Penggenjot (Ingatan) Becak

Pada saat orang-orang mengangankan menikmati Ahad atau Minggu dengan pengentengan pikiran dan perasaan, berita di Solopos, 22 April 2018, membuat pembaca turut “lelah” dan “berkeringat”. Kaum perempuan berbusana tradisional Jawa sedang balapan becak. Mereka bukan penumpang saja tapi penggenjot pedal-pedal becak. Kebiasaan setiap hari mengendarai skuter molek diganti sejenak dengan menggenjot becak ingin meraih menang. Acara diadakan di Solo, berdalih peringatan Hari Kartini. Lakon perempuan sering menumpang becak ditambahi pembuktian raga mereka bisa membuat becak bergerak cepat meski mustahil mendahului laju skuter-skuter bahenol.

Sejak puluhan tahun silam, becak memang bertokoh perempuan. Orang-orang telanjur sering menokohkan laki-laki dalam pengisahan becak berkaitan mencari nafkah dan kenestapaan akibat kebijakan penguasa. Dulu, becak itu ejawantah kasih dan kesanggupan Moerni memberi girang ke bocah. Kaki-kaki Moerni tak menggenjot pedal. Becak tak memiliki pedal. Becak bergerak jika didorong tangan berkekuatan dengan pijakan kaki-kaki dibungkus jarik. Moerni, gadis berparas cantik dan rambut panjang berpita. Ia belum sempat mengimpikan jadi pengendara skuter seperti kaum perempuan abad XXI.

Di becak, si adik bernama Gembok duduk berlagak jadi “tuan” sedang pelesiran atau bepergian. Di belakang, Moerni mendorong becak tak ingin mengeluh demi momong Gembong. Becak itu mainan. Becak bagi bocah. Di majalah Kadjawen, 25 April 1941, becak buatan sendiri bermisi mengadakan dolanan ke adik-adik terkasih. Moerni mendorong becak ada di halaman majalah berbahasa Jawa, mengingatkan ketokohan perempuan, tak melulu lelaki.

Moerni mustahil teringat kaum perempuan di Solo saat lomba balapan becak. Di mata Moerni, becak itu mainan dan kegirangan. Di Solo, becak “dipaksa” memiliki pemaknaan bertaut ke Kartini. Dulu, Kartini belum memiliki imajinasi duduk di becak atau menggenjot pedal becak. Ia malah terkesima kereta api. Besi-besi bergerak cepat dan menakjubkan. Pada akhir abad XIX, kereta api mengartikan kecepatan di rel modernitas. Kartini pun berpikiran dan berimajinasi “cepat” mirip kereta api, melintasi desa dan kota: menggaungkan keajaiban dan ketakutan.

* * *

Puluhan tahun dari babak-babak menentukan biografi Kartini, orang-orang Indonesia mendapat persembahan lagu bocah dari perempuan di pergerakan politik kebangsaan. Ia memilih menggubah lagu-lagu bocah untuk menandingi pengajaran lagu-lagu berbahasa Belanda bagi kaum bumiputra. Pada masa 1920-an, embusan nasionalisme menebarkan imajinasi keluguan merekam lakon tanah jajahan. Ia menggubah lagu bocah berlirik bahasa Indonesia, disiarkan melalui radio. Lagu-lagu pun diajarkan di sekolah. Pada masa 1920-an dan 1930-an, politik bekerja dengan slogan dan suara-suara keras di rapat umum atau kongres. Perempuan bernama Ibu Soed memilih bersenandung, mengajari bocah-bocah mengerti segala hal melalui nada dan kata-kata bersahaja.

Pada 1942-1945, Jepang memberi seribu perintah menjadikan Indonesia sengsara, Ibu Soed merekam segala kejadian dengan menggubah lagu. Hidup belum jua terang bergirang. Orang-orang menanggung duka, marah, dan benci. Hidup tetap harus bercerita ketimbang membisu dari kejadian, waktu, dan tokoh. Ibu Soed pun menggubah lagu berjudul “Hai, Betja”. Lagu itu beredar ke seantero Indonesia, dari hari ke hari. Ratapan orang-orang miskin sulit makan dan derita akibat perintah-perintah Jepang diladeni senandung merdu menghibur. Pada masa getir, bocah-bocah mencipta penghiburan melalui lagu “Hai, Betja”. Di jalan-jalan, mobil jarang tampak mata. Becak bergerak pelan di jalan, mengabarkan ke orang-orang: zaman capek. Segala perintah membuat raga bumiputra capek berkepanjangan. Pikiran dan perasaan di kubangan sedih. Lagu “Hai, Betja” agak menghibur ketimbang orang-orang menuruti derita dengan mati sia-sia.

