Judul Buku : Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme dan Negara di Indonesia
Penulis : Edward Aspinall dan Ward Berenschot
Penerjemah : Edisius Riyadi
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun terbit : Cetakan I, 2019
ISBN : 978-602-433-741-4
Tebal : 433 + xiv
Sebagai orang Indonesia, kita kerap bangga dengan klaim bombastis ihwal capaian negara kita dalam hal pratik berdemokrasi. Kita kerap bangga dianggap sebagai negara muslim terbesar di dunia yang berhasil mempraktikkan demokrasi. Kita juga kerap bangga dianggap sebagai bangsa yang mampu bertransformasi dari sistem pemerintahan otoriter ke sistem demokratis hanya dalam waktu dua puluh tahun.
Namun, agaknya kita justru alpa melihat lebih detail bagaimana sebenarnya demokrasi itu kita praktikkan. Sudahkah kita mempraktikkan demokrasi secara esensial, dan berdampak positif pada terciptanya pemerintahan yang bersih? Atau sebaliknya, kita justru masih terjebak pada pratik demokrasi prosedural yang berorientasi semata pada kekuasaan dan raihan elektoral?
Buku berjudul “Democracy For Sale: Pemilu, Klientelisme dan Negara di Indonesia” yang ditulis oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot (edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Edisius Riyadi) ini mengetengahkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Melalui penelitian lapangan yang dilakukan di nyaris seluruh wilayah Indonesia, Berenschot dan Aspinall menyigi salah satu praktik menyimpang dalam demokrasi kita, yakni masifnya politik transaksional dalam penyelenggaraan demokrasi elektoral, baik di lingkup legislatif maupun di eksekutif.
Berenschot dan Aspinall menyebut, demokrasi elektoral Indonesia digerakkan oleh corak politik klientelisme. Dalam leksikon ilmu politik dimaknai sebagai kondisi ketika para pemilih, pegiat kampanye, atau aktor-aktor lain menyediakan dukungan elektoral bagi politisi dengan imbalan atau manfaat material. Praktik klientelisme ini umumnya digunakan para politisi untuk memengaruhi sekaligus memobilisasi suara massa dengan tujuan memenangkan pertarungan politik elektoral, baik di ranah eksekutif maupun legislatif.
Klientelisme sebagai sebuah strategi pemenangan elektoral, terbilang merupakan hal yang lazim dilakukan oleh para aktor politik praktis. Namun demikian, corak klientelisme yang dipraktikkan di Indonesia cenderung berbeda dengan apa yang dipraktikkan di sejumlah negara-negara demokrasi lainnya. Sebagai perbandingan, Berenschot dan Aspinall membandingkan praktik klientelisme Indonesia dengan India dan Argentina. Dipilihnya dua negara ini sebagai pembanding Indonesia tentu bukan tanpa alasan. Argentina dan India memiliki kesamaan dalam sejumlah variabel dengan Indonesia, terutama dalam konteks perkembangan demokrasi.
Di India, praktik klientelisme dalam politik umumnya mewujud dalam relasi klientelistik antara partai politik dan konstituen dimana para pengurus partai kerapkali bertindak sebagai “juru beres” bagi semua persoalan sosial yang dialami publik. Kerja nyata dan langsung seperti itulah yang membentuk keterikatan antara partai dengan massa.
Manifestasi politik klientelisme di Argentina pada dasarnya sama dengan apa yang terjadi di India. Bedanya, di Argentina sejumlah parpol memiliki akses dan kekuatan untuk melakukan penetrasi teritorial tingkat tinggi. Mesin partai yang demikian kuat tertanam dalam kehidupan publik, membuat parpol di Argentina bisa dengan mudah menekan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan dan pro-rakyat. Dari situlah parpol-parpol di Argentina berupaya meraih suara publik.
Di Indonesia, corak klientelisme yang dipraktikkan cenderung berbeda. Posisi dan peran parpol dalam menyelesaikan problem sosial publik yang cenderung lemah menyebabkan munculnya fenomena deparpolisasi. Di satu sisi, parpol gagal menjalankan fungsinya sebagai lembaga politik milik publik dan tersandera oleh kepentingan oligarki segelintir elite. Di sisi lain, kepercayaan publik pada parpol juga menurun drastis. Dalam konteks politik elektoral, baik Pilpres, Pilkada, maupun Pileg, elektabilitas acap kali tidak dipengaruhi oleh variabel parpol, alih-alih kekuatan figur atau ketokohan kandidat. Gejala emoh partai ini dengan mudah dapat diidentifikasi dari rendahnya party-id (identitas keanggotaan partai politik) yang ironisnya juga berbanding lurus dengan tingginya angka golput pada tiap penyelenggaraan Pemilu.
