Pengarang dan Penghormatan Telat

Ingatan untuk sastra “modern” di Indonesia sering tak lengkap. Daftar nama dan buku terus bertambah tapi ada nama dan buku tertinggal di belakang atau telat mendapat pengakuan. Di Leksikon Kesusastraan Indonesia Moderen (1990) susunan Pamusuk Eneste, kita tak pernah menemukan nama turut membesarkan sastra di Indonesia sejak awal abad XX. Nama absen di buku.

Pada 2019, kita memperingati seratus tahun penerbitan buku berjudul Allah jang Palsoe. Buku berketerangan “satoe lelakon komedie” itu digubah oleh Kwee Tek Hoaiy (KTH) dicetak Tjiong Koen Bie Electrische Drukkerij, Batavia. Nama dan judul buku itu masih sulit masuk di buku sejarah sastra, kamus, ensiklopedia, atau buku pelajaran di Indonesia. Pamusuk Eneste belum mengenalkan pengarang tenar peranakan Tionghoa itu ke umat sastra seantero Indonesia.

Kita telat mengenali dan membaca buku-buku warisan KTH (1885-1951). Situasi dan kebijakan politik Orde Baru turut menunda penghormatan kita pada KTH, pengarang di masa awal pertumbuhan sasta modern Indonesia. Puluhan buku masih bisa ditemukan dan diterbitkan ulang, siasat mengenalkan ke pembaca. Ikhtiar penerbitan pernah dikerjakan Kepustakaan Populer Gramedia dengan seri Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, sejak tahun 2000. KTH dan sekian teks sastra dari masa lalu dimunculkan lagi, setelah keruntuhan rezim Orde Baru. Pembuatan seri itu lanjutan dari publikasi buku-buku mengenai sastra peranakan Tionghoa sudah dikerjakan oleh Nio Joe Lan, Claudine Salmon, Leo Suryadinata, Jakob Sumardjo, dan Myra Sidharta.

Kita mungkin terkejut mendapatkan gubahan sastra oleh KTH terhitung melimpah di masa menulis puluhan tahun. Pada 1989, terbit buku berjudul 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena, editor oleh Myra Sidharta. Di situ, kita membaca uraian Jakob Sumardjo dalam menempatkan posisi KTH di kesusastraan “modern” di tanah jajahan awal abad XX. Pada 1905, KTH menulis novel berjudul Yoshuko Ochida atawa Pembalesannja Satoe Prampoean Japan. Ia masih menunggu lama untuk dikenali sebagai pengarang tenar di luar Balai Pustaka. Pada 1927, terbit buku-buku berjudul Boenga Roos dari Tjikembang. Keranjingan menulis cerita dibuktikan dengan penerbitan Drama dari Krakatau (1928), Drama dari Boven Digoel (1929-1932),  Nonton Tjapgomeh (1930), dan Drama dari Merapi (1931).

“Ciri menonjol dari kepengarangan KTH adalah keterampilan dalam membangun suasana cerita. Teknik deskriptif selalu berhasil menempatkan pembaca ke dalam suatu pengalaman hidup. Suasana demi suasana adegan-adegan berhasil memikat pembaca…,” tulis Jakob Sumardjo. Pujian itu tampak wajar dalam penghormatan ke kesusastraan di luar naungan Balai Pustaka atau kecenderungan besar di sastra Indonesia masa 1920-an dan 1930-an.

KTH, nama penting di alur sastra peranakan Tionghoa. Kita terlalu lama disuruh membaca novel-novel terbitan Balai Pustaka masa 1920-an, berdampak tak mengetahui ada pengarang-pengarang besar turut memajukan kesusastraan di Indonesia. Ingatan murid dan SMA melulu novel-novel gubahan Merari Siregar, Marah Roesli, dan Abdoel Moeis. Novel-novel gubahah KTH gagal masuk di buku pelajaran atau perkuliahan.

Telat mengenali tokoh berarti sulit paham sejarah sastra di Indonesia. “Sastra peranakan Tionghoa, dahulu juga dikenal sebagai sastra Melayu-Tionghoa. Inilah sastra yang cukup tua. Lahir pada akhir abad ke-19, kemudian ‘lenyap’ atau lebih tepat lagi, berubah menjadi sastra nasional Indonesia. Sastra peranakan telah memainkan peran yang penting dalam pertumbuhan sastra Indonesia baru,” tulis Leo Suryadinata di buku berjudul Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia (1996). KTH tampil dan memberi pengaruh besar. Nama pernah ada di belakang ingatan gara-gara daftar nama pengarang cenderung ke kubu di Balai Poestaka dan Poedjangga Baroe.

