Pencuci: Tangan dan Mesin

Biografi pencuci sering tercecer di halaman-halaman sejarah. Para pencuci mungkin belum pantas terakui sebagai penentu kemajuan peradaban di Indonesia. Mereka mencuci saban hari, belum tentu sanggup “membersihkan” segala “kotor” dalam tata cara penulisan sejarah dan pilihan tokoh. Dulu, pencuci sering bertokoh perempuan ketimbang lelaki. Di rumah, mencuci baju seperti pengesahan kemuliaan perempuan. Para leluhur sudah berpesan agar kaum perempuan diajari mencuci sejak bocah agar kelak menjadi istri idaman atau istri bertanggung jawab di rumah.

Di majalah-majalah perempuan, mencuci termasuk tema penting. Peristiwa mencuci pun jadi sasaran pemuatan iklan-iklan: detergen dan mesin cuci. Bukalah majalah Suara ‘Aisjijah No. 1 Tahun 45, 1970! Di halaman 1, artikel ringkas berjudul “Merawat & Mentjutji Pakaian” oleh Ibu Djuvaina Wachid. Si penulis tentu sudah terlupa oleh pencatat atau pengkliping kemunculan kaum perempuan atau kaum ibu sebagai penulis di Indonesia. Artikel itu penting! Pembaca jangan meremehkan dengan menuntut perempuan harus menulis artikel bertema politik, seni, pendidikan, sosial, filsafat, dan sepak bola. Pilihan menulis artikel bertema kerumahtanggaan pun patut dicatat sebagai ejawantah keintelektualan di arus literasi Indonesia.

“Didjaman sekarang ini, banjaklah djenis-djenis bahan pakaian, dari tingkatan paling rendah sampai jang paling atas, jang masing-masing memerlukan kebidjaksanaan dalam menanganinja. Jang djelas perawatan jang baik dengan pentjutjian jang mengingat akan segenap sifat-sifat bahannja akan mendjadikan bahan-bahan itu tetap awet baik warna maupun tenunannja,” penjelasan di artikel. Mencuci itu pekerjaan serius, teliti, dan memerlukan ilmu.

Pada saat mencuci, ibu memiliki siasat dan ketekunan melakukan perawatan pakaian demi keluarga. Peran suami mencari nafkah untuk dibelanjakan pakaian pantas dihargai dengan cara mencuci secara baik dan benar. Kehormatan ibu bakal dibuktikan melalui hasil cucian saban hari. Pakaian tetap indah dan awet tentu mengesahkan ibu itu bijak. Ia pandai dalam mengurusi pakaian, menghindari boros akibat sering belanja pakaian berdalih pakaian-pakaian lama cepat rusak atau luntur warna. Ibu bijak adalah pencuci berilmu, bukan pencuci judes, sembrono, dan manja.

* * *

Dulu, mencuci biasa dilakukan di sungai atau sumur. Peristiwa mencuci memerlukan tenaga berasal dari tubuh. Perangkat-perangkat mencuci memungkinkan ikhtiar membersihkan pakaian berlangsung secara lancar.

Di Jawa, ada anutan bahwa sumur termasuk ruang milik perempuan. Sumur bisa diartikan ruang untuk mencuci piring, gelas, dan pakaian. Pertambahan penduduk dan pengadaan permukiman perlahan menghilangkan sumur tradisional, berganti mesin air menggunakan pipa dan keran. Tampilan sumur dengan tali dan timba sudah jarang ditemukan di kampung-kampung. Adegan mencuci pun mengalami perubahan tempat, alat, dan makna.

Pada tahun 1950-an, iklan-iklan sabun tangan untuk mencuci gencar tampil di koran dan majalah. Pelbagai merek sabun cuci bersaing ingin membujuk konsumen. Kita pun ingat bahwa sabun cuci pada masa lalu berwujud batangan, bubuk, atau adonan lembek. Siasat pemasaran canggih pernah dilakukan oleh perusahan sabun cuci bermerek Sunlight melalui penerbitan buku bacaan dan mewarnai untuk anak-anak. Buku berjudul Dengarlah Tjeritaku…, tebal 16 halaman. Buku diproduksi agar anak-anak belajar sambil mengenali merek sabun cuci dan mengerti pekerjaan ibu.

