Pencerita dan Biru

Sejak kecil, Haryati Soebadio (24 Juni 1928-30 April 2007) suka berkeliling kota dengan sepeda. Ia pun suka “berkeliling” dunia dengan membaca buku-buku. Rajin membaca dipengaruhi petuah dari bapak-ibu (Raden Panji Notosoebagio dan Retno Doemilah Djajadiningrat). Ia seperti ditakdirkan jadi manusia-buku sejak lahir pada 24 Juni 1928. Ia memang bukan saksi Sumpah Pemuda tapi mengamalkan sumpah menulis saat sudah dewasa. Semula, ia sekolah dan pintar dalam bahasa Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris. Ia pun bercita-cita jadi dokter.

Cita-cita itu pudar. Pada saat ia sudah remaja, ibu sodorkan kitab tebal berbahasa Jawa Kuno. Ibu berkata: “Ini kitab peninggalan eyangmu. Kalau tidak ada yang membacakan sayang.” Peristiwa itu mengarahkan Haryati menekuni bahasa dan sastra Jawa Kuno. Pada 1950, ia pergi ke Belanda untuk kuliah di jurusan Sanskret di Gemeentelijke Universiteit, Amsterdam. Ia terus kuliah sampai meraih gelar doktor. Di Indonesia, ia mengajar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Pada 1978-1987, karier mengajar diganti di pemerintahan. Ia menjadi Dirjen Kebudayaan (Depdikbud). Pada 1988, ia diangkat menjadi Menteri Sosial. Dulu, ia tak pernah meramalkan bakal menjadi menteri. Ia cuma ingin berkeliling dengan sepeda dan buku. Pada saat mulai berpredikat menteri, ia berjanji tetap ingin menulis: cerita pendek atau novel (Kartini, 4-17 April 1988).

Pada masa Orde Baru, kita memiliki menteri rajin menulis cerita pendek, dan novel. Dulu, kita sudah memiliki menteri suka menulis sastra. Ia bernama Prijono. Cerita-cerita bertokoh binatang ditulis dan membuat para indonesianis terpikat. Tafsir berlatar tata sosial-politik Indonesia masa 1950-an. Pada masa berbeda, Haryati Soebadio adalah novelis dan pengajar, sebelum naik menjadi menteri. Pilihan studi termasuk unik. Ia adalah pengajar bahasa dan sastra Sanskerta di Universitas Indonesia. Kemampuan menguasai sekian bahasa asing mengantar ke bahasa kuno. Keintelektualan “langka” di Indonesia. Ketekunan mengajar mulai digantikan pelbagai urusan besar selama menjadi dirjen dan menteri tapi tetap berjanji terus menulis.

Ia menunaikan tugas ke pelbagai tempat, memberi ceramah, memberi semangat untuk studi-studi kebudayaan, dan menjalankan misi-misi pemerintah bertema sosial. Kerja berat dan menantang. Di buku berjudul Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982, kita membaca deskripsi aneh: “Tapi ketika meninjau ke Kalimantan Selatan untuk pertama kalinya bersama Menteri P & K Daoed Joesoef dan Nyonya, Haryati hampir kewalahan. Terbungkus dalam kain kebaya, ia yang sehari-hari memakai rok terseok-seok–sampai agak jauh–di belakang menteri.”  Kerja dan kerja. Ia merasa agak ribet jika mengenakan kebaya sebagai kepantasan pejabat di naungan rezim Orde Baru.

Ia mungkin merindukan jadi penulis cerita dan pengajar saja. Pada masa 1970-an, Haryati Soebadio sering menulis untuk majalah Femina. Orang-orang mungkin mengenali Marga T atau Mira W ketimbang Haryati Soebadio. Di puiblikasi cerita pendek dan novel, ia memang tak menggunakan nama asli. Para pembaca fanatik majalah Femina mengetahui nama samaran untuk penulis cenderung bertema gaib itu Aryanti. Nama penting tapi jarang jadi perbincangan di kalangan sastra. Ia memang tak seproduktif Marga T dan Mira W tapi memberi selera beda di penulisan sastra masa 1970-an.

