Pengarang Terbuang di Kota Z

Suatu ketika di Kota Z aku bertemu pengarang yang mengaku menulis seribu lebih cerita. Mulanya aku tak percaya, tetapi dia mengundangku minum teh ke rumahnya dan mengajaknya mampir ke ruang kerja yang tersembunyi—ruang bawah tanah yang kami hanya bisa masuk dengan merangkak lewat lubang (atau dia sebut pintu) setinggi anjing. Saat itulah aku mulai percaya.

Melihat penampilannya yang berantakan dan seakan pria ini bosan hidup, kutanya apa yang terjadi pada seribu lebih ceritanya? Bagaimana mungkin seseorang terlihat tak sehat dan kacau dan barangkali miskin, padahal dengan cerita sebanyak ini, dia bisa saja kaya. Dia bisa menjual ceritanya dan menerbitkan banyak buku. Aku tidak tahu apakah penilaian ini tepat atau belum, tetapi rumah pria ini tidak lebih baik dari rumahku yang sederhana.

Aku melihat wajahnya semakin murung saja begitu mendengar pertanyaan dariku. Saat itu kami terjebak di tengah tumpukan kertas cerita-cerita yang dia karang semenjak sepuluh tahun lalu. Pria lajang itu duduk begitu saja dan mengangkat kedua tangannya, lalu menyebut-nyebut soal nasib dan takdir yang suka bermain-main.

“Takdir baik, bagi orang-orang tertentu, hanya terbang di atas kepala Anda, Bung, dan hanya seperti itu saja sampai Anda mati,” katanya.

Aku tidak langsung menangkap maksudnya, tetapi dia mulai bertanya tentang toko buku di sekitar sini. Aku tidak bisa menjawab, karena aku belum seminggu tinggal di sini. Aku mendapatkan tugas yang harusnya diterima oleh rekanku, Ali Mudakir. Karena istrinya baru melahirkan, dia tidak bisa berangkat dan akulah yang menggantikannya bertugas meliput sebuah berita di kota ini.

“Oh, begitu. Coba saja Anda jalan-jalan ke sekitar sini. Dan, kalau memungkinkan, Anda juga bisa jalan-jalan ke seluruh jalanan di setiap bagian dari Kota Z ini. Kalau saja Anda sanggup menemukan satu saja toko buku, Anda boleh menembak saya tepat pada jidat saya, saat itu juga.”

“Anda bicara apa?” tukasku sambil mencoba tertawa santai, tapi sialnya aku malah ketakutan.

“Jangan khawatir. Saya temani Anda berjalan sampai toko buku yang Anda cari itu benar-benar ketemu.”

Kubilang aku tidak sedang mencari toko buku, namun detik itu juga aku baru saja sadar. Pria aneh ini menggiringku ke suatu pengetahuan, dan pengetahuan ini tentu soal buku-buku yang berkaitan dengan cerita yang dia tulis. Tidak adanya toko buku di Kota Z (demikian yang kuyakini tanpa mengonfirmasi) membuat karya pengarang ini, yang seribu lebih itu, tidak mungkin laku.

Setelah berapa lama terdiam, kusampaikan saranku soal dia yang harusnya pindah ke luar kota.

“Tidak mungkin,” sahutnya pendek.

Dia menceritakan masa lalunya. Tentang perempuan yang mati gantung diri dan janji yang tak bisa dia lunasi pada si perempuan itu. Rupanya dia dulu memiliki kekasih. Waktu itu, cerita yang dia tulis mencapai empat ratus. Tubuhnya masih kuat dan bugar dan otaknya mampu memikirkan lebih banyak cerita.

Dengan yakin dia bersumpah terus menulis kepada sang kekasih hingga mencapai angka sepuluh ribu cerita. Dia juga bersumpah suatu hari nanti akan menemui penerbit yang sudi menerbitkan ceritanya. Mereka bahkan sepakat menikah dan pindah ke Kota J, yang mana di kota itu banyak komunitas sastra dan klub baca, dan di kota itu mereka bisa menjadi pasangan bahagia yang bertemu setiap hari tanpa dipisah jam kerja. Cukup kerja menjadi pengarang, mereka bisa berkecukupan dan sangat mapan.

Sayangnya, pacarnya mati ditembak di suatu malam tahun baru. Saat itu seorang perampok sedang dikejar polisi, dan tembakan nyasar si polisi membuat kepala kekasih pengarang ini hancur. Dengan tenang, dia mendeskripsikan bagaimana di malam kelam itu dia, yang duduk di depan sang pacar dalam sebuah candle light dinner, mencakupi serpihan otak yang berserakan di piring makannya untuk dibawa pulang dan ditangisi sehabis-habisnya.

“Anda mungkin tak percaya,” katanya. “Seseorang mengarang cerita sebanyak itu? Anda mengira saya membual. Saya tak yakin kalau Anda percaya tumpukan kertas di sekeliling kita ini adalah hasil usaha saya.”

