Perihal Waktu: Mekanisme “Reaksi” yang Membentuk “Realitas”

perspektif-waktu
micahhanks.com

Ada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang muncul setelah membaca esai Nurr berjudul “Mematematikakan Realitas Waktu” yang dimuat Basabasi tempo hari (6 Oktober 2016). Pertama, apa itu realitas? Kedua, apa itu waktu? Lebih lanjut lagi, apakah waktu itu memiliki realitas dan dengan demikian eksis? Atau, apakah waktu hanya sekadar persepsi manusia terhadap fase-fase peristiwa?

Tanpa menjawab pertanyaan mendasar ini, sulit bagi kita melangkah ke pertanyaan berikutnya: apakah waktu mengalir? Jika tidak mengalir, apakah ia bersifat tetap? Jika mengalir, ke manakah arah panahnya? Lurus ke depan (linier), melingkar dan dengan begitu segala sesuatu bisa berulang, atau bisa berputar balik? Jika semua pertanyaan ini dianggap terlalu serius, saya mengajukan satu soal iseng saja: apakah waktu masih bernama waktu jika kita tidak memiliki jam atau pendulum untuk mengukurnya?

Apa itu Realitas

Realitas bukan perkara sederhana. Terlalu acap, realitas dimaknai sebagai sesuatu yang benar-benar ada, bukan imajinasi semata. Misal, situs Basabasi.co itu nyata, karena ia ada, bisa dilihat dan dibaca. Tetapi, apakah persepsi kita terhadap Basabasi.co juga sebuah realitas, masih menjadi perdebatan di kalangan filsuf. Apakah sesuatu yang berada di dunia abstrak, yang lahir dari hasil cerapan kita terhadap sesuatu juga sebuah realitas?

Jika demikian, realitas saya terhadap Basabasi.co beda dengan realitas Anda. Jika ada banyak persepsi, maka ada banyak realitas. Jika begitu, apa sesungguhnya realitas? Samakah ia dengan keberadaan? Atau bahkan Dasein ala Martin Heidegger? Diskursus tentang hal ini melahirkan beberapa teori realitas, di antaranya teori Berkeleyan dan fenomenologi.

Waktu, dalam hal ini, berada dalam tataran abstrak. Waktu bukanlah jam yang bisa kita lihat bentuknya dan dengar tiktaknya. Jika kita sepakat dengan Einstein bahwa waktu bersifat relatif (dan itu artinya tergantung pada persepsi setiap orang),  maka ada banyak realitas waktu di semesta ini. Akan berbedalah persepsi waktu seseorang yang sendirian menanti baksonya diantar pelayan dengan persepsi sepasang kekasih yang sedang menunggu bakso. Orang yang sendirian pasti kesal karena waktu tunggu 10 menit terasa sangat lama,  sementara sepasang kekasih takkan peduli kalaupun bakso mereka diantar sejam kemudian.

Apa itu Waktu

Pertanyaan mengenai eksistensi waktu membawa dua tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan dunia, Isaac Newton dan Gottfried Leibniz, ke dalam dua kubu yang berseberangan. Bagi Newton, waktu (dan juga ruang) semacam “kontainer besar” yang bisa menampung apa saja. Karena sifatnya sebagai kontainer, maka ruang dan waktu tetap ada meski objek-objek dan peristiwa di dalamnya tidak ada. Andaipun Peter Heinlen tidak menemukan jam atau Ibnu Yunus tidak menemukan pendulum, waktu tetap eksis. Ada atau tidak adanya ledakan big bang yang membuat benda-benda semesta terlempar ke segenap penjuru jagat, ruang dan waktu tetap ada. Tidak terpengaruh oleh kejadian pembentukan planet, ledakan supernova, tubrukan galaksi, dan kanibalisme lubang hitam. Dalam hal ini, ruang dan waktu adalah realitas. Nyata dan pasif.

Berkebalikan dengan Newton, Leibniz beranggapan waktu membutuhkan syarat agar bisa hadir. Syarat itu bernama objek. Argumennya sederhana, jika tak ada manusia yang melakukan sesuatu, maka masa lalu dan masa kini takkan tercipta. Walhasil, waktu bukan kontainer, ia adalah semacam reaksi. Pergerakan memicu hadirnya semacam gelombang. Gelombang inilah yang kita sebut waktu. Pada saat terjadi big bang, ruang dan waktu ikut tercipta sebagai reaksi atas kelahiran semesta. Waktu bertumbuh seiring pertumbuhan jagat raya. Dengan begitu, waktu ada jika objek ada. Jika objek tak ada waktu bukan lagi sebuah realitas. Dalam realitas yang seperti ini, waktu berjalan linear, tidak melingkar apalagi melompat.

Pendapat ini mendominasi ranah fisika dan filsafat hingga zaman modern. Dan, meski bagi Newton waktu seperti kontainer, ia juga sepakat bahwa waktu itu linear. Pendapat ini tak kurang-kurang dianut Rene Descartes, Spinoza, Thomas Hobbes, John Locke, dan Immanuel Kant.

Aliran Waktu

Jika kita sudah memahami realitas dan waktu, kita sampai pada pertanyaan berikut: apakah waktu mengalir? Jawabnya, ya, berdasarkan teori Leibniz. Mengalir ke mana? Inilah yang perlu dikuak jawabannya. Apakah waktu mengalir ke satu arah atau ke berbagai arah?

