Pengakuan Ajun Komisaris Polisi Izrail

“Ada yang ingin kubicarakan padamu,” ujarnya pada suatu pertemuan di sebuah kafe. Semula, kaukira ia tentu akan membicarakan urusan pernikahan kalian yang sudah di ambang pintu. Tetapi, ia tak kunjung membuka mulutnya padahal kausiap mendengarkan.

“Sungguh sulit,” keluhnya tanpa kau mengerti. Jantungmu malah menjadi berdebar tak keruan. Tak pernah ia seserius dan setegang malam ini. Bila hanya untuk bicara persoalan persiapan pernikahan, apakah memang harus seserius ini, secanggung ini? Dalam hati kau bertanya, “Apakah aku akan menerima kabar buruk?”

“Tak usah dibicarakan sekarang apabila kau sedang tidak siap,” katamu mencoba bersikap bijak untuk menetralkan keadaan. Padahal, kau mendadak menjadi malas dan kehilangan selera mendengarkan. Tentu kabar tak menggembirakan yang akan kaudengar darinya. Bila tidak, mengapa ia perlu bersulit-sulit untuk menyampaikannya.

Suasana menjadi hening.

“Aku harus menyampaikannya malam ini. Sekarang ini. Sudah kuputuskan kau harus tahu. Demi kebaikan kita bersama,” katanya dengan nada suara yang mantap memecahkan keheningan yang terjadi sesaat.

Kautatap lekat pada matanya dan menanti apa yang akan lelaki tunanganmu itu katakan sambil kaupegang botol minuman.

Hening lagi.

Akhirnya ia berkata, “Aku sebenarnya malaikat!”

Botol minuman yang sedang kaupegang terlepas dari genggaman. Mata kau membelalak bukan karena kaget, tetapi melotot marah, dan ingin sekali kautampar wajah lelaki calon suamimu itu.

Namun hal itu tentu saja tak akan pernah kaulakukan pada kekasih yang begitu kaucintai. Akhirnya kau malah tertawa terbahak-bahak.

“Bercandamu keterlaluan!” kau tergelak lagi.

Ia lantas memegang bahumu perlahan, agar guncangan akibat tawa yang membahana berhenti. Ia ingin kaudengar sebuah kebenaran yang baru saja ia ungkapkan. Kau pun berhenti tertawa.

“Baiklah, kalau kau malaikat, kau malaikat apa?” tanyamu dengan mimik wajah dibuat-buat serius.

“Aku malaikat pencabut nyawa, Izrail,” jawabnya dengan sungguh-sungguh. Kali ini kau benar-benar terkejut.

Selanjutnya dengan lancar ia menceritakan bagaimana ia datang dari langit, ya dari langit ke bumi, dan menjelma manusia. Ceritanya mirip sekali dengan film-film fiksi fantasi yang kau sering tonton di bioskop atau drama-drama dari Semenanjung Selatan.

Dalam keterkejutan kaudiam menahan diri untuk mendengarkan sampai ia selesai bercerita. Setelah itu, ia kelihatan lega sementara kau masih belum mempercayai apa yang diakuinya: Malaikat pencabut nyawa.

Sampai waktu kalian harus meninggalkan kafe di ujung malam, kau belum bisa menerima pengakuan lelaki tunanganmu itu. Kau memilih pulang sendirian dengan menggunakan taksi daring. Tunanganmu tak mencegahmu. Mungkin ia berpikir, lebih baik kau sendirian dan mau menerima kenyataan ia malaikat sesungguhnya.

Terlalu berat bagi kau untuk menerima kenyataan bahwa calon suamimu itu ternyata malaikat pencabut nyawa. Kau pulang dengan pikiran kacau. Dalam mimpi pun belum pernah terlintas bahwa ia ternyata malaikat, malaikat pencabut nyawa pula. Menyeramkan memang.

Selama kalian pacaran, segalanya terlihat normal. Kau melihatnya sebagai lelaki yang bertanggung jawab, lembut, dan penuh pengertian.

“Adakah itu memang sikap malaikat? Oh, Tuhan, malaikat maut ciptaanMu ternyata bisa mencintai manusia,” kau bergumam sambil memandang langit pada malam pengakuan itu.

***

Sejak itu kaurasa kebahagiaan menjelang pernikahan terasa direnggutkan. Namun, cintamu padanya tak terhapus sedikit pun. Ia juga tampaknya tak beranjak dari perasaan cintanya padamu sejak semula. Pengakuannya harus kauhargai sebagai niat baik untuk membina hubungan murni antara kalangan manusia dengan malaikat sebagai pasangan suami istri kelak.

Tetapi, tentu saja pengakuannya itu tak dapat kauabaikan begitu saja. Karena lelaki calon suamimu itu sebenarnya ditugaskan mencabut nyawa bapak dan ibumu sekaligus oleh Sang Mahakuasa. Itulah sebab akhirnya ia mengenalmu dalam misi mencabut nyawa kedua orangtuamu. Kau mengetahuinya hal itu belakangan.

