Pemerintah dan perusahaan lumrah bersekutu. Mereka bertema dalam mengejawantahkan program-program besar. Tema dirancang dengan rapat-rapat dan pencantuman tanda tangan di pelbagai dokumen. Tema dibeberkan ke pelbagai pihak, berharap turut terlibat. Tema memiliki seribu sisi untuk persekutuan besar. Perusahaan, komunitas, dan dinas memiliki kemungkinan bergabung. Tema membenarkan pengeluaran anggaran atau pembuktian ada kerja bareng. Kerja itu kolosal!
Di Solopos, 16 Mei 2018, berita kecil mengenai sepeda. Perusahaan besar bernama P, produsen sepeda terkenal dan laris, menggagas gerakan Indonesia bersepeda. Gagasan sudah bertema apik dan melibatkan jutaan orang seantero Indonesia. Gerakan itu memberikan sokongan ke program Gowes Nusantara, program unggulan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Konon, Presiden bakal mengesahkan 18 November 2018 sebagai Hari Bersepeda Nasional. Tema-tema buatan perusahaan dan pemerintah lekas bermufakat dengan publik. Semua bersumber sepeda atau pit. Pembuatan Gowes Nusantara dan Hari Bersepeda Nasional jangan dianggap kerja sepele. Semua itu bertumpu pemikiran-pemikiran serius dan diputuskan dengan seribu pertimbangan mengelak dari sekarung ragu.
Indonesia ingin bersepeda! Di kejauhan, kita pernah mendapatkan berita ada negara “sangat” bersepeda. Negara itu bernama Belanda. Dulu, Belanda pernah ingin memiliki Indonesia. Pada abad XX, pemerintah kolonial Belanda mengenalkan sepeda dalam kerja birokrasi, pelesiran, ketertiban, perniagaan, dan pendidikan. Benda itu dikenalkan dalam bahasa Belanda: fiets. Orang-orang di tanah jajahan menggampangkan pengucapan: pit.
Pada abad XXI, Belanda tercatat sebagai negara berkelimpahan pit alias kereta angin. Jumlah pit melampaui jumlah penduduk. Mereka keranjingan mengendarai pit dalam pelbagai keperluan. Di negeri kincir angin, kereta angin itu idaman sepanjang masa. Laporan panjang mengenai negeri pit disajikan di Tempo, 17 Oktober 2010. Sejarah bersepeda pasang surut. Belanda memang tetap menempati posisi negara pesepeda nomor satu, sulit tergantikan. Indonesia “mustahil” merebut posisi Belanda.
Pada masa 1950-an sampai 1970-an, jumlah pengendara pit sempat turun. Orang-orang tergoda kemolekan dan kecepatan sepeda motor. Mereka ingin manja sambil membuang asap di sepanjang jalan. Sejarah berubah lagi pada masa 1970-an bereferensi politik. Sekian partai politik berhaluan sosialis memenangi pemilihan umum di kota-kota Belanda. Kaum politik berkhotbah ingin mencipta kota ramah. Pit itu jawaban. Orang-orang bersepeda lagi ketimbang boros bahan bakar dan mengotori kota dengan asap. Berita dari Belanda itu menakjubkan. Di Indonesia, orang bersepeda di jalan-jalan justru mirip tanda seru jarang sedap dipandang mata-mata berpaham asapisme.
* * *
Di buku berjudul Tataran II susunan R Wignjadisastra, terbitan JB Wolters, 1950, mata kita melihat gambar sepeda. Gambar itu bercerita khas desa. Pada suatu pagi, Darma mengajak Kuntjung belajar naik sepeda. Ukuran sepeda tampak besar. Dua bocah bakal mengalami kesulitan. Jatuh dan jatuh itu kelaziman menghasilkan luka di tubuh. Bocah belajar naik sepeda tanpa jatuh teranggap belum sah. Kemenangan adalah raga berhasil berada di sepeda dan melaju di jalan sambil mata jelalatan. Pit itu kegirangan atau penghiburan di jalan-jalan desa belum beraspal.