Untuk menjawab ini, ada baiknya mula-mula kita membaca pemikiran Leibniz.  Baginya, waktu mestilah berjalan linear alias satu arah, sebab waktu merupakan ukuran sebuah pertumbuhan. Bahkan keanomalian hidup Benjamin Button, tokoh F. Scott Fitzgerald dalam cerpen The Curious Case of Benjamin Button, juga berjalan linear. Saat manusia lain bertumbuh dari muda ke tua, Button malah lahir sebagai orang tua dengan penyakit osteoporosis, lalu tumbuh menjadi orang dewasa, kemudian remaja dan mati sebagai bayi. Meski realitas waktu dalam diri Benjamin Button berbeda dari umumnya manusia, tapi yang jelas ia pun berjalan secara linear.

Argumentasi Leibniz tentang linearitas waktu sangat sederhana. Menurutnya, A pasti terjadi sebelum B. Jika B kemudian pindah posisi ke sebelum A, maka A sudah pasti tidak ada. Akibat tidak mungkin mendahului sebab. Dalam tamsil lain, jika Anda lahir sebelum ibu Anda, sudah pasti ibu Anda tidak ada.

Dalam pandangan Leibniz, waktu tidak mungkin berputar balik atau melompat, karena waktu bukan kendaraan yang bisa mengantar kita ke mana saja. Waktu sebatas reaksi. Einstein pun setuju dengan pendapat ini. Manusia memang bisa melompati waktu, tapi itu terkait dengan kecepatan dan gravitasi. Semakin lemah gravitasi, semakin cepat waktu berlalu.

Misalnya begini, astronot A pada usia 20 tahun  mulai menempuh perjalanan sejauh 100.000 tahun cahaya menuju ujung galaksi Bimasakti, dalam pesawat luar angkasa (dan itu artinya ia mulai menjauhi gravitasi bumi dan benda langit lainnya). Ia pergi meninggalkan putrinya yang baru berusia setahun. 25 tahun kemudian sang astronot kembali. Apakah ia akan menemukan putrinya yang sudah berusia 26 tahun? Jawabnya tidak. Ketika sang astronot menjauhi gravitasi bumi, waktunya dengan waktu bumi tidak lagi koheren. Waktu berjalan lebih cepat bagi sang astronot. 25 tahun dalam versi astronot, bisa jadi 100 tahun waktu versi bumi. Kalau anaknya masih hidup, ia akan menemukan seorang nenek berusia 101 tahun. Ia lebih muda ketimbang anaknya sendiri. Ilustrasi begini pernah diangkat dalam sebuah film menarik, “Instellar”.

Dalam ilmu fisika, hal ini disebut dilatasi waktu gravitasi. Memang masih dalam teori, tapi teori ini sudah lulus uji teori relativitas umum. Artinya, bisa dibuktikan dalam kenyataan.

Ada beberapa argumen logika mengapa perjalanan waktu secara fisik itu sulit terjadi. Misalnya, jika A kembali ke masa lalu, kemudian tanpa sengaja A membunuh kakeknya sendiri saat sang kakek belum punya anak, maka A tak mungkin ada, dan tak mungkin pula melakukan perjalanan waktu untuk melakukan itu. Atau, Jika A pergi ke masa kecil ibunya, lalu tanpa sengaja A mati tertabrak kereta, maka A mustahil ada. A tak mungkin mati sebelum lahir.

Tentu ada argumen lainnya yang lebih bersifat metafisis. Jika waktu bisa diputar balik, berarti dosa bisa dinasakh. Seseorang yang sudah melakukan korupsi, begitu tahu akan dihukum gantung bisa kembali ke masa lalu. Ia tidak akan korupsi, dan dengan begitu, ia tak dihukum gantung dan tak memiliki dosa korupsi. Apakah itu mungkin? Jika ya, konsep surga dan neraka menjadi tidak relevan, begitu juga surah al-‘Ashr. Tak akan ada manusia yang merugi. Sebab, mereka bisa memutarbalikkan waktu untuk keuntungan sendiri.

Jika Begitu, Apakah “Time Travel” Tidak Mungkin?

Tentu saja, tetap ada peluang untuk melakukan time travel. Yang paling mungkin menurut teorinya adalah, kembali ke masa lalu, sebab masa lalu sudah tercipta, sementara masa depan belum ada. Waktu berkait erat dengan aksi. Jika aksi belum terjadi, menurut teori Leibniz, mustahil masa depan tercipta. Peluang ini ditemukan oleh matematikawan Kurt Godell pada tahun 1949.

Sebelumnya, dalam persamaan-persamaan matematis Newton dan teori relativitas khusus Einstein, didapat teori bahwa perjalanan melompati waktu entah ke masa lalu atau masa depan tidak mungkin, sebab waktu bersifat satu dimensi, bukan dua dimensi. Tetapi Godell menemukan adanya kemungkinan lain setelah mengoprek-oprek persamaan matematis relativitas umum Einstein (bukan relativitas khusus). Menurut teorinya, hal itu berpeluang terjadi. Namun, ia punya kabar buruk. Manusia hanya bisa kembali ke masa lalunya sendiri. Hanya bisa melintasi waktu yang pernah mereka lintasi. Itu artinya, keinginan untuk mundur ratusan bahkan ribuan tahun ke masa lalu untuk melihat kegantengan Nabi Yusuf atau kecantikan Cleopatra secara teori belum bisa terwujud. Sebagaimana benda langit, manusia pun memiliki garis edar sendiri. Adalah tidak mungkin lintasan seseorang kelahiran 80-an bertemu dengan lintasan Marilyn Monroe.

Maya Lestari Gf

Comments

  1. Ibee Reply

    Keren ui…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!