Pergumulan Eksistensial dalam Puisi Biblis

Data Buku

Judul              : Pertarungan di Pniel

Penulis            : Cyprian Bitin Berek

Penerbit          : Perkumpulan Komunitas Sastra Dusun Flobamora

Cetak              : I, Maret 2019

Tebal              : 100 halaman

ISBN               : 978-602-51631-4-2

 

Pertarungan di Pniel

Menjelang subuh dia melenguh:

“Yakub! Yakub!

Sudah kau menang terhadap Allah.

Sudah kautaklukkan dirimu

ialah ketakutanmu sendiri.”

            Demikianlah kutipan salah satu bait dalam puisi “Pertarungan di Pniel”, karya Cyprian Bitin Berek. Puisi ini pernah dinominasikan untuk menerima Anugerah Kebudayaan 2006 untuk Media Massa dan Iklan dalam kategori “Puisi Terbaik Media Cetak” dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Sebagai puisi yang dipilih untuk menjadi judul kumpulan puisi ini, secara tertentu, kita dapat melihatnya sebagai sebuah medan magnet pemaknaan, yang daripadanya puisi-puisi lain dapat dicerap dalam skema pemaknaan tertentu.

            Ulasan ini akan bergerak dari kecenderungan umum puisi-puisi Cyprian yang berkiblat pada tradisi Yahwista sebagai salah satu tradisi yang meredaksikan Pentateukh (lima Kitab Taurat) dalam tradisi Alkitab Perjanjian Lama. Kecenderungan sastra dan teologi Yahwista yang sangat menekankan relasi personal dan akrab antara manusia dan TUHAN (YHWH) kiranya dapat dipostulatkan sebagai siasat Cyprian dalam mengelola kondisi psikologis para tokoh Perjanjian Lama yang hadir dalam puisi-puisinya. Selanjutnya, dengan bantuan filsafat Sren Kierkegaard tentang eksistensialisme dan subjektivisme iman, kita akan memeriksa secara umum kecenderungan Cyprian yang menghidupkan pergumulan batin para tokoh dalam puisi-puisinya untuk membangun suatu rekonstruksi narasi sebagai sebuah pergumulan eksistensial berhadapan dengan Tuhan.

Tendensi pada Tradisi Yahwista

            Kumpulan puisi Pertarungan di Pniel merangkum 51 puisi yang bertema biblis. Mayoritas puisi mengacu pada kisah-kisah dalam dunia Perjanjian Lama, terutama Kitab Kejadian (Genesis). Sedangkan beberapa lainnya adalah narasi dalam Kitab Keluaran, Imamat, Raja-Raja, hingga kisah Injil dalam dunia Alkitab Perjanjian Baru.

            Berdasarkan penelitian yang mendalam, para ekseget (ahli Alkitab) menyimpulkan bahwa sekurang-kurangnya ada empat tradisi yang terlibat dalam penyusunan Pentateukh (Kitab Taurat), yakni: Yahwista (Y), Elohista (E), Priester Codex (P), dan Deuteronomista (D). Masing-masing tradisi ini memiliki kekhasan literer tertentu dalam menyampaikan kisahnya yang menggambarkan relasi manusia dengan Tuhan. Semisal, dalam tradisi Yahwista, cerita-cerita yang dibangun dilukiskan dengan sangat bervariasi dan hangat. Tuhan digambarkan sangat antropormofistis, sehingga terkadang kehadiran Tuhan dikisahkan begitu personal dan terlibat langsung dalam pengalaman konkret manusia. Tradisi ini juga disebut Yahwista karena merujuk pada penamaan Tuhan yang disapa “YHWH”. Selain itu, ada juga tradisi Elohista yang merujuk pada penyapaan Tuhan dengan nama “Elohim”. Tradisi ini memiliki kekhasan literer yang agak pesimistis, dan menggambarkan Tuhan sangat transenden dan berjarak dari kehidupan manusia. Dua tradisi lainnya adalah tradisi Priester Codex atau tradisi Imam dengan corak penceritaan yang kaku, kronologis dan sistematis, serta tradisi Deuteronomista dengan gaya parenetis (nasihat).

