Perempuan itu selalu terlihat baik-baik saja. Ia mengeringkan rambut panjang hitamnya dengan handuk kecil. Ia tidak pernah pakai alat pengering rambut. Tak ingin rambut indahnya rusak terpapar panas buatan itu. Tubuhnya menggigil. Pagi yang cerah sebenarnya, tetapi demam yang melandanya sejak semalam membuatnya kedinginan. Mestinya ia tidak boleh mandi, apalagi keramas. Namun apa yang sanggup dilakukan perempuan itu bila lelakinya mewajibkannya? Ia tahu, itu memang tugasnya.
Tubuh berbalut handuk itu masih menggigil. Bibirnya seperti tak dialiri darah. Tak ada rona merah alami yang dulu selalu mewarnai pipinya. Ia mendesah lirih. Bibirnya terkatup rapat, gemetar. Ada entah berapa banyak resah bersembunyi di sana. Ia bisa saja menyimpan resah di mata bening miliknya, tetapi tak mungkin matanya akan terpejam selamanya. Ia takut resahnya terbaca orang lain. Cukup ia menyimpannya sendiri.
Dilihatnya jarum pendek jam menunjuk angka enam. Disambarnya daster yang tergantung di belakang pintu kamar. Tugas lain sudah menunggunya. Suami dan anak-anaknya akan segera beraktivitas. Mereka butuh asupan gizi agar kuat menjalani kesibukan seharian. Bukankah tugas seorang istri dan perempuan menyiapkan menu bergizi untuk mereka? Ia segera berlari ke dapur. Sarapan harus sudah siap tiga puluh menit kemudian.
Kadang perempuan itu membenarkan candaan orang-orang dulu bahwa tugas seorang istri hanya berkutat di tiga tempat. Kasur, sumur, dan dapur. Selama ini ia coba ingkar. Sebagai perempuan cukup terpandang dan terpelajar, ia menentang pendapat bernada candaan tersebut. Baginya perempuan dan laki-laki hanya berbeda jenis kelamin, tetapi tak membedakan tugas mereka.
Siapa yang melarang laki-laki memasak? Bahkan saat ini, di restoran-restoran terkemuka, sebagian besar chef-nya adalah laki-laki. Siapa pula yang melarang perempuan jadi mekanik mobil? Tak ada. Mereka bisa, selagi mampu. Namun berbeda dengan perempuan itu. Ia harus rela melarung cita-cita masa kecilnya. Ia pasrah hanya menjadikan ijazah sarjananya sebagai pemanis map ijazah di lemari. Pekerjaan utamanya kini tak membutuhkan itu semua.
Ia sungguh resah. Merasa tak melakukan apa-apa, tetapi jiwa raganya lelah. Waktu pun bergulir tanpa ia sadari, layaknya orang yang sedang sibuk. Ah, bukankah ia memang sibuk? Pekerjaannya nonstop nyaris 24 jam.
“Ma, ini bajuku sudah disetrika, kan?” Sebuah teriakan yang sangat ia hafal. Ia bahkan bisa memprediksi setelahnya akan ada lagi pertanyaan di mana celana, sepatu, dan tas kerjanya. Perempuan itu tersenyum samar. Selain bibir yang terkatup rapat, senyumnya juga mampu menyembunyikan segala resah.
Hidangan sudah tersedia di meja makan. Kini saatnya melayani dua bocah dan bapaknya. Tubuh lincah itu segera melesat ke ruang tengah. Di depan sebuah lemari besar, didapatinya ketiga orang itu sedang kebingungan menentukan apa yang akan mereka pakai hari itu.
“Ini hari Senin, jadi Kakak dan Adik pakai seragam putih merah,” katanya tersenyum sambil mengangsurkan seragam yang sudah rapi tersebut. Dua tangan kecil menyambutnya.
“Ini pakaian untuk Papa.” Masih dengan tersenyum, diserahkannya pakaian untuk suaminya. Aman. Sepuluh menit kemudian, rumah itu berubah jadi sepi. Perempuan itu sendirian lagi. Seperti sebelum-sebelumnya. Ia akan melewati hari dengan memasak, mencuci, dan membersihkan. Lalu di siang hari, suami dan anak-anaknya kembali.