R Soekardi di buku berjudul Sinar II, terbitan JB Wolters, 1950 turut memuat cerita pit dan bocah. Pit pun alat transportasi demi membahagiakan si adik. Salim melihat adik telah menderita sakit selama enam hari. Salim telanjur berjanji bakal menghadiahi kambing jika si adik sembuh. Janji harus dipenuhi! Salim bersiasat agar si adik tetap mendapatkan kambing. Di desa jauh, tempat tinggal paman, jawaban mungkin diperoleh. Salim berpamit pada ibu mau dolan ke rumah teman. Pamit agak berbohong. Salim menuju rumah Talib, bermaksud meminjam sepeda untuk pergi ke rumah paman. Sepeda berhasil dipinjam asal Salim hati-hati.
Soekardi memberikan deskripsi: “Sekali-sekali ia turun dari kereta angin itu, djika dilihatnja djalan itu berbatu-batu. Demikian djuga, kalau banjak pedati dimukanja dan ada mobil jang hendak meliwatinja. Ada kira-kira sedjam ia didjalan. Girang benar hatinja, tatkala tampak olehnja dari djauh rumah pamannja diantara pohon-pohon kaju dan pohon-pohon kelapa.” Capek mengendarai kereta angin atau pit atau sepeda agak tertebus berjumpa paman. Pit pinjaman turut memenuhi jawaban pemberian hadiah berupa kambing. Pada paman, Salim bercerita dengan maksud meminta kambing peliharaan paman. Ia sudah bersepeda dari jauh demi kambing. Paman memberi seekor kambing kecil. Cerita berakhir tanpa deskripsi Salim pulang memboncengkan kambing. Roekardi mungkin tak tega bercerita Salim naik-turun kereta angin sambil mengurusi kambing.
Dulu, pit itu hadiah. Orang tua kadang memberi hadiah sepeda. Hadiah untuk nilai-nilai saat kenaikan kelas. Bocah bermimpikan sepeda. Hadiah pit termasuk mahal. Ikhtiar mendapatkan pit mengondisikan bocah berilmu di sekolah. Bocah bernama S Harjati menggubah puisi saat berada di Amsterdam. Puisi berjudul “Naik Kelas” dimuat di majalah Kunang-Kunang edisi 10 September 1951. Puisi berisi percakapan ibu dan bocah.
Aku naik kelas lima
Aku senang tak terhingga
Dengan girang pulang aku
Dirumah menanti ibu
Ibu, naik kelas aku!
Tak banggakah ibuku?
Ibu, aku telah besar
Kelasku tinggi benar!
Bu, apa kudapat kini?
Ibu dahulu berdjandji:
Bila naik kelas, nanda
Barang bagus kauterima
Ja, nanda, memang begitu
Ibu berdjanji dahulu
Segera kami kekota
Pilihlah sebuah sepeda!
Bocah membuktikan telah menunaikan belajar: beres dan berhasil. Hadiah patut diterima secara ikhlas. Pada hari libur, bocah pun bersepeda. Ia mengendarai impian, menggenjot diri menuju kegirangan. Harjati tentu menginginkan sepeda-perempuan. Harjati tak elok jika mengendarai pit seperti pilihan Darma, Kuntjung, dan Salim.
Di majalah Minggu Pagi edisi 12 Oktober 1952, redaksi membuat pengumuman bahwa Minggu Pagi turut dalam Pasar Malam Jogja. Pihak majalah mengadakan tebakan bagi pelanggan dan pembeli. Hadiah menggiurkan: “Sepeda-wanita, 100% baru, merek Juncker. Compleet dengan lentera, kettingkast, bagage-drager. Rupanja sungguh menarik.”
Di Minggu Pagi, orang-orang memiliki duit bisa membeli sepeda ke toko. Dulu, toko sepeda termasuk bisnis menghasilkan laba besar. Iklan di majalah Minggu Pagi dari Toko Sepeda Tjong & Co, beralamat di Gondomanan 9, Jogjakarta. Isi iklan bersanding gambar sepeda-lelaki: “Selalu menjediakan sepeda-sepeda matjam-matjam merk terkenal untuk lelaki dan perempuan. dan sedia alat-alatnja komplet. Harga memuaskan!” Iklan itu acuan bagi orang-orang ingin membeli sepeda. Kita tak mengetahui cara pembelian tunai atau kredit.