Lemahnya ikatan parpol dengan konstituen membuat kontestasi politik Indonesia diwarnai oleh persaingan terbuka antar individu. Struktur, lembaga, dan mesin partai acap kali tidak bekerja maksimal dalam memenangkan kandidat calon kepala daerah atau calon legislatif. Kondisi ini membuat para kandidat yang maju di Pilkada maupun Pileg mengambil jalan pintas dengan melakukan politik transaksional. Melalui tim sukses yang lebih berperan sebagai broker, para kandidat tersebut menjanjikan imbalan berupa uang, barang atau pembangunan untuk lembaga sosial tertentu demi mendapatkan suara. Selain itu, para kandidat, terutama calon kepala daerah petahana (incumbent) juga kerap menggunakan pengaruh diskresi jabatannya untuk memengaruhi dan memobilisasi suara massa, utamanya kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bentuk diskresi kewenangan itu bermacam-macam, mulai dari iming-iming kenaikan jabatan sampai ancaman penundaan kenaikan jabatan, bahkan mutasi.
Corak klientelisme bernuansa transaksional inilah yang marak mewarnai politik Indonesia pasca-Reformasi. Demokrasi yang sedianya menjadi ajang bagi pertarungan ide, gagasan, dan program justru ditelikung oleh kenyataan bahwa di lapangan, suara publik ditentukan oleh seberapa besar imbalan yang ditawarkan kandidat. Dalam bahasa keseharian, kita mengenal istilah NPWP yang diplesetkan menjadi Nomor Piro Wani Piro alias nomor berapa berani (bayar) berapa. Tidak mengherankan jika dalam Pileg maupun Pilkada, kandidat-kandidat yang memiliki rekam jejak meyakinkan bisa saja kalah suara oleh kandidat yang sama sekali tidak meyakinkan namun disokong oleh modal finansial yang melimpah. Inilah momen ketika demokrasi yang idealnya berisi pertarungan gagasan menjadi bohirkrasi, yakni pertarungan para pemilik modal.
Praktik klientelisme tidak hanya berpengaruh signifikan bobroknya demokrasi yang susah payah kita konsolidasikan selama dua dasawarsa sejak era Reformasi. Lebih dari itu, kondisi ini juga membidani lahirnya berbagai macam persoalan sosial politik. Di ranah politik, praktik klientelisme-transaksional menyebabkan biaya politik membengkak tinggi. Para kandidat yang ingin bertarung di level pemilihan kepala daerah juga anggota legislatif harus menyediakan uang ratusan juta hingga puluhan miliar rupiah. Konsekuensi dari membengkaknya biaya politik itu ialah kian suburnya praktik korupsi politik. Hal ini terjadi lantaran para politisi memiliki beban finansial untuk mengembalikan modal pencalonannya.
Kondisi kian runyam ketika politik transaksional itu dibiayai oleh investor politik yang bersedia menggelontorkan uangnya dengan konsesi tertentu. Maka menjadi wajar jika di sejumlah wilayah di Indonesia, kepala daerah memberikan keistimewaan bagi para investor politik untuk mengelola (baca: mengeksploitasi) sumber daya alam. Temuan Berenschot dan Aspinall menyebut, politik klientelisme-transaksional ini menyumbang andil yang tidak sedikit terhadap kerusakan alam yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Pendek kata, secara keseluruhan praktik klientelisme telah menjadi hambatan paling besar bagi upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berpihak pada kepentingan publik.
Arkian, kehadiran buku ini menjadi sebuah catatan penting bagi perjalanan demokrasi Indonesia pasca-reformasi. Disokong oleh pasokan data yang melimpah buku ini berhasil menjabarkan bagaimana kompleksitas politik nasional yang melibatkan elite politik, parpol, pialang, atau broker suara, elite ekonomi, dan tentunya konstituen atau calon pemilih. Kiranya, kehadiran buku ini mampu menjadi semacam bahan evaluasi bagi praktik demokrasi Indonesia yang harus diakui masih banyak dipraktikkan di level prosedural tanpa menyentuh aspek substansial.
- Politik Transaksional dan Bobroknya Demokrasi Kita - 21 September 2019
- Ekspresi Keberagamaan Kaum Muda Muslim Milenial - 29 September 2018
- Sosiologi Rock: Melawan Melalui Budaya Populer - 19 May 2018
Gio
terima kasih mbak, sangat membantu tugas saya