Perempuan, Golf, dan Peluru

Di depan cermin, Aryanti menyentuh-nyentuhkan tisu di sudut bibirnya. Jejak-jejak makan pagi dibersihkan dengan hati-hati, seperti membersihkan jejak serangga dari mahkota mawar yang basah. Sesekali dia menelangkupkan bibirnya masuk agar lipstiknya tidak terusap. Aku memandanginya dari belakang, lalu pelan-pelan mendekat sehingga wajah kami memantul berbarengan. Aryanti tersenyum saat dadaku menempel di punggungnya. Beberapa saat kami tak bicara apa-apa. Dia mengerdip lembut. Pandangan kami bertemu di cermin. Aroma shampo di rambutnya mengalir lembut. Kedua lenganku melingkar ke pinggangnya. Lambat tapi pasti. Pergelangan Aryanti bertemu dengan telapak tanganku tepat di atas pusarnya. Aryanti memejam, mendongakkan wajah sehingga kepalanya tersandar di bahu kiriku. Daun telinga perempuan itu menyentuh pipiku. Anting-anting kecil berpermata putih terasa makin menekan.

Dari jendela Astera Hotel lantai ketujuh, kawasan Sathorn Road, jalur searah menuju stasiun kereta Saphan Takshin BTS di bawah sana tampak belum ramai. Seekor burung tekukur berkelepak, hinggap pada bangunan mangkrak di sebelah barat hotel. Aryanti membalikkan badan. Tubuh perempuan itu menghadapku, jarak agak melonggar. Kupegang kedua pundaknya. Mata kami saling bertemu kembali. Beberapa saat masih tak ada pembicaraan apa-apa. Makin terasa ada yang mengalir ke dalam dada. Tubuh kami tergiring saling merapat lagi. Kulingkarkan kembali kedua lengan ke pingganggnya. Bola mata Aryanti tampak memantulkan cahaya. Dia tersenyum. Bibir mungil warna merah jambu itu basah berkilat, seperti bunga mawar berembun terkena sinar matahari.

“Rambutmu masih basah,” kataku.

“Sebentar lagi kering.”

“Semalam tidak tidur, kamu lelah?”

“Lelah tubuh selalu ada tempat berlabuh,” jawabnya.

“Kalau lelah hati?”

“Bisa dibawa mati.”

“Itu bukan pilihan,” aku menimpali.

“Itu tergantung,” kata Aryanti kalem.

“Maksudnya?”

“Bapak mungkin lebih tahu.”

“Eee … kau masih saja panggil saya bapak.

Ini adalah alur kehidupan yang benar-benar tak pernah terpikirkan. Dulu sempat membayangkan bahwa kami akan dihabisi setibanya di tanah air, karena kami adalah saksi kunci, bahkan Aryanti benar-benar terlibat meski ia dijebak. Rasa galau sudah bermunculan ketika kami diterbangkan dari Senai International Airport. Aku takut, bahwa hidup kami tidak lama lagi akan usai. Tapi di sisi lain, aku berdoa agar bisa hidup lebih lama bersama Aryanti. Getaran rasa yang tumbuh membuat kami tak ingin dipisahkan. Aryanti, perempuan yang harus aku “amankan” karena dijebak masuk skenario pembunuhan orang penting yang diperintahkan atasan, tiba-tiba ingin kumiliki sepenuh hati.

“Mati adalah misteri waktu,” kataku menghibur diri saat Aryanti mengatakan kembali kegundahannya.

“Yang menakutkan adalah detik-detik kematian itu diketahui sedang menguntit,” balas Aryanti.

“Itu bahasa rasa,” kucoba menghindar lagi.

Situasi tanah air makin buruk. Berita berseliweran di media. Makin jauh dari tanah air, makin jernih aku melihat persoalan, makin bisa melepaskan dari kepentingan kekuasaan. Karena perintah atasan, atas nama tugas, aku tak dapat menampik. Sementara itu makin banyak pejabat pemerintah dan petinggi partai yang tertangkap karena korupsi. Penguasa dan partainya makin sibuk menyembunyikan, menutup-nutupi, bahkan menggagalkan peradilan bagi kadernya yang korup.

“Kapan sandiwara ini berakhir?” Aryanti memandangku, bola matanya bergerak lambat.

“Aku dan kamu dipaksa masuk ke permainannya. Aku harus menjagamu agar tak terpantau. Peradilan belum usai. Situasi tanah air makin nggak jelas,” kataku.