Zaman capek berlalu. Indonesia ingin bergerak cepat dengan revolusi. Di kota-kota, revolusi itu berupa becak. Ribuan becak mengisahkan kota-kota ingin modern. Di Sumatra dan Jawa, kota itu rahim bagi ribuan becak. Hari demi hari, becak berseliweran di jalan menjadi sindiran bagi penambahan mobil-mobil. Ide kecepatan berdalih revolusi dan modernitas “dilambatkan” dan “direpotkan” oleh becak-becak. Kota terlalu sibuk! Becak-becak dituduh meruwetkan kota. Indonesia itu kaki-kaki di pedal. Indonesia berkeringat tak lekas sampai ke impian. Becak pun dianggap mencipta lakon kolosal memuat tema-tema kemiskinan, urbanisasi, dan kumuh. Becak sengaja dalam perendahan demi martabat Indonesia di hadapan negara-negara besar sedang seru berseteru.

Pada masa 1950-an, becak malah laris sebagai film. Garapan film-film Indonesia memuat adegan kaum lelaki menggenjot pedal becak. Para tuan atau kaum berduit menjadi penumpang becak. Kaum perempuan tampak anggun duduk di becak. Sekian film menjadikan becak perkara besar dalam modernisasi Indonesia tanpa melarang tampil untuk penghiburan. Orang mengingat film tenar berjudul “Tiga Dara” (1956). Film itu bercerita becak di sela asmara dan pameran tata hidup modern. Becak memberi prihatin dan tawa. Di film “Tiga Dara”, becak terasa kocak dibarengi kemunculan lagu gubahan Saiful Bahri. Becak mengesahkan gapaian asmara bergelak tawa dan berair mata.

Becak di film-film tersaji ke pembaca sebagai berita-berita di pelbagai majalah. Becak itu idaman dan sasaran kecaman. Di majalah Varia, 16 Desember 1959, halaman 15, ulasan singkat dan tampilan foto-foto berasal dari film berjudul “Kekasih Bung Betja”. Kutipan singkat dalam adegan film: “Toto, situkang betja, pagi-pagi benar mendorong betjanja pergi kerumah kekasihnja, Nunun, untuk mengadjaknja pergi berpiknik. Ia ingin bertamasja guna melepaskan lelah setelah bekerdja dengan memeras keringat sehari-hari dan semalam-malaman.” Becak itu asmaranisme bagi kaum jelata. Becak mengantar ke titian asmara terindah dan tebusan atas nasib brengsek di kota.

* * *

Masa lalu becak bersambung ke Orde Baru. Soeharto ingin Indonesia moncer dalam segala hal. Indonesia bergerak dengan iman pembangunanisme. Soeharto berkuasa mengajukan daftar panjang tanda seru. Kemajuan demi kemajuan harus tercapai tanpa secuil pun bantahan atau protes. Jalan-jalan di kota telah mulus. Jalan diadakan untuk mobil-mobil berdatangan dari pelbagai negeri maju. Indonesia diperintah memberikan lahan pembuatan jalan-jalan. Di jalan, mobil-mobil milik pejabat, saudagar, dan artis memberi tontonan kesuksesan pembangunan. Pameran itu menepikan becak-becak. Para penggenjot becak di Jakarta dan pelbagai kota belum mau tamat. Mereka ingin mengumumkan Indonesia tetap negeri berjuta becak.

Kaum becak semakin terpilih dalam berita di majalah dan koran. Di majalah Ekspress edisi 8 Maret 1971 mencantumkan judul besar di sampul: “Betjak di mana-mana”. Becak menjadi laporan utama. Redaksi di halaman  editorial menjelaskan: “Ia sudah berada lama di Indonesia sedjak pertama kalinja dikenalkan dikota Medan… Pertumbuhannja jang begitu tjepat 20 tahun kemudian, mendjadikan masalah betjak beserta pengemudinja jang biasa disebut bang betjak suatu masalah sosial jang tjukup rumit.” Di mata penguasa dan orang-orang berkelimpaham modal, becak itu pengganggu kecepatan, penoda estetika kota, dan pengabar buruk atas impian kemakmuran.

Kaum becak mendapat tanda seru terbesar pada masa 1980-an. Becak harus musnah! Kota-kota besar terlarang bagi becak. Hari demi hari, nestapa dan perlawanan kaum becak menjadi berita, puisi, cerita, lukisan, dan lagu. Majalah-majalah besar sengaja memasang perkara becak sebagai polemik tak berkesudahan. Para esais dan pujangga setor tulisan-tulisan turut merasakan nasib kaum becak. Pelarangan becak melahirkan teks-teks mengandung sejarah Indonesia berkeringat, capek, dan lambat.