Buku berisi cerita tentang Aminah, sosok ibu bertugas mencuci di kali. Di halaman awal, kita melihat gambar Aminah sedang mencuci di pinggir kali: tangan menggosok pakaian di atas papan dan keranjang berisi pakaian kotor. Di sebelah gambar, tercantum keterangan: Inilah Aminah, ibu utama/ setiap pagi mentjutji dikali,/ Radjin mentjutji penuh usaha/ untuk keluarga anak-suami// Membawa kerandjang/ penuh pakaian/ kain, sarong, tjelana, badju,/ Semua ditjutji dengan harapan/ supaja bersih, rapi selalu. Pekerjaan mencuci itu memerlukan waktu lama. Hasil cucian tak bisa dipastikan bersih. Aminah mulai mengeluh saat melihat teman bernama Marjam mencuci secara cepat dan bersih. Marjam memberitahukan “rahasia” mencuci cepat dan bersih dengan mengajukan sabun bermerek Sunlight, sabun berbentuk batangan.

Aminah membuktikan keterangan Marjam. Di kali, Aminah mencuci lagi, menampilkan wajah semringah. Kita simak cerita dalam buku: Sampai dikali Aminah mentjutji/ tiada sukar, sangatlah mudah,/ Kata si Marjam sungguh terbukti/ banjak berbusa berlimpah-limpah. Cerita diakhiri secara berlebihan: “Aminah ibu utama merasa bahagia didalam hati.” Sabun itu dianggap penuh khasiat, mengentengkan pekerjaan dan menimbulkan gembira. Penggunaan cerita dan gambar untuk iklan mengarah ke bocah. Ibu atau bapak bertugas membacakan cerita. Tugas bocah adalah mewarnai. Sabun dan mencuci berkaitan lakon keluarga. Mencuci menjelaskan rutinitas ibu sebagai pelaku dan penanggung jawab.

Kemonceran sabun cuci Sunlight berlanjut pada masa 1960-an. Iklan-iklan terpasang di pelbagai majalah. Kita membuka majalah Keluarga edisi Mei 1962. Iklan bertokoh ibu dan bocah. Ibu adalah pencuci berpaham bersih. Sunlight dipilih agar tanggung jawab di rumah terbuktikan. Keuntungan sabun cuci Sunlight menurut iklan: “banjak busa – mudah mentjutji, sedikit sabun – banjak tjutian, tjutjian tjepat bersih, pakaian tetap awet.” Ibu pun berani pamer ke bocah untuk hasil cucian. Bocah itu belum mengerti tapi rela mesem pada ibu.

* * *

Pada masa berbeda, 1960-an, terbit buku berjudul Penuntun Tjutji-Mentjutji susunan Njonja E Sumi. Buku “dapat dipakai untuk sekolah-sekolah keputrian dan rumah-tangga.” Buku bersampul gambar ember, pakaian direndam, pakaian dijemur, pakaian terlipat rapi, dan setrika. Kita ingat bahwa bocah-bocah di “sekolah rakjat” atau sekolah dasar diajari orangtua untuk mencuci. Pembelajaran dilakukan sejak dini agar bocah bertanggung jawab dengan pakaian sendiri. Mencuci menjadi cara mengajarkan kedisipilinan, tanggung jawab, kebersihan, dan kerapian. Di keluarga, tugas mencuci tak selalu ditimpakan pada ibu. Bocah dan remaja mulai mencuci di sumur atau kali. Mencuci memerlukan tenaga, waktu, kesabaran, dan ketelitian.

Penerbit menjelaskan alasan penerbitan buku: “Karena pentingnja pekerdjaan tjutji-mentjutji bagi setiap rumah tangga, namun pedoman untuk itu sangat kurang. Untuk sekedar memenuhi kekurangan tersebut, maka diterbitkan buku Penuntun Tjutji-Mentjutji.” Urusan mencuci tak gampang, berdasarkan ilmu dan tata cara. Sumi memberi penjelasan: “Maksud mentjutji ialah membersihkan pakaian jang telah kotor. Pakaian jang bersih, selain baik untuk orang jang memakainja, djuga baik untuk pakaian itu sendiri. Sewaktu mentjutji, haruslah didjaga agar pakaian itu djangan pula mendjadi rusak, sebab terlampau kuat menggosok-gosokkannja ataupun terlampau banjak menggunakan obat-obat pentjutji jang tadjam.”

Sejarah mencuci termaktub dalam buku-buku. Kita membaca, mempelajari, dan menjadikan sebagai referensi mengingat masa lalu. Sekarang, adegan mencuci sudah berubah. Makna mencuci juga mengalami perubahan berbarengan kemunculan mesin cuci, sabun cair, dan pewangi. Kita tak lagi mencuci di sumur tapi datang membawa pakaian kotor ke jasa usaha pencucian. Pakaian itu bakal kembali dalam kondisi bersih, rapi, dan wangi. Peradaban mencuci mengandung nostalgia dan kejutan sesuai situasi zaman.

