Penjelajah Tionghoa & Memori Ronggeng

outoftheboxindonesia.files.wordpress.com

Cendekiawan Wang Dahai, pelajar kelas atas dari Provinsi Fujian yang terpaksa menjadi penjelajah karena beban utang, memutuskan berlayar bersama kapal dagang Tionghoa menuju Jawa pada abad 18. Sempat tinggal di Pekalongan, Semarang, dan Batavia, pada tahun 1791, ia menuliskan catatan perjalanan yang kelak menjadi kesaksian yang jarang diingat. Di atas kertas, ia sepintas menulis suguhan sirih sebagai tanda hormat; takjub pada sekelompok orang yang kebal usai merapalkan mantra; gusar atas cara orang Eropa mengendalikan orang pribumi, dan panjang lebar mengungkapkan bahwa nilai-nilai Tionghoa dapat menyesuaikan diri dengan tatanan sosial “Negeri-Negeri Kepulauan” yang sebagian besar terkait kehidupan budaya masyarakat Jawa.

Wang Dahai menulis di beberapa tempat peruntungan niaga yang didapatkan oleh pedagang Tionghoa diekspresikan dalam ungkapan syukur berupa ritus kesuburan (agricultural ceremonies) masyarakat pribumi. Ia melihat pakter-pakter Tionghoa yang mendapat penghasilan dari sarang burung walet, saat masa panen kerap melakukan upacara mengundang ronggeng sebelum pengumpulan sarang walet dimulai. Dikisahkan: “mereka membangun sebuah gubuk di dekat tempat itu, dan setelah mendapat hari baik, mereka mempersembahkan korban dan memanggil gadis-gadis penari, atau Ronggeng, untuk menyanyi dan menari pada kesempatan tersebut. Setelah itu, orang-orang pribumi dalam rombongan sepuluh atau seratus, […], mulai mengambil sarang-sarang burung itu….

Wang Dahai pun merinci, sarang-sarang burung walet tersebar di gua-gua yang terletak di Banten, Semarang, Rembang, Gresik, juga banyak tempat lainnya. Tempat lain yang ia maksud mayoritas berpenduduk Jawa (jumin) yang secara administratif diperintah sebagai wilayah Surakarta dan salah satu kehidupan budaya setempat adalah pertunjukan ronggeng. Jika mengingat penulisan catatan perjalanan itu disusun dari tahun 1783, sembari merujuk penelitian Sunaryadi dalam Lengger: Tradisi dan Transformasi (2000), yang mengatakan ronggeng bermula di Jatilawang dan Kalibagor pada tahun 1755; mungkin tempat yang ia maksud adalah Banyumas. Pasalnya ratifikasi pencacahan tanah di wilayah mancanegara kulon itu oleh raja Surakarta mulai dilakukan pada 1744 sedang ronggeng adalah figur utama dalam kebudayaan Banyumas.

Kesaksian-kesaksian Wang Dahai dalam esai berjudul Haidao Yizhi (Catatan-catatan Lepas Tentang Negeri-negeri Kepulauan, 1806) sejatinya ditujukan untuk memetakan zhongzu (ras, suku, kelas) di pulau Jawa guna membantu perniagaan para pedagang Tionghoa. Ia mungkin tak pernah mengira, tiga abad kemudian, Claudine Salmon dalam esainya “Wang Dahai and his View of the ‘Insular Countries” (2003) menyatakan cendekiawan Fujian itu telah mewartakan uraian langka tentang salah satu adat-istiadat Nusantara di masa silam (lihat Claudine Salmon, Sastra Indonesia Awal Kontribusi Orang Tionghoa. 2010. hal 52). Boleh dikata pula, Wang Dahai telah menulis jejak keberadaan Sit lam, yakni orang-orang Tionghoa yang telah menghayati laku budaya masyarakat Jawa

 

Bayang-bayang penindasan

Kekhususan kehadiran orang Tionghoa di daerah tertentu, dapat ditelusuri pula dari surat resmi Residen J.E. de Sturler kepada Johannes van den Bosch yang dibubuhi tarikh 13-9-1832. Sebagaimana dikutip oleh Peter Carey dalam Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid I (2011), isi surat tersebut menyebut bahwa kehadiran saudagar Tionghoa umumnya menandai kemakmuran suatu daerah. Hanya untuk wilayah Banyumas ada kasus tak biasa, jumlah warga Tionghoa tergolong sedikit dan pada umumnya hidup serba kekurangan.