“Begitu?”

“Skenario berjalan terus. Para petinggi lembaga antikorupsi dikriminalisasi satu per satu. Ada yang dituduh menyimpan senjata ilegal. Ada yang disiram dengan air keras. Peran lembaganya dipreteli. Berusaha dibubarkan. Orang-orang yang lurus diturunkan. Dicari-cari kesalahannya. Banyak koruptor diberi potongan masa hukuman. Lembaga-lembaga penegak hukum seperti sudah dikuasai para mafia. Suara-suara dan kritik masyarakat tak digubris. Ini situasi hukum paling buruk.”

“Bapak di pihak siapa?”

“Itulah sulitnya. Tapi hati tak bisa dibohongi. Justru di tempat yang jauh seperti ini pikiran menjadi lebih bersih.”

“Saya bosan dengan ketidakpastian ini,” sahut Aryanti.

Mungkin aku dipersalahkan karena mengkhianati tugas. Seorang bujangan seperti aku, diperintahkan menyembunyikan seorang perempuan muda yang cantik, tentu menjadi persoalan tersendiri. Sebagai bawahan yang diperintah, aku harus siap melaksanakan sambil memberi hormat. Memang Aryanti kusembunyikan secara ketat, mungkin kami juga dimata-matai, namun jalinan rasa itu lambat laun muncul di antara kami. Sejak bermalam berdua di lantai dua puluh lima, di Negeri Johor Bahru, kami merasa disatukan oleh getaran yang sama.

Aryanti sendiri tidak tahu, peran apa yang selanjutnya dijalani semenjak dia dijebak menggiring lelaki ke lubang maut itu dilakoni. Aryanti hanya tahu, bahwa dia harus menghilang dari kejaran wartawan, tak ada yang boleh tahu. Hingga persidangan lelaki yang dikambinghitamkan itu berlangsung, sosok Aryanti sebagai saksi mahkota benar-benar tak tersentuh. Aryanti mengetahui banyak hal, tapi dia sendiri tidak sadar kalau dijebak atau diperalat, dia bagian dari skenario itu. Ternyata, saat Aryanti menelepon, bertemu, serta berbagai aktivitas dengan korban yang dibidik sudah diatur sedemikian rupa.

“Sepertinya yang saya alami ini adalah tee shot,” kata Aryanti.

“Apa itu?” aku memandangnya.

“Pukulan awal dalam permainan golf.”

“Kamu seorang caddy di lapangan golf. Perbandingan itu tidak enak didengar.”

“Ya, saya takut. Pada akhirnya semua harus hole in one. Masuk ke lubang dalam satu pukulan. “

Aryanti terdiam beberapa saat. Pandangannya tampak berubah. Raut wajahnya meredup.

“Saya berharap bungker bisa menyelamatkan,” ia melanjutkan.

Bungker? “

“Ya, cekungan berisi pasir. Untuk hambatan dalam permainan golf sebelum bola mendekati lubang.”

Mendengar kata-kata Aryanti perasaanku jadi tidak enak lagi, meski rasa seperti itu sudah sering timbul tenggelam.

“Bapak, jadilah bungker untuk saya …,” suara Aryanti memelas. Masih juga dia menggunakan kata “bapak”.

“Maksudmu?” sahutku.

“Bukan hanya penghambat, tapi menggagalkan agar bola tak masuk ke lubang,” katanya, seakan penyerahan antara hidup dan mati.

Aryanti telah bercurah hati padaku. Dia telah membaca berita-berita kasus yang melibatkannya. Aryanti tak menduga bahwa perannya telah membuat seseorang mati ditembus peluru di kepalanya. Dia tak menduga justru si korban adalah orang yang sangat berharga baginya, bahkan membuat hidupnya lebih baik. Ada tiga peluru, tapi hanya satu yang benar-benar mampu menghabisinya. Entah siapa yang menarik pelatuk dari sisi kanan mobil, lalu pelurunya menembus kaca dan menancap dekat telinga. Konon pelakunya berboncengan motor dan melesat setelah melakukan eksekusi.

“Papi orangnya sangat baik,” kata Aryanti. “Tega-teganya dia dibunuh. Saya yakin siapa pun yang ikut terlibat pasti selalu dibayangi dosa selama hidupnya. Tak akan tenang. Makin tua pasti akan makin gelisah.”