Dua jam setelah tengah malam. Hampir tidak ada lagi suara-suara yang mengusik kesenyapan malam. Kau menarik napas untuk kesekian kalinya.

Kau mengingat-ingat awal pertemuan dengan lelaki tunanganmu itu. Kau sangat bahagia tatkala orangtuamu bertanya apakah kau mau berkenalan dengan seorang lelaki yang baru saja mereka kenal di rumah ibadah beberapa hari yang lalu? Kau mengangguk dan bersedia berkenalan dengannya.

Kau begitu antusias menyambut lelaki itu ketika orangtuamu mengundang lelaki itu datang ke rumahmu. Bahkan mereka memintanya untuk menginap, karena lelaki itu mengaku baru datang dari ibu kota yang jauh, dan tidak memiliki kerabat atau saudara di kota ini, hotel dan penginapan pun sedang penuh dikarenakan perayaan hari kemerdekaan negara berpusat di kota ini.

Ia tamu istimewa bagimu. Menjelang kedatangannya, kau sibuk menata perabot rumah dan mulai mendaftar kebutuhan-kebutuhan lain untuk tamu istimewa yang akan menginap di rumahmu. Kau sibuk melebihi hari-hari sebelumnya.

Ketika lelaki itu tiba di rumahmu, ia begitu tercengang melihatmu. Hingga secara tak sadar matanya yang terlindung di balik kaca mata minus menatapmu lekat-lekat. Sebaliknya kau malah terdiam beberapa saat. Lalu ia berkata, “sepertinya kita pernah bertemu ya? Tapi di mana?” dan ia melanjutkan, “oh ya, ya, ah sudah lupakanlah.” Ia lantas terdiam dan tersenyum.

Senyuman lelaki itu membuat kaugugup dan tergeragap. Lucunya sejurus kemudian lelaki itu pun mendadak ikut-ikutan gugup. Entah mengapa. Bapak dan ibumu mencairkan suasana, mereka mengajak lelaki itu untuk makan malam.

Setelah makan malam selesai, ia pun bercerita kenapa ia datang ke kota ini.

Ia bercerita tentang mayat perempuan yang dipotong-potong dengan cara teramat sadis. Kau pun tahu, peristiwa itu sedang jadi pembicaraan ramai. Mayat perempuan itu ditemukan seorang tukang batu di kebun kosong di kawasan utara kota, empat hari yang lalu. Hingga kini korban kekejian itu belum berhasil dipastikan identitasnya. Selama beberapa hari ini peristiwa tragis itu tetap bertahan sebagai berita hangat. Koran cetak, media daring, dan televisi menurunkan laporan dalam versi masing-masing.

Dalam sebuah laporan investigasi televisi berita setempat mereka sempat memastikan korban adalah seorang aktris film yang tengah menanjak namanya. Tetapi kemudian berita itu dibantah oleh aktris itu sendiri melalui akun Instagram-nya. Ternyata aktris itu diam-diam sedang berlibur ke luar negeri.

Profesi lelaki itu dokter polisi, pangkatnya Ajun Komisaris Polisi. Ia ahli forensik terbaik yang ditugaskan oleh negara untuk menyelidiki kasus pembunuhan di kota ini. Ia tampaknya seorang yang taat, itulah mengapa orangtuamu mengenalnya di rumah ibadah kota.

Setelah peristiwa pembunuhan tragis itu terungkap, lelaki itu kembali ke ibu kota, kota yang jauh dari kotamu. Namun seminggu setelah itu, kaudengar ia pindah ke kotamu dan menetap. Sejak itu kau semakin akrab dengannya.

Dan itu terjadi setahun yang lalu.

Dua jam yang lalu lelaki itu baru saja membuat sebuah pengakuan yang menakjubkan, bahwa ia malaikat pencabut nyawa. Ia malaikat maut yang datang ke bumi, dan hendak mencabut nyawa orangtuamu. Tetapi ia malah mengenalmu, ketika ia mengerjakan pekerjaan lain sebagai polisi yang menyelidiki kasus pembunuhan sadis. Kasus di mana peran malaikat pencabut nyawa digantikan oleh seorang psikopat yang ternyata pejabat di kantor walikota.

Kelak kaupaham betapa jengkelnya malaikat maut apabila tugas mencabut nyawa diambil alih oleh manusia, baik manusia itu dibunuh atau bunuh diri. Hal itu membuat malaikat maut tampak konyol dan seolah-olah menjadi pengangguran karena kehilangan pekerjaan.

***

Cinta meluruskan segala hal. Sebuah frasa asmara yang kausangat yakini. Kauputuskan untuk menerima lelaki itu apa adanya. Pengakuannya yang jujur tak semestinya memisahkan kalian, justru kau menganggap pengakuannya sebagai sikap satria seorang lelaki yang malaikat. Kau sungguh mengerti, ia pasti merasa tak tenteram dan tak nyaman bila harus menyembunyikan sesuatu yang belum tentu kautoleransi di kemudian hari.