Aku tidak tahu harus berkata apa, tetapi dia tertawa keras-keras hingga aku tidak tahu harus menyumbat lubang telingaku dengan apa agar dia berhenti. Jujur saja, aku termasuk orang yang sungkanan. Aku tidak bisa membuat orang lain tak nyaman karena sikap tidak sopanku, bahkan meski sesungguhnya orang lain itulah yang berbuat kurang baik.

Pria itu melanjutkan, bahwa cerita-cerita yang berjumlah seribu lebih itu memang karyanya, dan kalau saja aku dengan sembrono berpikir dia mencuri tulisan orang-orang lain, dia dengan tegas berani membuktikan apa yang kupikirkan itu salah.

“Saya punya bukti terkait tanggal penulisan setiap cerita. Semua tercatat dengan jelas dalam file-file yang masih tersimpan rapi di komputer tua saya,” katanya.

Aku sungguh merasa campur aduk. Selain takut, aku juga iba. Aku takut pengarang yang terlihat labil ini mungkin mendadak menghabisi dirinya sendiri di depanku, entah dengan menembakkan pistol ke kepalanya sendiri atau menyayat lehernya dengan pisau—yang barangkali tersembunyi di antara tumpukan kertas itu.

Demi Tuhan, aku ingin pergi. Aku menyumpahi diri karena tidak berpengalaman hingga membiarkan seseorang asing mengundangku ke rumahnya dengan risiko terlibat dalam aksi gilanya demi menghabisi diri sendiri. Aku pikir betapa leganya kalau diriku bisa keluar dari situasi ini sesegera mungkin.

Setelah terdiam cukup lama, dengan hati-hati aku pun pamit. Namun, pria itu tidak mengizinkan. Dia bilang, kami masih memiliki urusan. Kukatakan tugas yang dialihkan kepadaku adalah liputan yang sangat penting soal tokoh yang akan menempati jabatan penting di kotaku. Dari Kota Z inilah tokoh tersebut berasal. Aku harus mendatangi janji wawancara dengan banyak pihak dan itu belum termasuk membuat janji dengan tokoh tersebut di Kota R, yang jaraknya tidak dekat dari sini.

“Urusan itu dapat diselesaikan nanti-nanti, Bung. Anda sendiri sempat bilang kalau Anda menyukai sastra, bukan? Anda bilang sebelumnya, ketika kita tak sengaja bertemu di jembatan pinggir kota kemarin siang, bahwa Anda datang ke sini bukan untuk urusan penting?”

“Maksud saya bukan benar-benar begitu. Memang, bagi saya semua ini tak penting. Secara personal, saya tak ada urusan dengan tokoh tersebut. Saya bukan memihak pada partai mana pun dan saya benci seluruh partai yang ada di negeri ini, asal Anda tahu, ya. Namun, ini pekerjaan yang penting. Jika tidak segera saya rampungkan, bisa-bisa saya dipecat. Laporan itu harus saya surelkan dua hari lagi.”

Pria itu terdiam setelah mendengar penjelasanku yang sebagiannya memang jujur, sedang sebagian lainnya sengaja kubuat-buat. Dia manggut-manggut sebentar, lalu kami pun meninggalkan ruang bawah tanah itu. Kami merangkak seperti tadi, melewati pintu atau lorong setinggi anjing dewasa, dan aku merasa konyol bisa berada di titik ini; hadir di rumah seseorang yang bahkan tak kutahu siapa sesungguhnya dia.

Setelah itu kami menuju ke bagian paling longgar dari dapur yang agaknya jarang dipakai. Di titik ini, anehnya, aku merasa setengah bagian diriku, entah kenapa, terjebak di ruang bawah tanah tadi, dan justru enggan pergi. Mungkin karena saat melintasi pintu tadi kupikirkan tentang cerita-cerita terabaikan itu. Betapa sia-sia pekerjaan pengarang itu jika karyanya terus terpendam.

Ketika berdiri, kepalaku terbentur benda dan benda itu jatuh, dan pecah. Aku minta maaf setelah tahu itu adalah piring. Pria itu mengibaskan tangan pelan seakan yang baru saja terjadi tidak perlu membuatku risau.

“Saya akan pindah dari sini. Mungkin empat hari lagi,” katanya.

“Oh, ya?”

“Ada yang mau membeli rumah ini. Uang muka sudah diterima. Dia berjanji akan kemari sore ini untuk menyerahkan sisa uangnya.”

“Bagaimana nasib cerita-cerita Anda di bawah sana?”

“Tidak ada yang tahu pintu ini, Bung. Jadi, saya pikir mereka akan berakhir di sana, selamanya. Sampai kiamat. Sampai seisi dunia ini hancur tak bersisa. Anda masih dapat memeriksa keaslian naskah-naskah saya itu jika memang mau, tetapi jika tidak, tak ada lagi kesempatan untuk komputer busuk itu bertahan lebih lama lagi.”

