Penanggung Ilusi dan Tragedi

Lelaki ini berasal dari Jawa, bermukim lama di Belanda. Di negeri penjajah, ia memiliki kepentingan: kuliah, berpolitik, dan tak lupa membentuk diri jadi seniman. Hari-hari di Belanda berbeda dengan pengalaman raga berwaktu di Jawa. Ia cepat kerasan di Belanda. Negeri itu memberi seribu goda, sebelum lelaki itu menerima mala. Ia tercatat di buku sejarah bernama Raden Mas Noto Soeroto (1888-1951).

Di politik, ia bergaul dengan kaum pergerakan politik kebangsaan berdatangan dari negeri jajahan. Mereka jarang bermufakat atau memiliki suara sama di tanggapan politik kolonialisme. Di kancah seni, Noto Soeroto moncer tapi kesepian. Lakon asmara sulit memuncak ke bahagia. Dulu, Noto Soeroto itu nama sering terucap dalam percakapan kaum intelektual, seniman, dan politikus. Ia malah tercatat pula menekuni pers. Di naungan Mangkunegara VII di Solo, ia mengadakan komunitas diskusi dan jurnal-majalah. Pada masa Orde Baru, nama itu perlahan jarang ada di ingatan berdalih gagasan politik atau surut di perbincangan sastra berbahasa Belanda oleh pengarang berdarah-daging Jawa. Ia menghuni buku tertutup lama.

Pada abad XXI, nama itu muncul “malu-malu” tapi masih sulit mendapat pembaca(an) di kalangan sastra, sejarah, politik, dan pers. Di jurnal Kalam nomor 16, kita diajak mengenali (lagi) Noto Soeroto. Di Kalam, nama itu terasa asing bagi orang-orang malas di upacara ingatan. Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis suguhkan artikel berjudul “Noto Soeroto: Aristo-Demokrat Tanpa Pendukung”. Artikel penting menguak ketokohan di sejarah cenderung buram dan muram.

Noto Soeroto dilahirkan di Pakualaman (Jogjakarta). Ia bertumbuh dalam adab Jawa dan keilmuan bercorak modern. Selama di asuhan Jawa, Noto Soeroto sudah mampu mengimpikan jalan hidup kelak di zaman “kemadjoean”. Pada usia 18 tahun, ia mendatangi “kiblat” kemodernan ke Belanda. Di sana, ia belajar hukum. Di sela mengurusi studi, lelaki ingin maju itu menulis artikel-artikel untuk pelbagai surat kabar. Di mata keluarga di Jawa, tulisan itu rawan mengakibatkan Noto Soeroto dapat sorotan dari pemerintah kolonial atau kaum pergerakan nasionalisme. Nasib sering tak untung jika tulisan dianggap melawan, menghasut, dan menghina. Ia tak cukup di tulisan-tulisan prosaik. Lelaki menganut kehalusan Jawa itu menjadi pujangga dan penerjemah puisi-puisi gubahan pujangga India, Rabindranath Tagore.

Di negeri penjajah, peristiwa penting adalah perjumpaan Noto Soeroto dengan Mangkunegara VII saat masih muda. Mereka terlibat di percakapan keilmuan dan kesusastraan di hari-hari berkuliah dan mengamati situasi politik dunia. Mangkunegara VII memberikan buku Gitanjali ke Noto Soeroto. Buku ampuh gubahan Tagore, terbaca kaum sastra di pelbagai negeri. Buku itu dianggap penentu “tabir tersingkap”. Noto Soeroto mulai keranjingan menggubah puisi-puisi, tekun mengerjakan terjemahan puisi-puisi Tagore. Kemampuan berbahasa Belanda, Melayu, dan Jawa menjadikan gairah bersastra subur meski jarang diterpa matahari-tropis.

Di Belanda, ia semakin ingin menjadi manusia beradab di kerja-kerja keaksaraan. Sekian buku diterbitkan: Melatiknoppen (1915), De Geur van Moeders Haarwrong (1916), Fluisteringen van de Avondwind (1917), dan Bloemeketenen (1918), dan lain-lain. Ia berani manusia-buku. Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis mengisahkan: “…. pada 1919, ia membuka sebuah toko buku dan mendirikan perusahaan penerbitan diberi nama Adi Poestaka. Ia bermaksud menerbitkan buku-buku tentang Hindia, fiksi dan nonfiksi. Pada 1923, ia memulai penerbitan majalah berilustrasi Oedaya bagi pembaca Belanda dan Indonesia.” Lelaki Jawa menekuni perbukuan di Belanda (Eropa) bersiap kecewa dan sambat.

Pada masa jumlah mahasisa asal Indonesia semakin bertambah untuk kuliah di Belanda, Noto Soeroto terlibat pula di arus gerakan politik pernah mengejutkan lakon kolonialisme gara-gara ide dan ulah Perhimpunan Indonesia. Di politik, ia tak beruntung: gagal tebar pengaruh dan “tersingkir” dari pembesaran nasionalisme. Ia terpukul dan merana. Rindulah pada tanah asal, Jawa! Keinginan pulang dan menjauhi segala mala semakin sulit dirampungkan. Selama kepulangan, ia mengagumi cita-cita Ki Hadjar Dewantara di pendidikan memberi sinar perubahan di Indonesia. Noto Soeroto pun memiliki kehendak besar di kesusastraan dan filsafat untuk “menerangi” Jawa atau tanah jajahan. Noto Soeroto terperangkap dalam ilusi-ilusi memberi derita dan kecewa.

