Hidup di Jawa tanpa tertawa, orang bakal mengalami neraka setiap hari. Keberanian menanggungkan derita atau berjalan menuruti impian dalam letih dan perih tetap memerlukan tertawa. Peristiwa itu mungkin jeda. Di situasi mendesak, tertawa menjadi perlawanan. Orang Jawa tak terlarang tertawa meski memiliki adab berselera halus atau terikat ke tatanan adiluhung. Tertawa itu sulit mendapat halaman pembahasan panjang di buku-buku penting mengenai Jawa garapan Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Marbangun H, Niels Mulder, dan Franz Magnis Suseno. Kita memang belum terlalu ingin bergantung ke buku-buku mereka dalam mengenali tokoh penting mengumbar tawa di Jawa.
Tokoh itu bernama Basiyo. Tokoh dikenali dan dikenang di Jawa. Ia hidup-mati demi dagelan berbahasa Jawa, tak memiliki ambisi besar menjadi pelawak bercap nasional atau internasional. Basiyo digemari ribuan orang, tak mau kalah dengan ketenaran para pelawak masa lalu. “Tak pernah berusaha ‘menasionalkan’ diri dengan melawak berbahasa Indonesia, malahan bahasa Indonesia yang dibuatnya kacau itu jadi bahan lawakannya,” tulis di buku berjudul Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 susunan Tempo.
Orang-orang menggemari Basiyo tapi sulit mengetahui biografi utuh. Basiyo bukan pengingat dan pencatat beres mengenai diri. Ia memilih memberi tawa ke orang-orang, menanggulangi seribu neraka atau menghibur hari-hari agar terang. Dagelan itu jalan hidup. Detik-detik menjelang mati, ia tetap membuat dagelan di Jogjakarta. Biografi di dagelan dibentuk sejak masa 1930-an dan berakhir 1979. Ia mewariskan tawa berkepanjangan tersimpan di kaset pita. Basiyo masih bisa kita dengarkan dalam 40-an kaset. Sekian lakon dagelan kadang masih diputar di radio-radio Jogjakarta dan Jawa Tengah. Janji mengabdi di dagelan itu sampai ke lelucon: “Susah jadi pelawak. Kalau ada kematian tidak diundang. Takut yang mati jadi tertawa. Apa gitu, ya?” Basiyo jarang mengabsenkan Jawa dari tawa, dari masa ke masa.
Kita ingin mengenali dan mengenang Basiyo dari majalah dan buku masih mungkin dilacak dan dikliping. Pada masa 1960-an, Indonesia bergolak oleh politik dan permusuhan pada segala hal bernama Barat. Di Jogjakarta, situasi itu terbaca di tembok-tembok. Dulu, orang-orang Jogjakarta biasa membaca ada tulisan di tembok: Beatlles, no! Basiyo, yes! Di situ, kita mengartikan Basiyo memberi pengaruh besar dalam tatanan hidup berkaitan hiburan dan politik. Basiyo memang sedang digiring di lakon politik, tetap mengumbar tawa. Pada masa 1970-an, ia ada di panggung diselenggarakan Golkar. Keberadaan Basiyo turut membuat Golkar sukses berpolitik. Ingatan-ingatan itu tercatat di majalah Tempo, 15 September 1979.
Ia melawak dengan sumber diri berupa kepahitan hidup. Basiyo memang lahir dari kaum jelata. Pada saat remaja, Basiyo jadi buruh, sebelum memilih di dagelan. Kepahitan hidup keluarga dan diri disampaikan di pentas atau rekaman dagelan. Pahit itu bermekaran jadi tawa. Penggemar memang tertawa tapi terlempar di renungan hidup. Renungan serampangan seperti bahasa dan ulah Basiyo jauh dari tatanan baku. Bersumber dari Basiyo, orang-orang berpamrih mengalami Jawa dengan lelucon khas jelata. Basiyo pun mengumumkan dalil puncak: “Dagelan itu penghidupanku.”
Umar Kayam, pengarang Bawuk, Sri Sumarah, dan Para Priyayi, menjadi penggemar dan pendengar setia dagelan Basiyo. Konon, pilihan menikmati dagelan Basiyo sering merangsang Umar Kayam menulis kolom-kolom untuk Kedaulatan Rakyat. Umar Kayam perlu memberi penghormatan setelah Basiyo berpamitan dari para penonton dan pendengar dagelan khas Mataram: “… Pelawak bukanlah orang kebanyakan. Ia tampil tidak dengan ukuran rata-rata. Ia tampil dengan lensa mata yang khas dalam menghayati kehidupan. Apa yang mungkin kita lihat sebagai sesuatu yang biasa, oleh sang pelawak tidak demikian. Tiba-tiba di sela-sela yang biasa itu sang pelawak melihat hubungan atau kaitan-kaitan unsur yang luput sama sekali dari tangkapan kita. Kaitan unsur-unsur yang semula nampak ‘biasa’ itu ditunjukkan oleh sang pelawak bahwa kaitan itu mempunyai perspektif dan dimensi yang lain.”
Di esai berjudul “Exit, Basiyo…” dimuat di Tempo, 13 Oktober 1979, Umar Kayam memang terlalu kehilangan. Pada dagelan-dagelan Basiyo, Umar Kayam sering belajar segala hal seperti ketekunan membaca teks-teks sastra. “Pelawak mengajar kita mempertimbangkan kemungkinan kekonyolan dan kebodohan kita. Keduanya berfungsi untuk justru menormalkan kehidupan kita,” tulis Umar Kayam. Sebutan agak mentereng bagi pelawak adalah “editor” atau “kritikus” bagi kita di hidup keseharian. Tahun demi tahun menikmati dagelan Basiyo, esai memuat peran Umar Kayam selaku juru bicara ribuan penggemar: “Leluconnya tidak selalu halus, bahkan sering mburok, polos, tetapi selalu kena dan mencerminkan kehidupan kerakyatan yang memang tidak selalu halus itu.”