Pada masa 1950-an, bocah bersepeda tampak bergairah. Keringat dan lelah bukan perkara buruk. Bocah dan sepeda sudah bersekutu mencipta hari-hari bergelimang arti. Bocah tak terlalu berpikiran sepeda gampang dijadikan metafora dan perseteruan ideologi, setelah keberakhiran Perang Dunia II.
* * *
Pada masa Orde Baru, sepeda sempat jadi metafora pinjaman dari pemikir-pemikir sosialis asal Amerika Latin. Metafora itu turut diwartakan Arief Budiman dalam artikel berjudul Sosialisme Datang Naik Sepeda, dimuat di majalah Tempo edisi 15 Juli 1978. Artikel dikerjakan saat Arief Budiman menempuh studi di Amerika Serikat. Barangkali kita sudah melupakan artikel mengandung sindiran dan kritik atas lakon pembangunan di Indonesia. Arief Budiman mencomot dari kutipan milik Ivan Illich. Kalimat terucap oleh orang Chile, digunakan Ivan Illich membahas nasib sosialisme masa 1970-an: El socialismo peude ilegar solo en bicicleta. Terjemahan ke bahasa Indonesia: “Sosialisme cuma bakal tiba dengan bersepeda.”
Kalimat mencengangkan digunakan untuk menampar nafsu negara-negara besar menghamburkan energi melalui alat transportasi canggih. Kota-kota di Eropa, Amerika, dan Asia sesak oleh mobil, sepeda motor, dan bus. Kecepatan dan kementerengan mengakibatkan pemborosan energi dan merusak tatanan alam. Janji kapitalisme datang cepat dan kolosal. Celoteh mengenai sosialisme datang bersepeda itu menampar mimpi besar dunia. Indonesia pun mengalami puja teknologi transportasi berasap melalui bantuan-bantuan dari negara-negara dan lembaga-lembaga dunia.
Jalan-jalan beraspal dibangun demi kelancaran pertumbuhan ekonomi. Konon, jalan mulus menentukan pendapatan uang berlimpahan. Indonesia menjelma negara bising dan berasap. Orang-orang dianjurkan meninggalkan sepeda, berganti ke alat transportasi bermesin demi raihan kecepatan. Sepeda mungkin dituduh mengganggu pembangunanisme. Di ujung artikel, Arief Budiman malah membuat sindiran tambahan dan telak. Orang-orang Indonesia mulai enggan membeli sepeda. Di kota-kota, mereka memilih membeli mobil. Kalimat paling akhir: “Sosialisme harus datang dulu, baru sepeda.”
Pada masa Orde Baru, sepeda di jalan sering terpinggirkan akibat nalar modernisasi. Jalan-jalan beraspal milik mesin-mesin bersuara keras dan berasap, bukan milik sepeda. Pembuatan metafora sepeda dalam lakon-lakon pembangunan di Amerika Latin, Asia, dan Afrika mungkin lelucon gagal membuat Soeharto tertawa. Penguasa melihat sepeda itu lambang kemiskinan, kelambatan, dan kelelahan. Pembangunan perlu cepat dan tangguh. Indonesia ingin bergerak cepat, melaju tanpa kaki menggenjot pedal ribuan kali.
* * *
Misi pemerintah mengadakan Hari Bersepeda Nasional. Kepekaan perusahaan produsen sepeda memberi dukungan penuh mengesankan cumbuan mesra. Sepeda berada di janji-janji mutakhir mengajak jutaan raga berkeringat dan waras. Sepeda-sepeda ingin menggantikan candu sepeda motor atau mobil setiap hari. Asap-asap tak ingin disemburkan ke pohon-pohon dan menodai kota.
Album baru bersepeda dikerjakan serius menjelang akhir 2018. Album itu mungkin sesak iklan, pidato, dan foto. Kita agak ragu berlangsung penulisan cerita-cerita atau biografi bersepeda, dari masa ke masa. Album cerita atau biografi tak perlu menjiplak dari buku-buku bacaan bocah masa lalu. Penulisan-penulisan baru patut dikerjakan sambil menikmati tetesan keringat sepanjang jalan. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022