Pada 1977, Aryanti menang dalam Sayembara Novel Femina. Ia menulis novel berjudul Selembut Bunga. Kita simak pendapat HB Jassin selaku juri dan kritikus sastra: “… saya menyukai karena bermain dalam suatu niveau atau kalangan yang jarang digarap oleh pengarang kita. Keterpelajarannya juga menarik buat saya” (Femina, 17 Januari 1978). Selembut Bunga terbit sebagai novel oleh Gaya Favorit Press, 1978. Haryati Soebadio atau Aryanti perlahan mencapai puncak bersastra. Ia memang tak di persaingan sastra “berat” tapi mengarah ke selera novel perempuan sedang melanda masa 1970-an.

Novel cap sayembara itu terbit dan dijual dengan harga 900 rupiah. Nama penulis di buku adalah Aryanti, bukan Haryati Soebadio. Novel mendapat resensi sesak pujian di Femina, 2 Agustus 1979. Kita mengutip: “Selain isinya yang manusiawi, struktur cerita ini bukan main menarik…. Kesenyawaan antara struktur cerita dengan tema dan amanat yang ingin disampaikan penulis terwujud. Novel ini berhasil menyuguhkan kebesaran cinta kasih, kebijaksanaan manusia, tetapi sekaligus juga kebodohan dan kekerdilan manusia.” Novel dengam gambar sampul adalah perempuan asing. Aryanti memang bercerita perempuan asal Australia. Di ingatan novel dan majalah, Selembut Bunga mengawali sejarah kemunculan para pengarang perempuan di Indonesia. Aryanti tetap menulis tapi memilih di pengabdian sebagai pengajar. Menulis sastra itu membahagiakan meski bukan menjadi peristiwa utama.

Haryati Soebadio menjadi Menteri Sosial mungkin dihormati selaku pejabat ketimbang penulis sastra. Orang-orang mungkin terus mengenang sebagai menteri di kabinet dengan misi kesuksesan pembangunan nasional. Selama berperan jadi menteri, Aryanti tetap membaca dan menulis cerita. Orang keranjingan membaca novel memastikan Haryati Soebadio itu Aryanti. Publik belum tentu mengenali. “Kalau menulis fiksi jangan pakai nama asli,” Haryati Soebadio mengenang usulan dari sang putri bernama Lukna. Ia mufakat dengan memilih nama Aryanti.

Ia mengingat masa kuliah di Belanda. Kebiasaan menulis dibuktikan dengan mengisi rubrik-rubrik di majalah perkumpulan mahasiswa. Ia menulis artikel dan reportase. Pulang ke Indonesia, Haryati Soebadio membaca edisi-edisi awal majalah Femina. Ia memberi saran-saran ke pihak redaksi. Sikap itu malah ditanggapi redaksi dengan permintaan agar Haryati Soebadio mau menulis untuk Femina. Semula ia menulis cerita dan pengalaman perjalanan. Femina memulai tradisi mengadakan lomba menulis novel dan cerita pendek. Haryati Soebadio ikut dengan nama samaran Aryanti. Kemenangan diraih tanpa ia bisa menjelaskan dalih memilih nama samaran adalah Aryanti.

Di Femina, 9-15 Agustus 1990, ia mengenang: “… saya menulis hal-hal gaib. Mengapa? Saya juga tidak tahu. Di Indonesia, hal yang gaib masih hidup, misalnya dalam lingkungan ibu atau pengasuh saya. Mau percaya atau tidak, suasana itu normal bagi kita. Tapi saya pribadi belum pernah mengalami atau melihat sesuatu.” Ia memilih tema itu membedakan diri dari arus besar penulisan novel selalu asmara dan perkotaan. Kebiasaan menulis cerita-cerita gaib berdampak saat berpredikat menteri. Haryati Soebadio ingin selalu semangat dalam kerja. Di mata sesama pejabat dan staf, ia dianggap selalu bersemangat atau jarang letih. Haryati Soebadio menjelaskan cara diri bersemangat: “Saya mengenakan gaun yang berwarna biru. Warna biru seolah punya kekuatan magis bagi saya, bisa menimbulkan semangat. Jangan heran bila gaun saya kebanyakan berwarna biru atau mengarah ke biru.” Ia memang penulis cerita gaib dan memiliki pengalaman “biru”. Kita mencatat nama Aryanti sebagai pengarang, sebelum sejarah cuma mencatat sebagai menteri. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Comments

  1. Hasti Reply

    Sangat informatif 👍
    Saya sedang mencari cerita bersambung “Episode” karangan Aryanti di majalah Femina thn 70-an.
    Ada yg bisa menolong?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!