Perempuan itu selalu mengatupkan bibirnya. Ia membenamkan resahnya di sana. Kadang ia iri melihat teman-temannya yang heboh bercerita di media sosial tentang reuni mereka. Ia selalu menghindari pertemuan yang membahas masa lalu, karena pasti akan dibahas pula masa sekarang dan yang akan datang. Pernah satu kali dengan terpaksa ia ikut. Namun setelahnya bukan bahagia ataupun rindu ingin bertemu lagi dengan teman-teman yang dirasanya. Ia justru harus semakin kuat mengatupkan bibir. Sekali lagi, menyimpan resahnya di sana.
“Duh, ternyata bintang kelas kita sekarang hanya menjadi ibu rumah tangga.” Demikian komentar salah seorang teman SMA nya, diikuti tawa teman-teman yang lain. Hingga berbulan kemudian, kalimat itu masih saja menjadi beban pikirannya. Ya, mestinya ia tidak di rumah saja. Mestinya ia mengejar cita-citanya. Mestinya ia juga berkarier. Dan banyak lagi mestinya yang lain.
Suaminya bukan tidak peka. Lelaki yang sudah sembilan tahun menemaninya itu paham betul lekuk senyum istrinya. Ia tahu mana senyum tulus dan bahagia, mana senyum yang hanya menjadi pemanis. Apakah suaminya tak melakukan apa pun untuk meluruhkan resah istrinya? Selalu. Namun apalah daya seorang lelaki ketika perempuannya hanya menjawab, “Tidak ada apa-apa. Saya baik- baik saja.” Selalu seperti itu. Ia harus tetap baik-baik saja di depan suami, karena bingung harus mengeluhkan apa.
Perempuan itu terlalu tertutup. Ia lebih nyaman menyimpan resah di bibirnya dibanding di matanya. Mata itu selalu berbinar cerah. Tampak bahagia. Hampir tak ada yang tahu gejolak dalam hatinya. Tentu saja suaminya tahu, meski hanya secuil. Suaminya hanya tahu, ada resah yang selalu coba disembunyikan, tetapi ia tak pernah bisa tahu mengapa resah itu hadir.
***
Siang terik. Anak dan suaminya belum pulang. Sepi, tentu saja. Rutinitas harian yang meski telah dijalaninya bertahun-tahun, tapi tak kunjung menjadi sesuatu yang disenangi. Ia membenci rumah tanpa suara.
Bila sudah begitu, langkah gemulainya akan mengarah ke sebuah rumah sederhana beberapa ratus meter dari rumahnya. Di balik lapuk dinding rumah tua itu, ada sosok yang selalu membuat perempuan itu damai. Ibunya.
Aroma masakan tercium dari jarak sekian puluh meter. Perempuan itu melebarkan langkahnya. Sesekali tak menemani anak dan suami makan sepertinya bukanlah dosa. Dari ambang pintu, dilihatnya sosok perempuan tua sedang asyik di depan kompor. Perempuan paling penyabar yang pernah dilihatnya. Diperhatikannya tangan keriput itu memegang spatula. Dari samping, segaris senyum tampak menghiasi bibir pucatnya. Ibu tua itu belum menyadari kehadiran anaknya. Jarak mereka hanya enam meter.
Aroma ikan masak menguap di udara, mencipta sensasi tersendiri di dalam hati perempuan itu. Ibunya masih setia dengan lauk kesukaan suaminya, pun kini mereka sudah dipisahkan oleh takdir. Tak ada yang berubah. Senyum tulus itu masih nampak manis. Wajah cantik yang perlahan menua tetap berbalut sendu. Sorot matanya selalu menyimpan kesabaran. Perempuan itu menghapus air mata yang tiba-tiba menggenang. Ia tak mampu setegar ibunya, sementara ujian rumah tangga ibunya jauh lebih berat.
