Kuletakkan dengan hati-hati segumpal perasaanku di atas meja. Di atas selembar koran bekas. Bagaimanapun, seberat apa pun ia kerap membuatku merana, ia tetaplah perasaanku—dan kutahu perasaan adalah bagian mutlak dariku, maka wajar aku tak ingin ada sedikit pun darinya yang cedera. Lalu aku menjamah kursi, menyeretnya mundur dari meja beberapa meter dan duduk menunggu.
Aku ingin tahu bagaimana perasaanku bekerja.
Menakjubkan! Bahkan saat ia dipisahkan dari tubuhku, tanpa perlu menunggu lama, perasaanku berdenyut-denyut. Ia hidup, bekerja! Rasa rindu, rasa bersalah, rasa menyesal, rasa kecewa, rasa lelah, hingga rasa muak dan murka pilin-berpilin gumpal-menggumpal menguar ke udara, menyesaki isi kepalaku. Otakku! Bagaimana sesungguhnya cara efektif mengendalikan perasaan, bila dengan cara dijauhkan pun ia tetap berdentuman di kepala?
Sepasang semut merayap ke atas meja. Suami istri. Dari sisi barat. Keduanya mendekati segumpal perasaanku sambil berbisik-bisik. Ada sisa kristal-kristal gula di tubuh mereka. Bagaimana aku tahu kedua semut itu suami istri dan ada sisa kristal-kristal gula di tubuh mereka?—Diamlah kau, tak perlu semua hal ditanyakan dan mendapatkan jawabannya—yang jelas terima saja bahwa aku sepenuhnya tahu! Aku diam, menunggu, sesuai rencana awal untuk mengamati dengan saksama bagaimana perasaanku bekerja. Sepasang kecoak meliuk-liuk di atas kepalaku lalu hinggap di atas meja, tak jauh dari segumpal perasaanku. Sekitar dua atau tiga jengkal saja. Suami istri pula. Mereka saling tatap, dengan tubuh menyimpan percik-percik kotoran dari comberan, sembari mengamati segumpal perasaanku dengan mata tajam.
“Bagaimana perasaanmu tentang perasaan manusia ini?”
“Ini bakal jadi makan malam yang besar.”
“Dasar betina! Isi kepalamu selalu hanya tentang makan dan makan, pantas saja tubuhmu makin gempal!”
“Hei! Berhentilah melecehkan tubuhku! Kau gemar sekali menghinaku bila tak lagi berahi dan dengan ganas memelukku erat-erat bila sedang berahi. Apakah semua pejantan sedunia begitu semua isi kepalanya; menghina dan memeluk hanya soal berahi dan tidak?”
“Hei, kau melawanku?!”
“Kau yang mulai menghinaku!”
“Aku pejantanmu, suamimu, harusnya kau selalu patuh padaku! Ingat hukum kita, kecoak betina dilarang melawan suaminya, pemimpinnya, imamnya!”
“Itu ambisi kalian saja! Andai dulu saat pembentukan hukum itu aku dilibatkan, akan kutambahkan syarat begini: selama suami tidak menyakiti perasaan istrinya.”
“Dasar betina! Banyak maunya, banyak menuntut!” Tangannya diam-diam mengepal.
“Dasar pejantan, tumpul menggunakan perasaan!”
“Sekali lagi kau membantahku, akan kugampar kepalamu!”
“Bagaimana dengan perasaanku yang kau sakiti, hah?”
“Jangan baper! Baper adalah biang segala rasa sakit. Harusnya kau tahu ucapanku tadi hanya bercandaan….”
“Perasaan tak bisa dibikin candaan….”
“Itulah kelemahan para betina yang mudah sekali diseret perasaannya….”
“Itu pun kelemahan pejantan yang ringan sekali menjadikan perasaan bahan candaan….”
“Semua ini takkan terjadi bila saja perasaanmu bersih….”
“Kau pikir perasaanmu bersih?”
