatkan Bapak, tentu saya sudah hangus jadi arang. Bapak cari siapa? Lik Kirjo?”
Takjub, Ki Broto memandangi perjaka gagah di depannya. Lelaki kecil yang digendongnya ketika awan panas menyapu Dukuh Turgo dulu, kini menjelama jejaka tampan.
“Tolong carikan Lik Kirjo untukku. Aku tak bisa meneruskan mencipta tari tanpa iringan kendangnya.”
“Tunggu. Akan saya cari dia!”
Jendro menyelinap di antara orang-orang yang dikenalnya. Bertanya pada banyak orang. Tapi ia kembali tanpa memperoleh kabar tentang Lik Kirjo. Ki Broto terdiam. Tampak murung.
“Kalau yang Bapak cari seorang penabuh kendang, saya dapat menggantikannya. Saya penabuh kendang dalam setiap pergelaran kuda lumping!”
Ki Broto kembali ke padepokan bersama Jendro. Mula-mula ia tak yakin bila Jendro bisa menggantikan peran Lik Kirjo. Tapi saat ia menghentak kendang, mengiringi tarian “Lengger Mendem” yang diciptakan Ki Broto, selaras dan menjadi roh tiap gerakan. Dengan sepasang mata terpejam, ia seperti memahami gerakan tubuh penari dengan mata hatinya. Tarian Ki Broto kini menemukan kagairahan dan keindahan yang tak terduga, dalam hentakan-hentakan kendang jejaka tampan yang seperti dikirim dari kahyangan untuk menggantikan Lik Kirjo yang lenyap tak pernah ditemukan.
***
(Tragedi 26 Oktober 2010)Pandana Merdeka, November 2020
- Sirep - 30 August 2024
- Fahmara Terapung di Laut Aegea - 13 January 2023
- Iblis Menjelma Senapan Berburu - 16 September 2022
Anonim
Pertama komen hahaha
Vhana
Aku nungguin post-an cerpen baru, tapi blom ada😅
Admin
cerpen tiap jumat ya, kak 🙂
Octaviani
jumat ini gaada update-an cerpen ya ?
Admin
tanggal merah cerpennya juga libur, kak 🙂
Sanar
Masih penasaran ke mana Lik Kirjo
Ovi
Cerpennya bagus bagus
Zhoppenk-XYZ
asik cerpenx bah
Sadad aldi
Cerpennya upload tiap hari apa kak?
Admin
tiap jumat siang, kak
Sabda Sanagara
Wah egois banget
Sandy Novan
Kesimpulannya di mana yak