            Puisi-puisi Cyprian pada umumnya merupakan puisi yang menghidupkan dirinya dari kisah-kisah dalam Kitab Kejadian. Narasi memang merupakan bentuk sastra yang utama dalam Kitab Kejadian. Hal ini kemudian berdampak pada posisi siasat berpuisi Cyprian yang menggunakan bentuk narasi. Bentuk cerita yang paling banyak terdapat dalam Kejadian adalah saga. Saga berasal dari tradisi lisan yang menggabungkan tradisi dan imajinasi. Saga menjelaskan mengapa sesuatu ada sebagaimana adanya (saga etiologis), mengapa sesuatu atau seseorang mempunyai nama tertentu (saga etimologis), mengapa suku-suku berhubungan dengan cara tertentu (saga etnologis), mengapa tempat-tempat atau tindakan-tindakan tertentu dianggap kudus (saga kultis), atau mengapa lokasi tertentu mempunyai ciri khas (saga geologis).

            Dalam Pertarungan di Pniel, mayoritas puisi mengacu pada teks Perjanjian Lama dengan tradisi Yahwista. Beberapa di antaranya, seperti: “Jam Terakhir di Eden”, “Adam 1”, dan puisi-puisi lainnya tentang Adam, “Kain 1”, dan puisi-puisi lainnya tentang Kain, “Seusai Pembunuhan 1”, “Seusai Pembunuhan 2”, dan lain-lain. Sangat sedikit jumlah puisi yang merujuk pada tradisi Elohista, seperti puisi “Abraham di Moria” dan tradisi Priester Codex, seperti puisi “Genesis”. Untuk puisi-puisi dari tradisi Elohista dan Priester Codex pun, direkonstruksi oleh Cyprian dengan gaya narasi yang lebih menyerupai tradisi Yahwista.

            Puisi “Pertarungan di Pniel” adalah salah satu puisi yang mengacu pada teks Kejadian 32: 22-33. Dalam terminologi semiotika intertekstualitas Riffatere, teks Kejadian 32:22-33 adalah hipogram untuk teks puisi “Pertarungan di Pniel”. Pada umumnya, Cyprian taat pada alur narasi pada teks Alkitab. Namun, ia menyelipkan detail-detail yang memberi suspensi pada narasi puisinya. Berhadapan kami kini./Napas kami memburu./Darah kami membusa./Tak mungkin terus menjadi pengecut.// (Bait ke-10)

            Yang menarik, Cyprian melakukan sebuah intralokasi (pemindahan lokasi ke dalam diri) terhadap lokasi pertarungan yang terjadi di tepi sungai ke dalam diri Yakub. Cyprian telah melakukan penafsiran baru terhadap teks dengan jalan pembatinan situasi pergumulan Yakub dengan Tuhan. Pertarungan dengan kuasa ilahi yang misterius dan menggetarkan (tremendum) direfleksikan secara baru sebagai pertarungan dengan diri sendiri. Pada bait terakhir, Cyprian menulis: Namun dengan gerak tak terduga/dipelocokannya sendi pahaku, pincang./Tapi sudah kukalahkan ketakutan/juga binatang di dalam hatiku.// Dengan siasat ini, Cyprian tetap mempertahankan refleksi akan kemahakuasaan Allah dengan penyubjekan lawan bertarung Yakub, yakni dirinya sendiri. Cerita ini adalah bentuk saga etimologis, karena nama kota Pniel diasalkan pada pergumulan Yakub dengan Tuhan (Ibr. פְּנוּאֵל; Pnuel dapat diartikan dengan “berhadapan muka dengan Tuhan”). Selain itu, juga merujuk pada bentuk saga kultis karena kejadian dipelocokannya sendi paha Yakub kemudian menjadikan bangsa Israel memegang peraturan pantang (kultis) bahwa mereka tidak boleh makan daging pangkal paha untuk mengenang paha Yakub yang terluka.     

Pergumulan Eksistensial

            Seorang filosof eksistensialis religus Sren Kierkegaard merintis pemikiran tentang pergumulan hidup manusia yang menjadikannya khas dan istimewa, terutama dalam kaitannya dengan relasi personal manusia dengan Tuhan. Dalam karyanya Concluding Unscientific Postscript, Kierkegaard berbicara banyak tentang relasi subjektif individu manusia dengan Tuhan. Menurutnya, manusia harus masuk sampai pada tahap iman sebagai subjektivitas. Ia mengkritik pola beragama waktu itu yang abai terhadap dimensi interioritas personal iman manusia dengan Tuhan dalam kebatiniahan (inwardness).

            Dalam skema eksistensialisme Kierkegard ini, puisi-puisi Cyprian dapat dibaca sebagai sebuah permenungan eksistensial berhadapan dengan narasi dalam teks-teks biblis. Cyprian memanfaatkan tokoh dalam Alkitab, seperti Adam, Kain, Yakub, Musa, dan lainnya sebagai tubuh yang memuat refleksi pribadi Cyprian berhadapan dengan pergumulan hidupnya. Jika diperiksa dengan teliti, kita akan menjumpai bagaimana pergumulan itu menjadi hidup dalam puisi-puisinya, khususnya berhadapan dengan negativitas pengalaman hidup.