“Sudah pasti!”
“Pongah! Silakan buktikan!”
Kecoak jantan diam. Diikuti kecoak betina. Mereka saling mendiamkan, saling memunggungi. Di hadapan segumpal perasaanku yang sejenak sebelumnya mereka sebut makan malam yang besar.
Sepasang semut yang telah dekat sekali ke gumpalan perasaanku, yang jelas bisa menyimak riuh pertengkaran sepasang kecoak itu, saling melempar senyum. Si jantan berbisik, lihatlah suami istri kecoak itu berantem saja sampai lupa pada makanan besar di hadapannya. Si betina mengikik, mereka perlu hidup dengan lebih santai agar tidak gampangan marah-marah sampai lupa pada lezatnya perasaan yang siap disantap ini. Amarah memang biang kerok punahnya peluang-peluang menyesap kenikmatan ya, lanjut si jantan, maka aku selalu mengatakan hendaknya kita selalu berjuang mengendalikan perasaan kita untuk tenang dan tenang demi menyesap kenikmatan-kenikmatan. Bila perasaan tenang, dapat dipastikan semuanya akan begitu menyenangkan. Aku setuju sekali, sambut si betina, sesulit apa juga usaha menenangkan gejolak perasaan, apa pun itu masalahnya, tak pantaslah bagi setiap pasangan untuk bertikai, menjatuhkan, dan melecehkan. Untuk alasan apa pun, itu aneh sekali. Itulah alasan utamaku untuk selalu mencintaimu, sambut si jantan, maka maafkan aku jika sengaja atau tidak sengaja pernah menyakiti perasaanmu. Aku pun demikian, Sayang, sahut si betina, aku juga minta maaf jika pernah lalai menyakiti perasaanmu. Keduanya lalu berpelukan. Sangat hangat. Tanpa menoleh sedikit pun pada segumpal perasaanku di atas meja. Kehangatan pelukan, kukira, memang jauh lebih utama untuk dinikmati ketimbang mengunyah makanan-makanan terbaik apa pun.
Di hadapan sepasang kecoak dan semut itu, dua kali aku mengerutkan kening. Memerah pikiran.
Pertama, pertengkaran suami istri kecoak itu. Mereka sungguh-sungguh bertikai hanya karena sebuah kalimat yang di telinga si betina terdengar sangat menggiris dan melukai perasaannya, yang kata si pejantan sekadar dimaksudkan untuk bercanda. Betapa tipisnya jarak canda dan murka! Betapa misteriusnya cara kerja suasana hati untuk menerima sebuah kalimat sebagai candaan yang menghela gelak tawa atau hinaan yang meledakkan sumpah serapah. Maka, aku lalu menyimpulkan, selalu menerapkan standar moral yang sangat tinggi pada diri sendiri ketika hendak bertindak atau berkata-kata apa pun kepada orang lain demi menghindarkan risiko konflik merupakan cara terbaik untuk bisa tetap hidup nyaman berdampingan. Perasaan lawan bicara, termasuk pasangan, boleh jadi tampak seindah kaca yang indah tetapi senyatanya sangat mudah retak bahkan pecah berserak bila menerima beban yang kita anggap ringan tetapi tak kuasa disangganya. Dan siapalah yang bisa mengukur kemampuan perasaan orang lain untuk menyangga sebuah beban?