Aku tak berkomentar apa-apa. Aryanti selalu tampak sedih kalau bercerita tentang korban yang disebutnya sebagai “papi”. Aku dapat memahami perasaannya. Ikatan Aryanti dengan lelaki itu tampaknya kuat sekali. Menurut Aryanti, lelaki itu didampingi untuk dapat bermain golf mulai dari nol, dari cara memegang club atau stik golf, posisi badan, cara memukul dan nama-namanya, istilah-istilah terkait lapangan, sampai pada perhitungan skor. Saat awal-awal bermain golf, kata Aryanti, stik yang dipegang lelaki itu pernah terlepas dan hampir mengenai Aryanti. Beberapa saat setelah itu dia mengeluh sakit pada pergelangan tangannya. Aryanti pula yang mencoba memijat agar pulih.

“Sejak saat itu Papi selalu meminta saya untuk menemani bermain,” Aryanti mengenang.

“Bermain?” aku menggoda.

Aryanti menoleh pelan ke arahku. Tanpa ekspresi apa-apa.

“Papi itu orangnya sabar. Bahkan dia bilang kasihan kalau lihat saya membawakan peralatannya. Makanya dia selalu membawa stiknya sendiri. Saya tahu persis selera makan dan minumnya. Papi selalu meminta saya untuk memesankan.”

“Mungkin kamu bisa melayani dengan baik,” aku menyela.

Caddy profesional harus seperti itu. Memahami karakter dan memberi semangat pada golfer. Jadi bukan pekerjaan gampangan. Harus mengikuti semacam diklat terlebih dulu untuk memahami seluk-beluk dunia golf. Sekitar tiga bulan.”

“Yang paling susah apa?” aku mengimbangi.

“Melayani karakter golfer yang berbeda-beda. Ada yang manja, disiplin, tegas, bahkan galak minta ampun. Kalau Papi orangnya cenderung manja, untungnya juga sabar, baik pada sesama golfer. Papi ….”

Aryanti memang tak bisa memilih. Sekarang dia makin paham, lanjut curah hatinya padaku, para begundal memang tidak pernah kehabisan akal. Aryanti akhirnya mengetahui bahwa sosok yang dikambinghitamkan itu duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa dan dituntut hukuman mati. Aryanti pun kenal betul dengan lelaki kedua itu, dia yakin lelaki itu bukan dalang pembunuhan. Sebagai kucing yang bertugas membasmi tikus-tikus negara, lelaki itu sengaja diincar oleh persekongkolan jahat. Aryanti sekarang makin paham, komunikasinya dengan terdakwa pada masa lalu ternyata dipakai sebagai alibi untuk menjebak. Dua lelaki yang sama-sama sangat dekat dengannya, dikorbankan secara keji, termasuk diri Aryanti sendiri. Mendengar curahan hati Aryanti, aku hanya terdiam kecut. Aku juga berada dalam lingkaran itu. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.

“Banyak nyawa dipermainkan dan dikorbankan demi melindungi para tikus negara,” kata Aryanti makin polos. “Dulu sebelum jadi penguasa katanya antikorupsi, tapi setelah berkuasa malah menjadi tikusnya.”

Power tends to corrupt,” aku nyeletuk.

“Kekuasaan cenderung korup,” balas Aryanti.

Hari sudah agak siang. Kami keluar dari kamar. Pintu-pintu yang saling berhadapan semua masih tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda kehidupan sampai kami melewati tiga lorong. Suasana di lantai tujuh ini terasa sepi hingga ke pintu lift. Setelah menunggu beberapa saat, pintu lift membuka dan kami pun turun. Aryanti membenahi topi dan kacamatanya, becermin di dinding lift yang terbuat dari kaca. Tubuh kami memantul dari empat arah. Aroma parfum Aryanti tercium harum. Kupandang penunjuk digital berjalan menuju angka yang makin kecil. Lalu berhenti. Pintu pun membuka. Tangan Aryanti menggandeng lengan kiriku saat keluar dari lift.

“Kita ke sana,” katanya menuding ke arah barat. Aku mengangguk.