Dulu, Umar Kayam mungkin sering mendengar dagelan Basiyo berjudul Maling Kontrang Kantring, Pak Dengkek, Basiyo Gandrung, Basiyo Judheg, Dadung Kepuntir, Besanan, Mblantik, Impen Dorodasih, Gandrung Kepenthung, Tapa Mbisu, Midang, atau Basiyo Mbecak. Sekian dagelan di kaset rekaman selalu laris di pasar. Puluhan kaset itu dikeluarkan oleh Lokananta, Fajar, dan Kusuma. Warisan itu pernah harus istirahat sejenak, setelah kematian Basiyo, 31 Agustus 1979. Pihak keluarga meminta ke RRI Jogjakarta dan sekian radio agar selama 40 hari jangan mengadakan siaran dagelan Basiyo dari kaset-kaset telanjur digandrungi publik. Mereka ingin tenang dulu dan meredakan sedih ditinggal pengumbar tawa lengendaris di Jawa.
Basiyo tak terlupakan. Kaum masa lalu masih sering ingin mengerti dan mengalami Jawa bersama dagelan-dagelan Basiyo. Keinginan itu berbeda dengan orang-orang lahir di akhir abad XX dan awal abad XX. Basiyo itu orang asing, orang di album lama jarang terbuka. Basiyo cuma nama di ingatan kakek-nenek atau bapak-ibu, bukan manusia mutakhir mendapat hiburan-hiburan baru di televisi dan gawai. Basiyo jauh untuk didatangi atau dinikmati dengan telinga-telinga ke kaset pita. Basiyo perlahan menghilang dari percakapan dan hidup memerlukan tawa di abad XXI.
Kita mungkin berhak bergerak jauh melampaui dokumentasi di Tempo atau pelbagai majalah pernah memberitakan Basiyo. Kita menuju ke tahun-tahun setelah Indonesia berperistiwa proklamasi. Peristiwa memastikan revolusi berjalan secara serius meski tak mengharamkan tawa. Dulu, revolusi itu bukan dagelan! Penerbit Kolff-Bunning (Kabe) di Jogjakarta malah mengeluarkan buku berjudul Kagoenan Djawi susunan Karkono Partokoesoemo. Buku tipis tapi dokumentatif bagi penekun seni-seni di Jawa, termasuk dagelan berselera Mataram bertokoh Basiyo.
Di bab “Dhagelan Mataram”, pembaca diperkenalkan dengan Basiyo. Dulu, nama itu ditulis Basija. Pada masa revolusi, Dagelan Mataram moncer di Jawa. Karkono Partokoesoemo menulis: “Dhagelan ingkan kadjoewara sanget poenika katindakaken dening tijang sakawan, inggih poenika Basija, Ramoe, Karta Togen toewin Kasah. Ingkang dados toetoenggoelipoen Basija.” Sejak masa 1940-an, Dagelan Mataram menjadi penghiburan di laju revolusi. Basiyo bersama teman-teman membuat upacara tawa di Jawa. Di Jogjakarta, Basiyo telah dianggap penentu tawa dan tokoh tak kehabisan cerita bergelimang tawa.
Di buku tipis mungkin sudah teranggap langka di Indonesia, Karkono Partokoesoemo memberi ingatan tentang Basiyo saat masih muda: “Ing nalika njandhak oemoer 18 taoen sinaoe dados toekang sepatoe, nanging padamelan waoe kapeksa katilar, amargi nalika oemoer 24 taoen njambi menter, nanging ing wasana oegi kapeksa katilar. Ing wekasan doemoegi sapoenikanipoen mligi namoeng nindakaken kethoprak, kalebet dhagelanipoen ingkan kondhang waoe.” Sekian jenis pekerjaan kasar dijalani Basiyo. Bekerja belum mencukupi kebutuhan hidup dan memenuhi kemauan nasib. Ia sampai ke pilihan terpenting: dagelan. Hidup dan mencari rezeki dengan dagelan ketimbang mburuh tak keruan.
Basiyo kondang sejak masa 1930-an di ketoprak dan dagelan. Pada 1935, Basiyo melakukan pentas perdana di Mangkunegaran (Solo). Pentas itu ramai. Ratusan orang menonton dengan bergairah tanpa perlu sungkan tertawa alias ngakak. Pada waktu berbeda, Basiyo juga berpentas di Sriwedari dan Balekambang (Solo). Basiyo pun resmi moncer di Jokjakarta dan Solo. Undangan pentas digenapi dengan siaran radio di SRV dan SRI. Para pendengar diajak tertawa. Kemonceran di Jogjakarta dan Solo berlanjut ke Semarang. Basiyo kadang berpentas di Semarang di pelbagai acara. Konon, ia pernah diundang untuk acara pengumpulan dana demi kelancaran kongres diadakan Jong Islamieten Bond (Semarang). Pada masa lalu, Basiyo menunaikan pengabdian di dagelan menghasilkan gegoedjengan tanpa kendat (tawa tak pernah usai). Basiyo (1914-1979) memang hidup-mati di dagelan, memberi tawa berkepanjangan. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022