Beberapa tahun belakangan, setidaknya sejak momen Pilpres 2014, panggung politik nasional diwarnai masifnya gerakan politik yang mengusung sentimen-sentimen primordial berbasis SARA dalam rangka menarik simpati publik pemilih menjelang pemilu dan untuk menggoyang kemapanan kekuasaan politik pasca-pemilu. Gerakan ini mengeras dan memuncak pada gerakan 212 yang secara sistematis berusaha membendung kemenangan Ahok dan melakukan kriminalisasi terhadapnya selama Pilkada DKI 2017. Gerakan ini berusaha dimobilisasi lagi pada Pilkada serentak 2018 yang baru saja berlalu namun ternyata tidak cukup berhasil sehingga Pilkada serentak berlangsung lancar dan aman. Dalam khazanah ilmu sosial gerakan-gerakan berbasis massa dalam ikatan isu-isu SARA ini disebut sebagai “populisme”, atau secara lebih spesifik disebut “populisme Islam”.[1] Sementara spirit yang mendasari gerakan ini adalah “politik identitas”, atau digunakannya isu-isu identitas (umumnya bersifat primordial) dalam rangka menciptakan kohesivitas kelompok sendiri (ingroup) dan merangsang kebencian terhadap kelompok lain (outgroup).
Berkaca dari keberhasilan gerakan populisme Islam pada Pilkada DKI 2017 dan Pilkada serentak 2018 (dengan tensi dan capaian yang lebih terbatas), tidak sulit memprediksi bahwa isu-isu SARA masih akan dijadikan sebagai komoditas politik utama oleh partai-partai politik oposisi dan kelompok-kelompok Islam “kanan” pendukungnya untuk memenangkan agenda politik mereka dan menjatuhkan pihak lain pada Pilpres 2019 mendatang. Gejalanya mudah terbaca, misalnya lewat pernyataan Ketua Penasihat Persaudaraan Alumni 212 dan inisiator sekaligus penggerak “Gerakan Ganti Presiden 2019”, Amien Rais, yang menyebutkan bahwa Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019 merupakan medan pertarungan bagi “Partai Allah” dan “Partai Setan”.
Mengingat betapa destruktifnya politik SARA bagi kerukunan kehidupan berbangsa, tidak sedikit pengamat yang kemudian menganggap bahwa politik SARA lebih berbahaya ketimbang politik uang. Menurut survei yang dilakukan Lingkar Madani Indonesia, efek politik uang diperkirakan hanya sekitar 30 persen, artinya jika 100 orang diberi uang dengan imbalan memilih kandidat tertentu, maka hanya 30 orang saja yang kemungkinan akan memilih pihak yang memberikan uang. Sementara politik SARA dapat berdampak jangka panjang dengan skala pengaruh melampaui batas-batas daerah, terbukti misalnya dalam kasus penistaan agama oleh Ahok yang sanggup menggerakkan orang dari berbagai penjuru daerah turun ke jalan menuntut agar Ahok dipenjarakan.[2] Dampak buruk politik SARA juga menyebabkan pembelahan di masyarakat, yang menjadikan kubu Islam dan kubu nasionalis juga kelompok minoritas saling berhadap-hadapan yang menimbulkan dampak merusak bagi sendi-sendi kehidupan yang meluas dan mendalam. Politik SARA juga akan mematikan nalar publik dan iklim kompetisi politik yang sehat. Kompetisi politik tidak lagi diperhitungkan sebagai perlombaan dalam menawarkan visi misi yang berkualitas melainkan menjadi arena untuk menegaskan batas-batas identitas.
Tulisan ini berusaha melihat kebangkitan populisme Islam dalam konteks perpolitikan nasional dan pengaruhnya bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Bagian di bawah ini secara berturut-turut akan membahas bagaimana wacana akademik mencoba mendudukkan wacana populisme (juga populisme Islam) sebagai sarana perjuangan politik identitas dan dampak buruk apa saja yang ditimbulkan jika ia menguat sebagai gerakan politik. Berkaca dari dampak buruk yang ditimbulkan oleh gerakan populisme, lebih khusus dalam konteks Indonesia sebagai negara yang multikultural, pembahasan akan dilanjutkan dengan mengajukan strategi-strategi yang dapat ditempuh untuk membendung meluasnya populisme dan mengerasnya politik identitas.