Ironis memang, Banyumas merupakan wilayah kekuasaan terluas Surakarta di wilayah barat; tetapi pertanian dan perniagaan benar-benar telantar sebab para ngabehi (wedana) Surakarta menerapkan pajak terlampau tinggi. Uang pajak sebesar 1000 real diselewengkan, untuk dikantongi sendiri sebanyak 800 real. Kesengsaraan beban pajak, pemerasan beranak pinak atas nama kerja bakti dan upeti, yakni sumbangan ternak, barang keperluan sehari-hari dan barang-barang lain, pokoknya apa saja yang ingin disebut para ngabehi, berdasar pada catatan Kapten Godfrey Baker dalam Memoir of a survey of the prince’s dominions of Java (1816) lantas berakibat kosongnya separo dari dua puluh desa besar sepanjang lembah subur Sungai Serayu (Carey, 2011:24).

Dalam situasi itu, ketika banyak penduduk meninggalkan Banyumas, ronggeng menjadi satu-satunya figur budaya Banyumas yang tetap bertahan. Hanya saja ronggeng tak lagi jadi bagian ritus kesuburan petani, tetapi berdasar amatan Baker, ronggeng pada titi mangsa 1815 menjadi pemuas kesenangan bagi perpanjangan tangan keraton Surakarta, yakni Raden Tumenggung Yudonegoro V di antara permainan judi (Carey, 2011: 25). Sedang warga Tionghoa dalam catatan Wang Dahai, dihadapkan pada kenyataan pilu bahwa pengumpulan sarang walet di Jawa dikendalikan orang-orang Belanda. “Negeri-negeri di Lautan barat ini mempunyai sesuatu yang menyenangkan, dan sesuatu yang menyedihkan”, begitulah Wang Dahai berkata di antara kenyataan pakter-pakter Tionghoa dibebani kewajiban membayar uang sewa tahunan.

 

Jejak Pluralisme

Memetik mozaik sejarah di atas, setidaknya secara sepintas terlihat bahwa budaya leluhur, ronggeng semisal, pernah menjadi sarana interaksi antara orang Tionghoa dan warga Nusantara pada abad ke-18. Sayangnya, untuk memperoleh gambaran yang lebih detail tentang muasal keterkaitan perniagaan asing dengan kultur setempat, kajian itu terbentur minimnya literatur.

Tapi yang tak remeh, catatan penjelajah Tionghoa tersebut telah menampilkan gambaran warga sipil yang menolak tinggal dalam sebuah lingkungan kesamaan warna kulit. Mereka saling berbaur membiarkan satu sama lain saling menyerap meski dalam kehidupan yang penuh risiko: pemerasan dan penjajahan. Pembauran tersebut adalah kekayaan multikultural juga jejak bagi pluralisme yang masih menunggu digali lebih dalam agar tak sekadar menjadi bagian memori kesunyian.

Layak benar bagi kita semua untuk mengkaji lebih jauh terhadap dimensi-dimensi sejarah yang jarang diperhatikan para sarjana ini, utamanya dalam maksud untuk menyuburkan mengeruk nilai-nilai kemanusiaan, seperti penerimaan pada pluralisme. Bagaimanapun, kita mafhum, mempelajari artefak-artefak sejarah bukanlah sekadar soal hafalan tanggal, bulan, tahun, dan nama, tetapi lebih esensial ialah bagaimana kita menarasikan niali-nilai kemanusiaan di masa kini demi kualitas hidup yang lebih maju. Tentu saja, sejarah bukanlah sesuatu yang sepi dari kejatuhan dan keguncangan, tetapi justru dari tamsil-tamsil demikianlah seyogianya kita terinspirasi untuk lebih maju.

Kata Pramudya Ananta Toer dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, “…surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat….”

Abdul Aziz Rasjid
Latest posts by Abdul Aziz Rasjid (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!