Dari Astera Hotel kami berjalan melewati Sathorn Road. Jalur searah ini lebarnya hanya cukup dilewati dua mobil. Cuaca mulai terasa panas. Tapi di sepanjang trotoar sampah-sampah dalam tas plastik masih teronggok di depan pertokoan. Di seberang terdapat jalan layang tempat kereta berlalu-lalang. Kami berjalan sekitar lima ratus meter menuju Saphan Takshin BTS, sebuah stasiun kereta yang terhubung dengan tempat-tempat lain di kota Bangkok dan wilayah luar. Di depan ada Sungai Chao Phraya melintang di bawah Jembatan Takshin. Kami naik ke lantai tiga tempat kereta Silom Line berhenti.

Aryanti menghentikan langkah. Sambil tetap menggandeng lengan, dia tersenyum sambil menoleh ke arahku, seperti mengisyaratkan sesuatu.

“Apa?” kulihat wajahnya merona.

“Foto dulu,” jawabnya manja.

Aryanti minta difoto dengan latar belakang berbagai poster dan papan nama bertuliskan huruf Thai. Dia tampak makin cantik dengan mengangkat topi dan rambut tergerai warna kemerahan. Setelah tiga jepretan, dia merapat dan merangkul pinggangku. Kali ini dia yang memegang kamera pada telepon selulernya. Kami pun foto bersama dengan latar belakang bangku-bangku panjang dan papan-papan penunjuk.

“Dari arah sana,” Aryanti menyodorkan kameranya lagi.

“Tidak usah lihat kamera,” aku mengambil gambarnya dengan posisi miring.

Di area stasiun semua orang seperti terburu-buru. Kami ikut berjalan agak tergesa. Terdengar bunyi mikropon. Kereta segera datang. Orang-orang berlarian. Dan kami pun mengikuti untuk naik. Sungai Chao Phraya yang lebar tampak berkelok di jendela, kapal-kapal berseliweran dari arah utara dan selatan melalui dermaga Sathorn Pier. Kemarin Aku dan Aryanti telah melewatinya dengan angkutan sungai, lalu merapat di Asiatique, sebuah taman dan pusat perbelanjaan di tepi sungai. Kapal-kapal datang dan pergi. Kami sengaja berlama-lama menikmati kehidupan di arus sungai. Ikan-ikan patin sebesar lengan orang dewasa bermunculan di antara pulasan-pulasan air. Pukul 19.30 kami masuk untuk nonton pertunjukan di Calypso Cabaret sesi pertama,dibawakan tujuh puluh pemain dalam tujuh puluh menit, kebanyakan para waria. Mereka menampilkan opera populer dengan paduan lagu, tari, dan berbagai atraksi yang diselingi lelucon. Saat pertunjukan bubar, kami keluar melewati lorong, ternyata di sepanjang lorong itu para pemain sudah berbaris mengucapkan terima kasih atas kehadiran para penonton. Aryanti meminta untuk foto dengan diapit dua orang pemain berbusana gemerlap.

Kereta telah melesat beberapa saat. Dari stasiun kereta meluncur ke arah timur, akan melewati Stasiun Surasak, Chong Nonsi, Sala Daeng, Ratchadamri, serta Siam. Di sepanjang perjalanan tampak gedung-gedung bertingkat dengan jalanan silang-menyilang di bawahnya.

“Gimana kalau kita kehabisan uang?” tanya Aryanti dalam perjalanan.

“Eeemmm ….” aku melihat sekeliling, khawatir kalau omongan kami dimengerti orang lain. Aryanti melihat pipiku, mungkin menunggu jawaban.

“Ada deh.”

“Berapa?”

“Lebih dari cukup.”

Tentu Aryanti tidak tahu soal aliran dana yang masuk ke rekeningku untuk pengamanan ini. Sebagai pemilik rekening, aku sendiri juga tidak tahu, tepatnya tidak kenal, nama yang mentransfer dana. Aku mengecek secara berkala hingga bisa memperhitungkan semua kebutuhan. Jika dirasa kurang, aku akan memberi kode untuk itu. Selanjutnya akan ada dana yang masuk. Dulu aku pernah dengar, obrolan para atasan dan para pengusaha dalam pertemuan terbatas, tak usah risau soal dana selagi hutan dan barang tambang masih ada. Benarlah opini masyarakat, wilayah negeri kami dengan kekayaan di dalamnya sudah dikapling oleh para pemodal yang bersekongkol dengan para aparatur negara. Para pemodal asing didatangkan dengan membawa puluhan ribu pekerja, mungkin malah ratusan ribu, mengeruk kekayaan alam dan diangkut keluar negeri. Di sisi lain, kekayaan alam juga banyak dikeruk secara ilegal. Para penjarah ini memberi upeti kepada para pejabat secara berlimpah-limpah dan teratur sehingga mereka dibiarkan. Persekongkolan yang tak pernah henti. Benar juga opini masyarakat, para penguasa dan pengusaha membabi buta, menyedot habis kekayaan alam untuk dipakai berpesta dengan kelompoknya. Setelah semua habis dan alam porak-poranda, rakyat kecil dan anak-anak generasi akan menuai bencana hingga terlunta-lunta. Penguasa yang selalu berkhotbah tentang ideologi negara, mereka pula yang paling banyak merusaknya. Semakin jauh dari tanah air, semakin jernih aku menilai apa yang terjadi.