Populisme Kanan sebagai “Penyakit” Politik dan Ancaman Bagi Negara Hukum
Panggung politik global diwarnai oleh menguatnya kelompok fundamentalis agama dan ultra-nasionalis di banyak negara. Kemenangan Donald Trump di Pemilihan Presiden AS dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) melalui referendum yang di luar perkiraan merupakan dua gejala menguatnya populisme di negara-negara demokrasi Barat. Tren sejenis merembet hingga ke Asia, tidak terkecuali di Indonesia. Donald Trump (Amerika Serikat), Beppe Grillo (Italia), Norbert Hofer (Austria), Marine Le Pen (Prancis), Geert Wilders (Belanda), Frauke Petry (Jerman), Nigel Farage (Inggris), Pablo Iglesias (Spanyol), Narendra Modi (India), Rodrigo Duterte (Filipina), Prabowo Subianto (Indonesia) merupakan deretan tokoh yang dapat dianggap sebagai representasi dari gerakan politik populisme. Dalam konteks Indonesia, menguatnya dukungan kelompok Islam konservatif kepada Prabowo Subianto memiliki sejumlah ciri yang mewakili populisme global, misalnya melibatkan kampanye anti asing, kecurigaan berlebihan bahkan permusuhan terhadap kelompok minoritas (terutama Cina), dan lain-lain.
Literatur kajian politik menyebutkan keragaman definisi tentang populisme. Kita ambil saja pengertian umumnya bahwa doktrin yang diusung gerakan populisme adalah posisi politik yang menempatkan rakyat dan elite yang despotik berada dalam posisi yang berlawanan, dan melihat gerakan populisme sebagai ungkapan dan kehendak rakyat kebanyakan terhadap perubahan yang mendasar terutama dalam bidang politik dan ekonomi.[3] Sementara unsur-unsur yang terkandung dalam gerakan populisme antara lain: Pertama, terdapat sentimen anti-kemapanan yang berkembang dalam kelompok yang merasa dimarginalkan oleh elite penguasa; Kedua, terdapat otoritas pemimpin yang memiliki karisma dalam menggalang dukungan rakyat dengan mengembuskan pesan-pesan bernada “pewahyuan” (misalnya, “negara kita sedang bangkrut dan kita sedang menuju jurang kehancuran”); Ketiga, berkembangnya perasaan in-group yang kuat yang ditunjukkan melalui persepsi “kita vs mereka”. Sumber-sumber identitas pembeda ini dapat berupa kelas atau status ekonomi (misalnya penduduk asli vs imigran, pribumi vs Cina, dan lain-lain).[4]
Dalam gerakan politik populis hampir selalu terdapat kepentingan elite yang memanfaatkan dukungan dan kehendak rakyat, dan mereka menawarkan janji-janji politik yang sanggup menyelesaikan persoalan yang dialami oleh rakyat. Artinya, dukungan rakyat dimanfaatkan sebagai legitimasi politik untuk merebut kekuasaan. Itulah mengapa gerakan populisme sering kali meninggalkan penilaian negatif mengingat proses-proses penggalangan dukungan politik dilakukan dengan cara membakar sentimen rakyat untuk membenci pihak tertentu yang dianggap sebagai muara dari segala permasalahan rakyat. Namun di sini perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan populisme di sini adalah populisme kanan[5] yang umumnya digerakkan oleh sosok-sosok elite politik dan para pendukungnya yang bersikap fundamentalis dalam beragama, rasis, seksis, dan xenofobik. Dalam konteks Indonesia, kita dapat menyaksikan sentimen negatif kepada etnis Tionghoa yang dianggap telah merancang konspirasi tingkat tinggi dengan menjalin kerja sama dengan elite-elite politik dalam negeri dalam rangka menguasai sumber daya-sumber daya ekonomi politik di Indonesia. Menjelang Pilpres 2014, misalnya, tabloid Obor Rakyat menjelaskan bahwa sumber pendanaan kampanye pasangan Jokowi-Jusuf Kala berasal dari para konglomerat keturunan Cina. Sentimen ini kembali menguat selama Pilkada DKI 2017 mengingat calon petahana Ahok adalah keturunan Cina dan beragama Kristen.