Peran KTH dan para pengarang peranakan Tionghoa pernah ada di kesulitan patokan estetika-sastra. Pada masa 1950-an, puluhan majalah sastra atau seni terbit memberi halaman-halaman bagi cerita pendek, cerita bersambung, puisi, dan esai. Masa itu jarang memiliki ingatan ke pengarang peranakan Tionghoa. Mereka sulit mengikuti atau menebus tataran estetika di kalangan sastra. penjelasan Jakob Sumardjo (1996): “Mereka masih perlu dipupuk, dituntun, dan diberi kesempatan untuk mempertinggi mutu…” Mereka sadar suli ke pemenuhan estetika baru tapi tetap mereka ingin memberi bagi kesusastraan Indonesia.

Masa subur KTH justru pada masa 1920-an dan 1930-an. Novel demi novel terbit tanpa sebutan jadi tonggak atau cagak di kesusastraan Indonesia modern. Sejak remaja, KTH tekun membaca buku-buku sastra dunia. Ia meminjam dari guru bahasa Belanda. Konon, kebiasaan membaca itu harus terhindar dari marah dan kecaman bapak. KTH biasa membaca buku di peti-peti, terletak di belakang toko. Bermula di Bogor, ia mulai mengenali kota-kota di pelbagai negeri. Keinginan mengerti bertambah dengan predikat sebagai wartawan. Myra Sidharta dalam buku berjudul Biografi Delapan Penulis Peranakan: Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (2004) mencatat kebiasaan KTH membuat terjemahan atau saduran buku sastra dunia ke bahasa “Melajoe”.

Puluhan tahun, KTH menulis novel dan drama. Hari-hari bersastra mengandung misi menabur benih-benih cerita di Indonesia dengan pelbagai tema. Ia sadar bakal sulit mendapatkan tempat terhormat saat sastra  Indonesia mulai memiliki tokoh bernama Amir Hamzah, Armijn Pane, Chairil Anwar, dan Idrus. Pada usia tua, KTH memilih menulis buku-buku agama, tak lagi menggebu menulis novel atau drama seperti masa lalu.

Pada tahun-tahun setelah kejatuhan rezim Orde Baru, KTH perlahan mendapat perhatian serius berkaitan sastra, pendidikan, politik, dan agama. Di kalangan sastra, ia mulai dikenali tapi belum berada di papan atas di percakapan sastra masa lalu. Leo Suryadinata melalui buku berjudul Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia (2010) mengenalkan KTH tanpa jemu. KTH lahir dan tumbuh di keluarga pedagang kecil. Ia jarang beres atau sempurna di pendidikan formal. Pilihan menekuni sastra mendapat tambahan gairah dengan mengurusi majalah-majalah. Ia tercatat ada di penerbitan majalah Panorama, Mustika Panorama, Mustika Romans, dan Mustika Dharma.

KTH pun bergabung di Tiong Hoa Hwee Koan, perkumpulan Tionghoa untuk sekolah-sekolah Tionghoa. Pada masa muda, KTH itu manusia tangguh dengan pelbagai kesibukan dan kesanggupan menulis puluhan buku. Di mata Leo Suryadinata, tulisan-tulisan KTH dianggap cukup menonjol dalam pengajuan ide dan hasil pengamatan atas pelbagai hal. Kepekaan di sastra memberi bekal mengerti sekian perkara dijelaskan dengan apik, kritis, dan terang.

Sejak berkeringat di sastra dan menjalani usia tua dengan keseriusan mengerjakan tulisan-tulisan tentang agama, nama KTH ada di pasang-surut ingatan publik. Penerbitan buku berjudul 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena (1989) mungkin kejutan bagi publik belum mengenali KTH. Para pembaca sastra tentu menganggap peringatan itu wajar dan “keharusan”. Buku itu bukti penghormatan pada KTH. Buku penting menjadi bacaan umat sastra Indonesia.

Myra Shidarta justru mengingatkan bahwa sekian tulisan di buku itu berasal dari para penulis luar negeri. Ada dua tulisan garapan orang Indonesia. Kalimat memuat ironi: “Mungkin ini suatu tanda buku-buku peranakan belum banyak dipelajari di sini, sedangkan di luar negeri justru telah menarik perhatian banyak peminat.” Kita berjarak belasan tahun dari sindiran atas kealpaan menghormati KTH. Kini, kita tak ingin menjadikan kalimat itu abadi sepanjang masa. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!