Kedua, kehangatan pelukan suami istri semut itu. Serupa sepasang kecoak itu, sepasang semut itu tertarik benar untuk menyantap segumpal perasaanku di atas meja. Mereka bertandang dengan susah lagi payah ke atas meja pasti karena aroma lezat perasaanku yang melayang-layang di udara dan mengundang selera makan. Mereka lalu menertawakan pertengkaran sepasang kecoak itu sebagai kebiadaban pernikahan yang tak pantas dilakukan oleh suami istri dengan dalih apa pun. Bagaimana mungkin ada sejoli yang hidup bersama-sama, ke mana-mana juga bersama-sama, saling menolong untuk melunasi gairah-gairah berahi, pertanda keduanya tak bisa hidup tanpa bergantung satu sama lainnya, berkelahi dengan saling bertukar otot serapah-serapah dan ancam-mengancam, apalagi hanya karena sebuah bercandaan? Aneh sekali! Si kecoak jantan jelas bersalah karena tidak menerapkan standar moral yang tinggi sehingga ringan melontarkan bercandaan dan kecoak betina itu pun salah karena membiarkan perasaannya bergemuruh sehingga bercandaan suaminya tersunggi sebagai hinaan yang menyakitkan. Sepasang semut itu lalu saling memeluk dengan sepenuh kehangatan di hadapan sepasang kecoak yang saling mendiamkan dan memunggungi akibat gagal menenangkan debur perasaan. Dan meminta maaf merupakan cara paling sederhana untuk menyelesaikan sebuah perselisihan, menenangkan ingar bingar perasaan, yang bila saja berhasil dilakukan oleh sepasang kecoak itu niscaya serentak tidak akan lagi saling memunggungi dan mendiamkan. Keduanya akan sedang menikmati lezatnya segumpal perasaanku di atas meja dengan hati girang.
Sepasang semut itu telah hinggap di segumpal perasaanku. Menjilat-jilatinya dengan tenang. Sisa kristal-kristal gula di tubuh mereka pelan demi pelan membauri perasaanku. Pelan demi pelan pula pikiranku terasa sangat tenang. Manis. Damai.
Manisnya gula yang melumeri segumpal perasaanku di atas meja ternyata sangat mampu membuat pikiranku manis pula. Sangat tenang. Sangat nyaman.
Biadab! rutukku. Ternyata, perihal segala ketaknyamanan yang memorak-porandakan batang-batang pikiranku sepenuhnya disebabkan oleh ada atau tidak adanya rasa manis di dalam perasaanku. Sesederhana itu!
Pantas saja! Pantas saja pikiranku seketika menjadi tenang bila aku tertawa saat menonton film komedi atau berbincang dengan kawan-kawan yang mengisahkan kejadian-kejadian yang mengundang gelak tawa. Tertawa adalah bagian dari gula manis yang melumeri perasaan dan mampu menenangkan pikiran. Tetapi mengapa aku kerap sulit tertawa?
Kecoak jantan itu terdengar mendengus sembari melangkah ke segumpal perasaanku. Makan sendiri lebih baik daripada menunggumu sadar betapa konyolnya amarahmu yang dibakar perasaanmu sendiri! Ia meninggalkan kecoak betina yang masih memunggunginya dengan dada bergelombang. Aku juga bisa makan sendiri, sergah kecoak betina itu sembari merangkak ke arah segumpal perasaanku dengan mengambil sisi yang berbeda.
Keduanya lalu memasuki perasaanku, menjilat-jilatinya dengan cara masing-masing tanpa sedikit pun tampak berminat untuk menoleh, apalagi bercakap. Percik-percik bacin comberan yang melekat di tubuh mereka pun pelan demi pelan berbaur ke dalam perasaanku.
Biadab! rutukku. Pelan demi pelan pikiranku jadi ruwet, kacau, dan gemuruh. Gelegar benci, kesal, marah, kecewa, dan sedih bercampur-aduk di tengkorak kepalaku. Rasa manis dari gula-gula yang menenangkan pikiran telah ditumbangkan oleh rasa pekat yang ditebarkan percik-percik bacin comberan dari tubuh sepasang kecoak itu. Pikiranku seketika menguarkan bacin-bacin comberan!
Dan kaulah penyebabnya!
Seorang perempuan yang amat kukenal baik—sebab ia istriku—telah berdiri di sebelah kursiku dengan mata tajam tak berkedip menatapi segumpal perasaanku yang tergeletak di atas meja. Napasnya terdengar naik-turun. Gelombang-gelombang itu rupanya belum surut sama sekali meski hari-hari telah silih berganti hengkang dan tandang.