            Puisi yang paling kuat mewakili pergumulan eksistensial adalah “Abraham di Moria.” Puisi panjang yang teridiri dari 18 larik ini mengeksplorasi sisi psikologis tokoh Abraham yang tengah bergelut dengan dilema keputusan berat dalam hidup, yakni cintanya pada Ishak dan ketaatannya pada Tuhan. Dalam teks Kejadian 22:1-19, sebagai hipogram puisi ini, kecemasan tidak hadir sebagai pergolakan batin Abraham berhadapan dengan perintah untuk mengorbankan Ishak. Menurut Kierkegaard, the missing thing dari kisah Abraham adalah kecemasan (anxiety) Abraham. Justru sisi kecemasan inilah yang dieksplorasi oleh Cyprian. Cypiran menulis: Siapakah diriku, Tuhan?/Apabila anakku tunggal Kauminta kembali/adakah kuasaku memahannya?/Bolehkah onggokan kayu/ membantah pematung/yang menjadikannya indah?/Tuhan, inilah mezbah airmataku./Mazbah kasih untuk-Mu.//

            Puisi-puisi lain pun mengeksplorasi sisi psikologis tokoh Alkitab yang tidak tertulis dalam teks Alkitab, seperti dalam seri puisi tentang tokoh Adam dan Kain, misalnya. Bahkan, puisi tentang kain mencapai 9 puisi, yang diinterpretasi dari pelbagai sisi yang tidak hadir dalam Alkitab. Puisi “Kain 5”, misalnya, menarasikan kisah tentang Kain dan istrinya, atau puisi “Romansa di Luar Eden” yang menarasikan hubungan intim Adam dan Hawa di luar taman Eden pascapengusiran mereka. Secara umum, puisi-puisi Cyprian memang mengeksplorasi pergumulan batin tokoh-tokoh Alkitab berhadapan dengan pengalaman iman mereka. Siasat ini akhirnya menjadikan puisi-puisinya tampak hidup dan akrab dengan pergumulan hidup kita sehari-hari.  

Puisi yang Sedang Mencari Bentuk

            “Di tangan Cyprian, sejumlah kisah Alkitab terasa hidup dan mencair kembali. Sungguh menarik bahwa ia memperlakukan teks-teks tua itu sebagai—meminjam sebuah frasa dalam salah satu sajaknya—‘puisi yang sedang mencari bentuk’,” tulis Joko Pinurbo di komentar sampul. Siasat narasi dan eksplorasi pergumulan batin para tokoh Alkitab menjadi jalan yang mendukung Cyprian untuk mencairkan kisah-kisah yang kaku dan tua. Ia berhasil mendekatkan pergumulan tokoh-tokoh Alkitab ke dalam Lebenswelt (dunia kehidupan) kita yang akrab.

            Namun, kekuatan ini seakan meredup dalam beberapa puisi, khususnya dalam puisi-puisi akhir yang diambil dari khazanah Injil. Mungkin pembacaan Cyprian berhadapan dengan kisah Injil terasa lebih halus dan taat pada kisah-kisah Yesus. Pada umumnya, puisi-puisi ini merunut pada alur kisah dalam Injil. Dalam puisi “Yeshua Ha Masiach”, terasa pergumulan eksistensial ditutupi oleh pengakuan iman yang besar pada sosok Almasih. Mungkin saja, hal ini adalah bentuk eksplorasi berpuisi dari Cyprian sendiri, mengingat dari segi usia penulisan, puisi-puisi terakhir ditulis pada tahun yang cukup berjarak dengan puisi-puisi sebelumnya.

            Membaca puisi-puisi Cyprian memungkinkan kita memasuki panorama kisah-kisah purba dan berjarak dalam Alkitab secara lebih akrab. Dengan merekonstruksi narasi-narasi dalam Alkitab, Cyprian tengah memberikan kepada kita jalan alternatif untuk menikmati pergumulan eksistensial para tokoh Alkitab secara reflektif dan penuh ketegangan psikologis-eksistensial. Kita seakan melihat diri kita sendiri yang tengah bergelut, entah sebagai Adam yang diam di hadapan percakapan Ular dan Hawa, sebagai Kain yang terbeban dosa, atau sebagai Yakub yang mengalami pergolakan batin dalam kesepian yang asali.

Giovanni A L Arum
Latest posts by Giovanni A L Arum (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!