“Anda apakan komputer itu?”

“Saya pastikan komputer itu bakal hancur sehancur-hancurnya.”

Aku tidak bisa lagi berkata apa-apa dan pergi setelah menjabat tangan pria itu. Tiga atau empat hari berikutnya, aku disibukkan jadwal wawancara yang sebagian besarnya membuatku muak, karena tokoh penting ini terlihat betul menganggap rendah posisiku. Aku juga tak tahu apa yang dipikirkan orang-orang setelah tahu fakta baru bahwa tokoh yang disegani di kota-kota lain ini, ternyata tak lebih dari tikus laknat yang juga gemar mengeruk uang rakyat.

Tepat di hari keempat, laporan yang kutulis hampir selesai, tetapi aku tidak berniat menyelesaikannya. Aku berpikir masa bodoh saja. Biarlah aku dipecat, asal tidak kutulis kebohongan demi membangun citra positif atas tokoh yang sebenarnya busuk itu.

Tidak tahu kenapa, aku berpikir lebih baik tinggal lebih lama di Kota Z ini, dan aku bisa menemui pengarang yang menulis seribu lebih cerita. Aku bisa menjadikan pria itu subjek wawancaraku. Aku bisa menulis cerita tentangnya agar orang-orang tahu, betapa di Kota Z yang tak punya minat pada literasi ini, terdapat pengarang berbakat. Sungguh disayangkan bakatnya terbuang. Dia tidak harus pergi dari sini untuk sukses. Dia tidak perlu pergi dari kota yang menera kenangan bersama kekasihnya yang telah tiada. [ ]

Gempol, 2018-2021

Ken Hanggara
Latest posts by Ken Hanggara (see all)

Comments

  1. Abdul rahman Reply

    Kak kalau bikin cerpen seperti ini pakai thumbnail apa tulisannya saja?

    • Admin Reply

      tulisannya saja.

      • Aristo Reply

        Cerpen kedua yang saya baca dari Ken Hanggara.

        Cerpen ini berhasil menahan saya melalui ketegangan yang dibangun sepanjang cerita. Saya sempat menduga akan bertemu ending yang agak surealis. Bagus. Sampai di ending, rasanya tiba-tiba seperti ada yang rumpang.

        Saya coba baca sekali lagi.

        Saya baru sadar, cerita ini tidak berbicara tentang “pengarang malang yang putus asa”, melainkan (sekaligus) berbicara tentang “seorang optimis yang naif” melalui keinginannya untuk menolong si pengarang, dengan cara yang nyaris serupa dengan pengarang seribu cerita yang malang itu. Ia melakukan itu secara gegabah dan tampaknya tidak sadar bahwa ia sedang menuju kesia-siaan yang sama.

        Ironi yang cerdas.

        Untuk kedua kalinya, saya gak kecewa baca Ken Hanggara.

  2. Johanes Gurning Reply

    Suka dengan headline-nya 😊

  3. Nina Ayudhia Reply

    Apakah ada ketentuan berapa kata dalam satu karya cerpen?

  4. Gongli Reply

    Kalau di basabasi, untuk cerpen sepertinya bebas. Asal sewajarnya.

  5. Pam Reply

    Kak ken ada akun medsos?

  6. Made Astrawan Reply

    Selamat ulang tahun untuk authornya!

  7. Rml Reply

    Sebuah cerpen yang tidak memiliki kejutan apa-apa. Sangat biasa.

    • Admin Reply

      siap!

  8. Nay Reply

    Ini seperti berbicara pada diri sendiri. Isi kepala kita layaknya tumpukan ribuan cerita yang terus tumbuh setiap harinya,
    kita menyebutnya masalah. Lalu lubang pintu setinggi anjing adalah peluang atau kesempatan yang hanya 0.1 % kemungkinan berhasil.

  9. Krys Kanjeng Romo Sukranto Reply

    hwkwkwk….anyep sam cerpenmu

  10. Irma rimaa Reply

    Omay God, aku sih yes. Pesannya ah, gue ngerti. Keren, deh !

  11. Sewoonj Reply

    Pesan yg ingin disampaikan tersampaikan dgn baik, Senang bisa baca cerpennya 🙂

  12. LIZA Reply

    KEREN, GOOD JOB AUTHOR!

  13. Khairus Syamsi Reply

    Pacar pengarang tersebut mati gantung diri atau terkena peluru nyasar sebenarnya ?

  14. Annisa A Reply

    Sepemikiran dengan tokoh ‘Aku’, kalau menemui orang dengan permasalahan hidup yang berat (setidaknya menurut orang itu) kadang jadi takut/khawatir orang itu akan mengakhiri hidupnya sendiri. Ngomong-ngomong, cerpennya bagus! 🙂

  15. wondo raharjo Reply

    Bagus cerpennnya!

  16. Jojo Reply

    Maaf mau nanya, cerpen ini temanya apa yaa?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!