Bangku kereta memang selalu penuh. Orang-orang berdiri bergelantungan sambil tubuhnya berayun mengikuti irama kereta. Kami duduk berdampingan. Tangan Aryanti kugenggam seperti takut kehilangan. Tas kecil yang dibawanya diletakkan di pangkuan. Kulihat pipi kanannya berkilau kemerahan. Ada sedikit jejak keringat yang tadi diusapnya. Kurapatkan genggaman. Aryanti menoleh dan tersenyum. Rok bawahan warna krem yang dikenakan terhenti di lutut. Tadi dia bilang terpaksa pakai rok karena celana ukuran tiga perempat yang disukainya lagi dicuci. Kulihat bulu-bulu lembut di kakinya, sementara kuku jemarinya dicat warna merah muda, menyembul di ujung sepatu warna coklat.

Beberapa stasiun telah terlewati. Kami harus berganti kereta. Sambil menunggu kereta, Aryanti cepat-cepat duduk di kursi panjang. Dia membuka tasnya agak keburu, mengeluarkan telepon seluler yang layarnya masih menyala. Aku menoleh ke sekitar. Suasana masih mirip di stasiun sebelumnya. Poster-poster bergambar wanita cantik dengan tulisan berhuruf lokal terpampang di sana-sini.

“Ibu saya sakit,” kata Aryanti. Raut wajahnya meredup.

“Lho! Siapa yang ngabari?”

“Dari status yang ditulis seseorang.”

“Keluargamu?”

Aryanti menggeleng. Aku katakan berkali-kali, tak boleh ada yang tahu nomor selulernya. Bisa bahaya. Aryanti bilang hanya ada satu orang yang tahu nomornya. Dia tetap tak mau menunjukkan siapa dia. Pokoknya aman, katanya. Inilah yang aku khawatirkan. Dia memaksa membeli telepon genggam lagi. Katanya sekadar untuk membaca-baca berita. Ternyata selama ini dia juga menyembunyikan kartu telepon.

“Saya ingin pulang,” katanya.

Secepat kilat aku raih pergelangan tangannya. Aku pandangi wajahnya.

“Kamu seorang caddy, katamu peraturan di lapangan golf sudah ditentukan. Tak boleh main sendiri-sendiri. Ngerti kan maksudnya?”

“Rasanya seperti terkena fairway shot. Pukulan yang kuat dari jarak jauh.”

“Kita doakan semoga ibumu cepat sembuh.”

Kami berganti kereta Sukhumvit Line untuk transit melewati Ratchathewi, Phaya Thai, Victory Monument, Sanam Pao, Ari, Saphan Khwai, dan nanti turun di Mo Chit, sebelum melanjutkan perjalanan lagi. Aryanti tidak seceria tadi. Mungkin karena mendengar kabar ibunya sakit. Kacamata dan topinya kadang-kadang dibuka meski di tempat umum. Memang, meski namaya ramai dibicarakan di tanah air, sepengetahuan Aryanti, wajahnya yang muncul di media massa adalah foto masa lalu. Beberapa akun pribadinya di media sosial juga sudah lama dihapus, bahkan ada yang menghilang dengan sendirinya. Kalau ada lagi satu dua foto yang sempat muncul di kalangan terbatas, pastilah itu berasal dari akun teman-temannya, wajahnya juga bukan menjadi fokus utama.

Tiba di tempat perbelanjaan Aryanti tampak kurang semangat. Saat turun dari stasiun dia bilang pikirannya tersedot ke kabar soal ibunya. Acara tidak senyaman biasanya. Kami berhenti sebentar di dekat pintu masuk. Cuaca terasa panas. Orang-orang hilir mudik di depan mal. Aryanti menggandeng lengan kiriku dan mengajak masuk ke Century 21. Musik lembut mengalir, seiring dengan hawa dingin di dalam.