Majalah wanita mingguan turut mengabadikan lakon becak. Di Femina, 25 Februari 1986, pembaca mendapat rentetan komentar dari para orang tenar. Sebelas halaman disedikan untuk suguhan pendapat dan argumentasi mengenai becak. Pujangga tenar pada masa 1960-an memberi komentar dari segi “perasaan”. Pujangga bernama Taufiq Ismail itu menggubah puisi, melancarkan protes pada pemerintah di Jakarta dalam pemberlakuan kebijakan menggeser becak, sejak belasan tahun lalu. rasa terharu bagi kaum becak disampaikan dengan puisi. Taufiq Ismail mengaku puisi itu diberikan pada grup musik pop, berharap digarap menjadi lagu mengumandangkan protes. Pengharapan tak terkabul. Lagu becak tak terdengar dan puisi itu menghilang. Si pujangga tenar kehilang kertas-kertas berisi puisi bercerita becak. Kehilangan puisi tak setara kehilangan nafkah bagi kaum becak.

Komentar mengejutkan justru berasal dari penggubah lagu masa lalu. Ibu Soed berbeda perasaan dari pujangga pernah turut melawan kekuasaan Soekarno, berlatar 1965-1966. Kutipan pengakuan di Femina dalam kalimat-kalimat tak meragu: “Lagu itu saya ciptakan tahun 1942. Waktu itu becak mulai banyak dipakai sebagai kendaraan umum pengganti mobil yang langka di zaman Jepang. Setiap hari saya melihat becak dan hampir setiap hari saya naik becak, dari rumah saya ke RRI, tempat saya bekerja, hingga timbul inspirasi saya untuk menciptakan sebuah lagu tentang becak.” Lagu sering disenandungkan sejak puluhan tahun lalu memiliki cerita keseharian Ibu Soed. Lagu merekam zaman meski jarang diceritakan guru ke bocah-bocah di TK dan SD.

Kebijakan pemerintah mendapat “sokongan” Ibu Soed. Becak pada masa pembangunan dilihat “menghambat lalu lintas”. Becak mendingan di pinggiran kota. Jalan-jalan mulus di tengah kota melulu milik mobil dan sepeda motor. Becak pun “menggagalkan” pengisahan berbukti pembangunan nasional. Di alinea akhir, wartawan Femina menggoda Ibu Soed dengan pengandaian lagu “Betja” bakal dilupakan orang-orang di Jakarta. Ibu Soed gamblang menjawab: “Saya tak peduli apakah lagu itu masih dinyanyikan orang atau tidak. Saya menciptakan lagu itu untuk masa dulu.” Pembaca mungkin merasa ada “sinis” bercampur nostalgia tak ingin selalu dibawa menjelang akhir abad XX. Lagu berhak dilupakan tanpa sesalan dan tangisan.

Orang bisa melupakan lagu lama ditambahi lupa atas kerja para seniman dalam pengisahan dan pengawetan becak di abad XXI. Sindhunata, Agus Leonardus, dan Ong Hariwahyu bersekongkol mengerjakan buku berjudul Waton Urip, buku mengenai becak, manusia, kota, sejarah, waktu, dan nostalgia. Sindhunata mengadakan naskah. Agus Leonardus pamer fotografi. Ong Hariwahyu mengurusi desain grafis. Mereka ikhklas dan serius mengisahkan becak, mengubah arah nasib becak di mata penguasa dan orang-orang sudah melupa becak. Taburan lara dan impian termuluk umat becak ditulis Sindhunata dalam bahasa Jawa.

Malem Minggu, nggenjot becake Paiman

Penumpange lagi asyik cipok-cipokan

Paimo mangkel, becak dijeglongno lobang

Pating jranthal, Paimo dadi gak dibayar.

Padhang mbulan, Paimo tuku susu macan

Terus nggliyer, ngimpi mbecak munggah mbulan

Cek enake, awak ayem gak kangelan

Tangi-tangi, Paimo lemes becake ilang.

Nasib umat becak sering tak keruan. Hari demi hari, keringat menetes seperti mengabarkan lelah tak pernah usai. Percik-percik impian diterpa ingin mengajak mereka “menidurkan” seribu keluhan dan melihat ada rengkuhan secuil girang. Pada becak-becak, mereka menggenjot peradaban meski selalu ditaruh di halaman belakang atau masuk di lampiran: jarang terbaca mata manusia-manusia abad XX dan XXI.

* * *

Kita sudah melupakan Moerni, gadis desa momong adik dengan mainan becak. Apa kita berlanjut melupakan Ibu Soed? Kita perlahan mengerti jika becak juga bertokoh perempuan, sejak masa 1940-an. Pembuatan lakon kaum perempuan di Solo menggenjot pedal-pedal becak di abad XXI mungkin ikhtiar tak melupakan becak. Indonesia masih bercerita becak, belum punah meski becak-becak dibuang ke laut dan berubah jadi rongsokan berkarat. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!