Populisme kanan dalam konteks Indonesia mengambil bentuk dalam populisme Islam. Populisme Islam yang memuncak dalam gerakan “Bela Islam” di akhir 2016 yang memiliki kemiripan dengan gerakan populisme kanan di negara-negara lain: menyatunya spirit keagamaan yang konservatif dengan ultra-nasionalisme. Identitas keislaman menjadi bahan bakar utama untuk membangkitkan sentimen negatif massa kepada pihak-pihak yang dipandang mengancam kepentingan umat Islam Indonesia. Meski berkedok gerakan bela Islam, tidak sulit membaca kentalnya muatan politik dalam gerakan ini, yakni dalam rangka merongrong pemerintahan Presiden Jokowi dan menggagalkan terpilihnya Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta karena dianggap sebagai kepanjangan tangan dan mitra strategis Jokowi. Bendera dan baju Islam dalam konteks ini kemudian dapat dipahami sebagai sarana kepentingan politik belaka, meski sebagian besar massa pendukungnya tampaknya kurang memedulikan atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang kepentingan politik yang menggerakkan gerakan tersebut. Dengan kata lain, agama telah menjadi sarana sekaligus kedok bagi kepentingan politik.
Ciri menonjol dalam gerakan populisme kanan adalah perlawanan mereka terhadap elite penguasa dan kemajemukan identitas. Mereka berkeyakinan bahwa massa yang turun ke jalan melakukan protes adalah pihak yang lebih baik daripada pemerintah, dan karena alasan inilah mereka merasa lebih pantas untuk mengambil alih kekuasaan. Robert Samuels menyebutkan bahwa dalam gerakan populisme jarak antara pemimpin gerakan dengan pengikutnya mengerut sedemikian rupa seiring dengan terkikisnya nalar kritis mereka.[6] Para pendukung pemimpin populis mengembangkan perilaku pemujaan terhadap pemimpin mereka dan mengidealkan pemimpin mereka sedemikian rupa sebagai “juru selamat” atas kondisi tidak menguntungkan yang mereka alami sehingga segala tindakan sang pemimpin dianggap benar bahkan jika itu melanggar hukum sekali pun.
Bahaya gerakan populisme kanan bagi demokrasi dan negara hukum setidaknya dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, gerakan ini dapat merongrong negara hukum, karena dapat menekan parlemen, mendikte pemerintah atau mengancam pengadilan dan penegak hukum. Sementara di level masyarakat, gerakan ini nyaris tidak dapat dilepaskan dari produksi-produksi wacana yang meracuni ruang publik dengan berita-berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian kepada elite pemerintah atau kelompok minoritas pendatang. Sentimen-sentimen negatif ini mengalami perluasan penyebaran dalam skala yang begitu masif yang ditunjang oleh jejaring digital melalui berbagai kanal media sosial sehingga propaganda dan provokasi sanggup menyasar publik luas dalam tempo cepat.[7]
Terbelahnya dukungan politik pada Pilkada DKI Jakarta 2017, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan di atas. Jika kita mau mencermati gejala ini secara lebih saksama, apa yang terjadi sebenarnya bukan konflik antara umat Islam dan non-Islam, melainkan pertarungan politik di tingkat elite dalam memperebutkan sumber daya-sumber daya ekonomi politik. Berita-berita bohong yang menyebar begitu cepat dan luas lewat media sosial ditambah dengan pemberitaan media arus utama yang sering kali menggiring opini publik seolah-olah ini adalah pertentangan antara umat Islam dan non-Islam merupakan faktor yang memperkeruh keadaan. Gugatan hukum terhadap Ahok yang berujung pada pemenjaraan terhadapnya disertai gerakan-gerakan populis bela Islam sangat dipengaruhi oleh informasi-informasi bohong yang berkembang luas di media sosial. Dalam kasus Ahok ini, pada kenyataannya negara akhirnya berdamai, bahkan boleh dibilang tunduk pada desakan massa yang telanjur dibakar oleh kebencian.