Tiba-tiba aku tersentak. Terdengar berondongan senjata dari luar, Teriakan-teriakan menyusul. Saat aku menoleh ke belakang, orang-orang tampak berlarian. Letupan-letupan senjata menggema. Aryanti kurangkul. Seorang lelaki berhelm dan berpakaian tentara menerobos masuk. Senapan panjangnya diberondongkan ke dalam. Tampak beberapa orang sempoyongan. Prajurit yang mengamuk itu berteriak lantang.

“Mereka kaya karena korupsi. Mengambil hak orang lain. Apa mereka pikir dapat mengambil uang untuk digunakan di neraka? Kematian tak terhindarkan untuk semua orang!”

Sambil memutar, lelaki itu memberondongkan kembali senjatanya. Teriakan-teriakan makin keras. Aryanti kudekap dengan lengan kiri. Kuajak berlari keluar sambil menunduk. Di belakang masih terdengar berondongan senjata. Seorang lelaki di dekat pintu tergeletak sambil merintih memegang perutnya. Aryanti ikut berteriak. Di halaman tampak ada mobil membuka pintunya. Tidak jauh dari situ ada orang tergeletak dengan bersimbah darah.

Aryanti kuajak berlari menjauh, Dia tersengal-sengal ketakutan. Aku tersentak. Ada darah keluar dari lengan kirinya. Tampak luka memanjang agak dalam di bawah siku. Kemungkinan besar terkena peluru. Kami berhenti di pilar jembatan penyeberangan. Cepat-cepat kubersihkan luka dengan tisu. Kutarik tali tas pinggang yang melilit. Kubebatkan melingkar di atas siku Aryanti. Semoga bisa menghentikan aliran darahnya.

“Kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini,” kataku. “Jangan sampai kita ikut jadi bahan berita.”

Dalam suasana kekhawatiran, untunglah kami bisa lepas dari insiden di Century 21. Aryanti kusuruh mengenakan jaket yang kubawa. Luka yang mengeluarkan darah di lengannya sementara teratasi. Perjalanan kembali ke hotel terasa lama dan jauh. Aryanti layu bersandar di tubuhku.

Dalam hitungan jam insiden di Century 21 telah menyebar di internet. Panglima Angkatan Darat mengeluarkan perintah agar pelaku yang diidentifikasi sebagai Sersan Mayor Jakapant Tomma itu segera dilumpuhkan. Dari kata-kata yang diucapkan saat mengamuk, aku menduga si sersan mayor itu jengkel karena korupsi yang terjadi, dan dia tidak puas dengan kondisi hukum yang ada, sekaligus tidak bisa mencegah. Atau, jangan-jangan dia juga sedang mengalami seperti aku sekarang?

Ternyata sebelum mengamuk di Century 21 si sersan mayor itu telah mengunggah foto-foto dan video dirinya dengan menenteng senjata di akun Facebook. Dia juga dikabarkan membawa lari kendaraan tentara, mengambil senjata di toko persenjataan dekat pangkalan militer. Dia juga telah melakukan penembakan di tempat-tempat lain. Diberitakan korban meninggal hingga kini ada belasan orang.

“Bapaaak … mengapa sampai begini???” keluh Aryanti di kamar hotel, ada nada menggetar. Dia menyandarkan tubuh di dadaku. Perlahan-lahan posisinya melorot. Aku menahannya agar tidak jatuh ke lantai. Aku sedikit membungkuk. Kutahan paha belakangnya dengan lengan kanan. Perempuan itu kuangkat dan kutidurkan di ranjang. Tubuhnya melemas seperti terong digoreng. Tergolek dalam posisi miring. Kuelus-elus punggungnya. Roknya bagian belakang menyingkap ke atas. Tampak urat-urat kecil kemerahan di pahanya. Punggung perempuan itu menyembul-nyembul kecil membarengi isaknya. Roknya yang menyingkap kuturunkan kembali.