Ingatan pada Noto Soeroto di politik dan sastra memang penuh kecamuk dan polemik. Pengisahan di sastra pernah terbaca di masa 1970-an dan 1980-an melalui buku berjudul Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia (1974) susunan Dick Hartoko berdasarkan buku garapan Rob Nieuwenhuys. Noto Soeroto cuma bagian dan tokoh “kecil” di tatapan mata pembaca Indonesia. Kita membaca gairah dan resah Noto Soeroto dalam membentuk biografi: “Untuk mengungkapkan diri ia memakai bahasa Belanda, tetapi jiwanya tetap jiwa seorang Jawa.” Situasi itu mencipta keretakan jiwa. Noto Soeroto di sengsara tak lekas usai. Tahun demi tahun, keretakan semakin terasa dan ditanggapi orang lain secara keras. Ia mungkin menanti dipulihkan atau dikasihani secara beradab. Noto Soeroto pada masa 1930-an sampai 1950-an semakin mengerti sedang menanggungkan tragedi.

Keinginan mengenali Noto Soeroto agak dipenuhi dengan penerbitan buku berjudul Wayang-Liederen: Biografi Politik Budaya Noto Soeroto garapan Rosa MT Kerdijk (2002). Noto Soeroto diakui sebagai pujangga Jawa mengungkapkan pikiran dalam bahasa Belanda cukup sempurna. Pengakuan itu tetap membingungkan bagi kita menaruh nama Noto Soeroto di sejarah sastra Belanda atau Indonesia. Bianglala Sastra tampak mengesahkan Noto Soeroto di arus sejarah sastra Belanda. Di sastra Indonesia, para kritikus sastra dan penulis buku-buku sejarah sastra belum berkeinginan mencantumkan nama Noto Soeroto. Kita pun mengerti memang si penanggung tragedi meninggalkan kebingungan bagi kalangan sastra di Belanda dan Indonesia.

Di lakon politik, Noto Soeroto tersisih dan mendapat benci. Di kesusastraan, ia jarang atau enggan menulis politik dalam puisi-puisi. Ia memihak ke seni agung di Jawa. Pengungkapan dalam bahasa Belanda. Kita bisa membaca dengan edisi terjemahan bahasa Indonesia. Pilihan membaca itu tetap “jauh” dari pamrih dan misi Noto Soeroto.

Tragedi demi tragedi pernah ingin diredakan saat Noto Soeroto diundang Mangkunegara VII untuk menunaikan kerja keaksaraan di Solo. Episode pendek di masa 1930-an, Noto Soeroto tetap gagal merampungi tragedi. Rosa MT Kerdijk menulis: “… Noto Soeroto lebih memilih Mangkunegaran sebagai rumahnya. Ia kemudian lebih berkonsentrasi pada pekerjaan bagi Mangkunegaran dan kegiatan-kegiatan intelektual dan budaya. Apalagi setelah Mangkunegaran mulai memperlihatkan minatnya kepada soal-soal budaya.” Ia merasa jadi Jawa (lagi) atau di pemenuhan menjadi Jawa tulen.

Di Solo, sekian keinginan ingin diwujudkan. Tragedi perlahan berdatangan setelah Mangkunegara VII berpamitan dari dunia. Nasib tak tentu. Pada tahun-tahun setelah Indonesia merdeka, masa lalu berpolitik dan sikap atas nasionalisme menepikan Noto Soeroto dari pergaulan publik. Ia sulit mencari pekerjaan demi nafkah untuk kecukupan hidup. Kemelaratan menimpa tanpa ada janji-janji keselamatan. Menulis artikel untuk pelbagai surat kabar pernah dilakukan meski honor tak mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup. Ia masih berhak memiliki predikat penulis di kemelaratan. Ia menderita sampai di hari pamitan, 21 Juli 1951. “Noto Soeroto meninggal dalam kesepian, kemelaratan, dan dilupakan orang,” tulis Rosa MT Kerdijk.

Di kalangan peminat sejarah tak wajib mengusut puncak-puncak kesusastraan, pengenalan Noto Soeroto ada di buku berjudul Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008) susunan Harry A Poeze. Di situ, tragedi Noto Soeroto sering dalam politik, tak terlalu memunculkan sebagai pujangga. Kita terlambat mengenang dan memberi penghormatan dari tumpukan tragedi dan pelupaan. Tanda mengenang dengan mengutip larik-larik di puisi berjudul “Patapan”. Kita membaca saja tanpa ingin menaruh itu di biografi Noto Soeroto: Kuikuti hatiku dalam kesepian demi kesepian/ Tinggi di lereng bukit, jauh tersembunyi dalam hutan/ belantara terletap pertapaan/ Bagaikan kelana yang melepaskan lelah di bawah atap kedamaian yang ramah. Puisi di “peziarahan” di abad XXI saat lupa-lupa sering melanda orang-orang mengaku sibuk di sastra. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!