“Ayah akan pulang hari ini, Bu?” Perempuan itu akhirnya bersuara. Ibunya menoleh ke samping, melihat putri semata wayangnya berjalan mendekat.
“Mungkin.”
“Kalau belum pasti, kenapa Ibu memasak makanan sebanyak ini?”
“Karena hanya ayahmu dan Tuhan yang tahu kapan ia datang, maka tidak ada salahnya Ibu bersiap menyambut, supaya tidak kelabakan kalau mendadak ia datang.” Perempuan yang usianya jauh lebih muda itu mendesah lirih. Terbuat dari apa hati perempuan yang telah melahirkannya itu? Bukankah dalam sebulan ayahnya belum tentu pernah datang sekali?
“Jam makan siang begini, kenapa ke rumah Ibu?” Perempuan itu tertegun mendengar pertanyaan ibunya. Dengan sigap dihapusnya air yang mengalir di sudut matanya. Diukirnya senyum di bibir yang selalu cerah, menyembunyikan kepasian hidupnya di balik gincu merah menyala.
“Kangen Ibu,” jawabnya kurang yakin.
“Pulanglah!” Nada suara ibunya datar, tapi tegas, membuatnya segera berbalik menuju pintu depan. Terik semakin menyengat. Sudah pukul 13.00. Suami dan anak-anaknya pasti sudah di rumah.
Ia kembali ke rumahnya, menyusuri rutinitas. Anak-anak dan suaminya sudah menunggu. Setelah mengucap salam, langkah perempuan itu tertuju ke dapur. Ia harus segera menghidangkan makan siang.
“Tolong berhenti mengatupkan bibirmu, Sayang. Demi dirimu, aku, dan anak-anak.” Suaminya tiba-tiba saja sudah memeluknya dari belakang. Perempuan itu membalikkan badan, menatap suaminya tepat di manik mata kelamnya.
“Maksudnya?”
“Simpan resah di matamu, biarkan aku melihatnya dengan jelas. Bukalah bibirmu. Ungkapkan apa yang ada di hatimu, biar aku mampu membantumu tersenyum lepas.” Perempuan itu tersenyum.
“Aku baik-baik saja.” Lagi, untuk kesekian kalinya, kalimat itu mematahkan pembicaraan mereka. Suaminya menatapnya dalam, tepat di mata kejoranya. Mata itu bening, cerah. Tak ada resah. Suaminya tersenyum, dibalas anggukan kecil olehnya. Ia begitu lihai bersembunyi di balik bibir yang selalu merekahkan senyum manis.
- Perempuan yang Mengatupkan Resah di Bibirnya - 22 November 2019
Wahyudi
Duh, kesabaran perempuan seperti telaga bening tanpa riak, selalu sukses menyelami keadaan.
Anonymous
Keikhlasan dan cinta tak akan menimbulkan resah, ketulusan akan melahirkan senyuman tulus, untuk perempuan ini aku menitipkan sebuah kisah fatimah azzahra, putri nabi muhammad saw tercinta, kemudian sang nabi memberikan ” ya hayyu ya koyyum birahmatika astagizu aslihli sa’ni kullahu wala takilni illa nafsi torfatan ain. ”
….
Suci
Nice story
Anonymous
Keren Bu Mira.😁😁
Anonymous
yaah, namanya seniman kata2.
Anonymous
Namun diamlah saat wanita mulai “komat-kamit” karena membalasnya takkan ada solusi…
Anonymous
Perempuan dan kepura-puraannya selalu asyik dibahas.
Anonymous
Keren mbak Mira.
Yuni Bint Saniro
Tak banyak perempuan seperti itu di jaman sekarang ya. Menyimpan resah hanya untuk dirinya sendiri. Meski bukan berarti tidak ada sih. Hehehe
ame
sungguh menyentuh, entah kenapa sebagai perempuan saya sesak sendiri huhuhu
Rach
Wow wow. Saya yang laki-laki aja bisa membayangkan jika berada di posisi wanita itu.
Keren dah.. Simpel tapi ngena…m