Kulihat lengan Aryanti yang terkena peluru membengkak. Warna merah meradang di sekitarnya. Aku khawatir terjadi infeksi. Jika kubawa ke tempat pengobatan, jangan-jangan jati diri kami diumumkan dan menjadi bahan pemberitaan hingga menyebar ke tanah air. Rasa galau mengalir dalam diriku.Tubuh Aryanti perlahan aku rangkul dalam posisi miring. Kudekap makin rapat tubuh perempuan itu. Kudekatkan hidungku ke tengkuknya.

“Aku tak ingin kehilanganmu, Sayang ….”

Surabaya, akhir 2021

M. Shoim Anwar
Latest posts by M. Shoim Anwar (see all)

Comments

  1. Atin Reply

    Selalu terbaik, Bapak. Terus berkarya harumkan sastra Indonesia.

  2. Audi Reply

    Bagus sekali. Saya membaca saat sedang beristirahat dan ikut tenggelam dalam ceritanya. Sukses selalu

  3. Deaa Reply

    Mantap jiwa bagus sekali pak, sukses selalu Pak Shoim.

  4. Adinda Nirwasita Prameswari Reply

    Bagus sekali , selalu semangat💪

  5. Cak wit Reply

    Artikel ini mengingatkan saya pada, ex ketua Kpk Antasari Ashar yg telah direkayasa, dituduh membunuh.., dan ternyata sosok Caddy itu hanya Fiktif belaka.. Saya Salut dengan karya anda yg Semakin Melangit…👍🏻👍🏻👍🏻
    Salam Hormat saya untuk Anda mas Shoim Anwar…🙏🙏🙏

  6. Naning Reply

    Setting tempatnya bagus dan alur yang disajikan begitu melarutkan pikiran pembaca. Hingga terbenam semakin dalam, dan tidak terasa usai. Luar biasa. Selalu jadi idola.

  7. Yashinta nur z Reply

    Bagus sekali pak 👍

  8. Fadhil Hudaya Reply

    Ini benar2 menyenangkan

  9. Yulia Reply

    Wah emng karya Bapak selalu keren!!!

  10. Noviya Laila Reply

    Bagus sekali Pak. Karya Bapak selalu keren👍

  11. Annisa Reply

    Bagus sekali! Saya sangat menyukai diksinya

  12. Ridha Reply

    Bagus sekali karya Bapak, pemilihan katanya sangat indah dan tepat👍

  13. Alimatun M Reply

    Good bapak👍saya tertarik sekali bacanya

    • I G. A. Diah Citra Reply

      Tulisan yang sangat menarik dengan penyampaian alur yang runtut. Sangat menarik.

      • Ali Hamdan Reply

        Mantap pak, banyak imaji yg tak terduga, menarik ‘terong goreng’…semoga terus berkarya pak shoim

  14. Fafa Reply

    Mantap pak🔥

    • Septi Marlita Reply

      Bagus pak…. 👍👍👍
      Ceritanya menarik dan penuh inspiratif.

  15. Viktoria Reply

    Bagus sekali Pak, dari segi alurnya menarik sehingga membuat pembaca mudah memahami isi dari cerita.

    • Riska Reply

      Sangat bagus dan menarik👍…

  16. Mundari Reply

    Sek..sek…sekkk..
    Sebelum baca, aku ga kuat pingin komen dulu. Ya ampunnn Mas, njenengan luar biasa, seniman sejati yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Siapapun bisa nulis, tapi konsisten menulis, itu hanya milik personal. Luar biasa….
    Wwesss….tak nutukno moco yo Mas👍

  17. Faradibah Reply

    Bagus sekali pak, ceritanya menarik 👍👍

  18. Risma Reply

    Ceritanya sangat menarik 😊

    • PUTRI LESTARI Reply

      Ceritanya bagus sekali ☺️

  19. Yogha Reply

    Bagus sekali pak, sangat menarik

  20. Noviya Reply

    Bagus sekali👍

  21. Bintu Assyatthie Reply

    Keren sekali cerpennya, penuh ketegangan dari awal baca 😍😍😍

  22. Nabilur Rohman Reply

    Menarik🔥

    • M. Soewito Reply

      Cerita bagus tapi gaya bicara Ariyanti masih sama dengan Lelaki itu.

  23. NIKMATUL LAINI Reply

    Cerpennya kerenn❤️

  24. Badaruddin Reply

    Bagus sekali pa,..

  25. Lilis Reply

    Cerita yang mampu membuat hening, meski dalam keramaian. Definisi “senikmat” itu cerita ini untuk dinikmati.

Leave a Reply to Ridha Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!