Selama itu, sebelum ia mengakui bahwa ia malaikat, kau tak pernah merasakan ia lain dan bersikap tak wajar. Ia normal-normal saja selayaknya kau, seorang manusia. Soal ia mempunyai misi mencabut nyawa kedua orangtuamu, biarlah jadi peringatan. Bahwa siapa saja pasti mati pada waktunya, itulah janji Tuhan, simpul kau pada waktu itu.

Dengan bekal saling mencintai kau menikah dengan lelaki itu di rumah ibadah kota dengan prosesi dan resepsi pernikahan yang sederhana bagi seorang polisi berpangkat AKP. Kau merasa menjadi istri yang paling berbahagia di muka bumi. Suamimu seorang yang sangat bertanggung jawab, setia, jujur, dan mengagumkan. Kau tak pernah menyesali keputusanmu untuk menerima malaikat maut itu apa adanya menjadi teman hidupmu. Kini kau bahagia mengasuh dua anak yang lucu-lucu dan secerdas ayahnya.

Kau sangat yakin dengan terpeliharanya kebahagiaan kalian sebagai suami istri, ia akan berpaling sebagai malaikat maut dan tak mau bertugas lagi mencabut nyawa manusia di muka bumi. Harapan yang sangat wajar sekaligus naif.

***

Lelaki itu menghela napas. Ia tampak gelisah, ia seolah disergap oleh perasaan takut yang membuat tulang-tulangnya seperti menggigil. Lelaki itu begitu gelisah di bangku pesawat yang sedang terbang.

Dengung mesin pesawat terdengar halus. Awan putih keperakan menciptakan pemandangan alam negeri dongeng yang memancing imajinasi menari-nari sendiri di benak penumpang pesawat yang melihat keluar jendela.

Lelaki itu menengok arloji. Saat-saat pendaratan pesawat di bandara kota sudah dekat. Kau melirik ke arah suamimu. Ia terlihat begitu ketakutan, sangat tak sepadan dengan pangkatnya sekarang: Ajun Komisaris Besar Polisi.

“Ada apa denganmu, apa yang akan terjadi, Izrail?”

“Aku tidak bisa menjelaskannya.”

“Kau jangan main-main!”

Wajah suamimu tampak memucat.

“Maafkan aku…”

Suamimu menangis. Demikian hebatnya tangisannya, ia sampai tersedu-sedu.

Kaupanik melihat perubahan perilaku suamimu. Ia pegang erat tanganmu seolah tak mau lepas. Kau memandang dengan gundah pada buah hati kalian yang sedang tertawa-tawa riang bersama kakek dan nenek mereka, bapak dan ibumu, di barisan tempat duduk yang lain. Tentu saja mereka sangat gembira, kalian baru saja pulang berlibur dan bertamasya di sebuah pulau di negara lain.

Kau bergeming. Tubuhmu tiba-tiba terasa kehilangan tenaga. Padahal kau ingin sekali melepas genggaman, berteriak dan berlari ke arah kokpit pesawat, namun kau tak berdaya.

Beberapa saat kemudian pramugari meminta penumpang pesawat mengenakan sabuk pengaman, pilot mengabarkan sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara kota.

Ketika pesawat bersiap mendarat, terdengar sebuah ledakan dari arah kokpit disusul ledakan dahsyat lainnya yang merambat ke kabin pesawat, tubuh pesawat pun meledak berkeping-keping.

Saat pesawat meledak kaunyaris memejamkan mata. Pada sepersekian detik berikutnya kaulihat beban yang selama ini memenuhi rongga dada suamimu seolah terempas ke bawah bersama serpihan pesawat yang baru saja hancur lebur.

Cinta meluruskan segala hal, menurut manusia, tidak bagi malaikat pencabut nyawa.***

Jakarta, 17-08-2022

Bamby Cahyadi

Comments

  1. Ari Reply

    Awalnya kukira cerpen roman ala2 Femina, ternyata benar2 fiksi yang aneh

  2. Nina Reply

    dunia yg absurd di tangan cerpenis bamby cahyadi

  3. Bandari Reply

    Cerpen rasa drakor banget… kebayang malaikat maut yg bertugas di stadion kanjuruhan Malang…

  4. Ratna Pratiwi Reply

    Nikmat, fantasi berkelas yang tak terbilang makna dalam tulisannya.

    • Zuinal 'Aini Reply

      Wow, keren

  5. Erlis Reply

    Sad ending 😭

  6. tedd mint Reply

    Kalimat penutup cerpen menjadi quote yang keren.

  7. Andromeda Reply

    Cerita berkelas 👍

Leave a Reply to Ratna Pratiwi Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!