Setelah berkali-kali tertunda, sore itu kami benar-benar sowan ke rumah Ahmad Tohari. Rumahnya tepat berada di sisi utara Jalan Nasional, Jatilawang. Seketika sampai, segera yang muncul di kepala adalah bayangan sebuah latar sebuah cerpen sufistik yang ditulis sang maestro, “Wangon-Jatilang”. Saya membayangkan sosok Sulam yang dengan logikanya ingin menunda Lebaran itu. Saat saya melihat pangkalan becak tepat di depan rumahnya, sekali lagi saya menemukan realitas-realitas dunia yang koheren dengan realitas fiksi gubahan Ahmad Tohari.
Personalitas
Kami disambut dengan hangat oleh tuan rumah di teras depan, sementara sisa-sisa hujan masih belum kering dari dedaunan yang membuat hijau halaman rumah. Memang, hari itu hujan turun hampir sepanjang hari, gejala alam yang khas menunjukkan puncak musim hujan. Halaman rumah hanya tanah berlapis kerikil halus, di beberapa bagian ditumbuhi rumput. Meski berhadapan langsung dengan Jalan Nasional, hanya pepohonan saja yang memagari rumah.
Sederhana, begitulah personifikasi yang paling tepat untuk mendeskripsikan sosoknya. Kepada pria berpeci hitam dan berkaus warna gelap dengan aksen garis horizontal, kami menyampaikan maksud tujuan. Sejak awal tahun, kami memang sudah intens berkomunikasi untuk meminta kesediaan Ahmad Tohari menjadi pembicara dalam sebuah kegiatan. Kami mengundangnya dalam kapasitas sebagai budayawan penginyongan (Banyumas).
“Saya ini, punya aliran yang lain. Aliran saya tanpa pengikut.” Itu kalimat pertama yang disampaikannya setelah memastikan kesediaan untuk hadir dan menjadi pembicara. Tak lupa, memungkasi setiap pernyataan dengan sebuah tawa yang khas.
Tak mau kalah, saya menimpali, “Justru, kami bertiga datang untuk menjadi pengikut aliran itu.” Tanpa komando, semua orang bergelak.
Setelah dibuat terkagum-kagum dengan pandangannya tentang kesenjangan generasi millenial dengan generasinya dalam menentukan kriteria norma-norma, Ahmad Tohari menyebut apa yang mendasari pemikirannya adalah apa yang dia temukan pada dirinya dan cucunya. Dia melanjutkan, tugas mendidik menjadi begitu berat karena diperlukan visi yang integral: anak akan hidup pada masa yang akan datang, bukan pada masa pendidikan itu dilaksanakan.
Mulanya, saya sempat terkejut. Bukan karena substansi pembicaraan, melainkan bahasa yang digunakannya. Sejak awal, kami sadar akan bertemu dengan polisi bahasa Penginyongan. Untuk itu, kami mempersiapkan diri untuk berkomunikasi dengan bahasa dialek khas Banyumasan. Bukan tanpa alasan, dialek penginyongan memang menunjukkan gejala semakin ditinggalkan masyarakatnya, terutama di daerah perkotaan seperti Purwokerto yang notabene secara administrasi masuk dalam wilayah Banyumas. Di luar perkiraan kami, Ahmad Tohari berbicara dengan bahasa persatuan itu sekaligus dengan luwes menyisipkan kosakata-kosakata Penginyongan yang tak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia.
Kami terkejut, tapi lebih tepat disebabkan rasa lega. Kami, yang semestinya menjadi penghubung generasi yang mewariskan nilai-nilai tradisi, merasa tak kuasa. Kami yang tinggal di tengah keramaian Purwokerto telah dipaksa melupakan karakter cablaka yang menjadi ruh budaya Banyumasan, yang konon tercermin dari bahasanya. Ya, kami yang di kota tidak kuasa bersikap kritis pada rezim yang alpa dan atau infiltrasi budaya populer yang mencerabut kami dari akar cablaka. Kami tak lagi dapat memahami hakikat egaliter dalam bahasa penginyongan yang genuine.
Spiritualitas
Pembicaraan kami beranjak ke topik lain, politik. Tentu bukan untuk menanyakan kami harus pilih nomor berapa. Kepada kami, Ahmad Tohari mengaku sudah didatangi tiga orang calon legislator. Dia percaya, setiap pekerjaan memiliki dua potensi sekaligus, sebagai jalan ibadah (kebaikan) sekaligus neraka (kerusakan). Intinya, katanya, harus tahu dulu tujuan. Lanjutnya, kepada mereka yang datang, dia selalu ditanyakan: apakah sudah membaca pembuka Undang-Undang Dasar ‘45 dan tahu apa cita-cita kemerdekaan? Di sanalah, katanya, letak guidance itu. Ahmad Tohari mengungkapkan kekecewaannya kepada mereka yang tak bisa menjawab apa yang ditanyakannya.
Dia mengkritisi realitas bangsa yang religius, namun kering spiritualitas. Dia mencontohkan kasus korupsi yang menjerat sejumlah tokoh elite nasional. Sebagai kata kunci, dia mengatakan, kalau menghendaki menjadi pemimpin, seseorang mesti punya watak ora gumunan. Orang yang masih tergiur dengan segala hal yang bersifat material berarti bukanlah seorang negarawan, sebuah syarat penting untuk menduduki posisi penting di lembaga eksekutif dan legislatif.
Waktu menunjuk malam segera datang. Pembicaraan hampir sejam terasa terlalu singkat. Kami pamit setelah berfoto. Meski sudah dalam kendaraan yang melaju makin menjauh dari rumah Ahmad Tohari, pikiran kami masih belum mau beranjak dari Jatilawang.
Saya terus terngiang dengan kata-kata ampuhnya yang membuat saya merinding, “Jangan panggil saya kiai. Doakan saya sehat, karena umur saya sudah 71, sering kali kalau malam sulit tidur, tapi setelah tidur kepala jadi sakit. Selama saya mampu, saya ingin bermanfaat.”
Saya membayangkan, Ahmad Tohari adalah pohon pisang yang menolak mati sebelum berbuah. Tak diragukan, semua yang ada pada pohon pisang, mulai dari tunas, batang, daun, bunga, hingga buahnya dapat dimanfaatkan manusia.
Sebagai bukti sahih dan autentik, kami menyempurnakan kebahagiaan kami dengan membuktikan kelezatan ayam margasana yang mahaampuh itu.
- Manusia Ironi dalam Air Mata Manggar - 27 July 2019
- Personalitas dan Spiritualitas Ahmad Tohari - 20 February 2019
- Baturraden dan Mitos Putus Cinta yang Mulai Terlupakan - 22 February 2017
Aghnia.ilma
Love
Anonymous
sehat terus, Pak. Amin
diah
kami tunggu karya karya lain .. pak guru yang masih bercita _cita jd penulis..padahal tulisannya dah banyak
Anonymous
suka…
Anonymous
Anda layak menjadi seorang mufti