“Sudah kau mengerti apa kesalahanmu? Sudah kau cermati letak masalahmu pada segumpal perasaanmu di atas meja itu?”
Aku diam. Menekan gelombang di dada—aroma bacin-bacin comberan bergolak bukan lagi hanya di kepala, tapi sekujur tubuh. Tanpa sisa.
“Egomu takkan ada habisnya bila tidak kau taklukkan! Kau hanya akan terus meminta tumbal perasaanku sampai mati!”
“Seperti berkali-kali kubilang, itu hanya akibat kau tak mampu melapangkan perasaanmu! Akibatnya kau hanya terus merasa teraniaya! Kau tumbal perasaanmu sendiri!”
“Kau memang menganiayaku dengan tuntutanmu!”
“Kau yang menganiaya diri sendiri karena egomu yang buta untuk membuka penerimaan di hatimu!”
“Kau hanya bisa menuntut!”
“Kau hanya bisa minta dimengerti!”
“Dasar wanita!”
“Dasar lelaki!”
Ia mendekat ke meja, mencermati segumpal perasaanku yang dijilat-jilati sepasang kecoak yang saling mendiamkan dan memunggungi. Perihal sepasang semut yang telah hengkang semenjak segumpal perasaanku dikangkangi sepasang kecoak itu tak mungkinlah diketahuinya. Dan tak ada guna pula kukisahkan padanya.
Ia mendesis tanpa menoleh, persis kecoak betina itu, “Pantas saja pikiranmu berantakan, rupanya ada kecoak bacin menguasai segumpal perasaanmu. Semua pertikaian ini takkan terjadi bila saja perasaanmu bersih….”
Aku mendengus, keras-keras, dengan tangan diam-diam mengepal persis kecoak jantan tadi. “Kau pikir perasaanmu bersih?”
“Sudah pasti!”
“Buktikan!”
Sembari melepaskan sebuah seringai yang amat memuakkan, dia merogoh dadanya, mencabut segumpal perasaannya, lalu meletakkannya dengan hati-hati di atas meja di sebelah segumpal perasaanku. Di atas selembar koran bekas. Kukira, bagaimanapun, dia juga tak ingin segumpal perasaannya mengalami sedikit pun cedera.
Sebuah kursi diseretnya ke sebelahku. Ia lalu duduk. Berdampingan. Dalam jarak satu meter saja.
Kami diam. Hanya mata kami yang tajam menyala memandangi dua gumpal perasaan di atas meja. Dengan dada bergolak. Pikiran riuh. Gelombang-gelombang yang bergemuruh memburu pantai-pantai.
Kecoak betina itu mengangkat kepalanya, menggerak-gerakkan antenanya, lalu merangkak ke segumpal perasaan yang tergeletak di sebelah segumpal perasaanku. Mengendus-endus, kemudian menjilat-jilatinya dengan sepenuh nikmat. Sudah pasti, percik-percik bacin comberan di tubuhnya pelan demi pelan meruahi segumpal perasaan itu.
“Egomu makin memuakkan!”
“Sempit hatimu yang memuakkan!”
“Dasar lelaki!”
“Dasar wanita!”
Suara serapah kami saling bertabrakan di udara. Memecah-belah lalu-lalang angin-angin yang seketika memejamkan mata dan menutup telinga.
Sepasang kecoak di atas meja, di atas dua gumpal perasaan itu, mengangkat kepala, menggerak-gerakkan antenanya. Mereka menyeringai. Ke arah kami. Dengan mulut berceceran liur.
“Mbak, kemarilah, dengan senang hati aku rela berbagi makan besar ini kepada sesama kecoak betina,” seru kecoak betina itu.
“Mas, ayo sini, makanan besar ini nikmat sekali, mari berpesta sesama kecoak jantan,” seru kecoak jantan itu.
Jogja, 12 Desember 2016
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019