* * *

Pada masa berbeda, iklan-iklan sabun dan detergen semakin memberi pilihan dilematis. Sekian iklan menambahi kadar godaan dengan memberi hadiah. Ibu-ibu masa lalu biasa memilih sabun cuci atau detergen asal berhadiah piring atau gelas. Kita tak pernah mendapat penjelasan ilmiah hubungan sabun cuci atau detergen dengan perangkat untuk makan dan minum. Di pembungkus, mata pembeli tak menemukan anjuran agar makan nasi dicampur sabun cuci atau detergen. Dulu, belanja berhadiah adalah “iman kolosal” ibu-ibu seantero Indonesia.

Persaingan iklan bagi kaum pencuci terus seru akibat siasat produsen mengadakan hadiah secara langsung atau memberi kupon demi raihan hadiah menggiurkan: mobil, sepeda motor, televisi, radio, kulkas, dan kipas angin. Sekian perusahaan bertarung mendapatkan pengikut fanatik. Kaum pencuci tak lagi melulu perempuan. Para lelaki pun mencuci dan mengabarkan kemuliaan dari gerak tangan, baju basah, dan keringat.

Bisnis detergen dan pemuliaan kaum mencuci sampai memunculkan sanggar. Pada masa 1980-an, sanggar terkenal bernama Sanggar Cuci Rinso. Iklan di pelbagai majalah mengajak kaum pencuci berbagi cerita atau pengalaman tentang Rinso. Surat-surat dikirimkan ke Sanggar Cuci Rinso beralamat di Jakarta. Foto si penulis surat wajib disertakan. Surat-surat pilihan bakal dipamerkan di iklan-iklan. Janji dari pengiklan: “Imbalan tersedia bagi semua pengirim. Bagi yang suratnya terpilih untuk kami pakai, kami sediakan imbalan khusus yang menarik” (Sarinah, 30 September-13 Oktober 1985). Peristiwa mencuci mendapatkan imbalan dan hasrat tenar turut di iklan. Kaum pencuci tentu bergirang tiada tara. Dulu, mencuci bermakna dan “berpahala” berupa piring, gelas, duit, dan benda-benda menakjubkan.

Iklan paling gencar dalam pembuatan biografi para pencuci bermunculan di majalah-majalah perempuan masa 1980-an dan 1990-an: Kartini, Pertiwi, Femina, dan Sarinah. Iklan sabun cuci atau detergen ditambahi iklan mesin cuci pelbagai merek. Kaum pencuci tak perlu terlalu repot untuk mencuci. Mesin telah meringakan dan memanjakan. Mencuci tak perlu lama atau menimbulkan takut gagal menghasilkan bersih. Mesin cuci didatangkan dari negara-negara jauh, mengurangi keringat dan menandai rumah-rumah berperadaban maju. Mesin cuci mengajari peristiwa mencuci bergantung listrik dan tombol. Kini, mesin cuci itu benda untuk mencari rezeki di sekitaran kampus atau pemondokan mahasiswa. Peristiwa mencuci diberikan ke jasa mencuci disempurnakan dengan diseterika: halus dan wangi. Mesin cuci menghasilkan duit, bukan cerita-cerita seperti di buku lawas, artikel di majalah perempuan, atau mengingat ajaran para leluhur. Bisnis bermesin cuci dinamakan dengan bahasa Inggris.

Dulu, bisnis itu pernah dinamai penatu. Kamus susunan Poerwadarminta (1952) mengartikan penatu adalah “tukang tjutji (seterika) pakaian.” Bisnis belum menggunakan mesin cuci. Raga masih penentu utama, bukan listrik dan tombol. Penceritaan bisnis berkaitan mencuci itu pernah dimuat di majalah Minggu Pagi edisi 15 Juni 1952, dijuduli “Seorang Tukang Penatu.” Pengakuan si pemilik usaha: “Kita bekerdja dengan 4 orang tukang tjutji dan 4 orang tukang seterika. Semua kerdja gilir berganti menurut pembagian djam kerdja. Orang-orang itu pekerdja harian. Gadjih mereka didapatnja dari banjak sedikitnja mereka dapatkan menurut hitungan sekian sen setiap set untuk tjutjian. Dan 40 sen untuk tukang seterika.”

Bisnis mengutamakan raga kuat. Bisnis itu bergantung cuaca. Musim hujan bakal merepotkan dan membuat pendapatan menurun. Dulu, bisnis itu belum bermesin cuci atau mengatasi hujan setiap hari dengan mesin pengering. Kini, mesin cuci seperti mengejak matahari saat muncul atau hujan menderas. Pengeringan cucian telah berteknologi tanpa orang berilmu matahari dan angin. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!