Sebagai negara hukum, mestinya pemerintah Indonesia tidak harus tunduk dengan desakan massa yang murka agar prahara politik tidak mengarah pada kondisi yang lebih buruk. Semestinya, mengutip pendapat Hardiman, Indonesia sebagai negara hukum mampu mempertahankan prosedur-prosedur demokratis. Proses peradilan, kebijakan dan legislasi harus tetap netral untuk mengendalikan sentimen massa itu. Namun pada kenyataannya negara-negara modern seperti Indonesia sering kali menghadapi “borok” internal dengan sistem hukumnya yang bobrok dan sistem peradilannya yang dihegemoni oleh para predator politik.[8]
Di level masyarakat, kanal-kanal komunikasi yang menghadirkan informasi-informasi objektif dan berimbang harus tetap diproduksi dan disebarluaskan dalam rangka menciptakan pemahaman publik yang rasional dan dalam rangka konsolidasi nasional. Strategi ini tentu akan berhasil jika masyarakat memiliki pemahaman politik yang rasional dan objektif. Tanpa dukungan dari masyarakat yang rasional, negara hukum demokratis akan mengalami “pengapuran” tulang-tulang kekuasaannya sehingga sewaktu-waktu dengan mudah dapat dirongrong oleh pihak-pihak yang bermaksud menggulingkan pemerintahan melalui jalur populisme (Kanan).[9]
Populisme kanan di Indonesia menghadirkan ancaman serius bagi pemerintah mengingat gerakan ini juga didukung dan dimobilisasi oleh kelas menengah yang memiliki akses terhadap sumber daya-sumber daya ekonomi politik. Dengan kata lain, mereka yang terlibat dalam gerakan ini bukan semata-mata rakyat yang mengalami ketertindasan politik dan termarginalkan secara ekonomi, melainkan dihidupkan oleh elemen masyarakat yang beragama latar belakang kelas sosialnya. Itulah sebabnya, bukan isu-isu kelas dan keterdesakan ekonomi yang sanggup membakar sentimen massa, melainkan isu keagamaan dan identitas. Tidak sulit mengenali bahwa gerakan ini didukung oleh kelas menengah perkotaan yang mungkin merasa terancam kepentingan ekonomi politik mereka di era kapitalisme global sehingga merasa perlu mendukung dan merasa nyaman bergabung dengan organisasi radikal seperti FPI (motor penggerak gerakan bela Islam) untuk mengamankan posisi kelas mereka atau untuk mendapatkan sensasi kepastian di tengah-tengah kondisi politik ekonomi yang tidak stabil.[10] Ini membuat populisme Islam di Indonesia, seperti populisme Trump, Brexit, dan lainnya di Eropa, menunjukkan karakter lintas-kelas.[11]
Meski gerakan populisme kanan ini belum berhasil mengambil alih kekuasaan secara nasional, namun ancaman mereka tidak dapat disepelekan, terbukti dengan keberhasilan elite-elite gerakan ini yang berhasil memenangkan Pilkada di sejumlah daerah. Gerakan ini pada kenyataannya telah mendidihkan tensi politik di berbagai level dan menimbulkan antagonisme antarkelompok di masyarakat, dan pola-pola gerakan yang konsisten memproduksi sentimen negatif kepada kelompok lain masih berlangsung hingga hari ini, bahkan tidak mustahil akan menguat kembali menjelang Pilpres 2019. Tidak sulit untuk mendeteksi bahwa masyarakat Indonesia hari ini mengalami keterbelahan yang dipicu oleh perbedaan dukungan politik terutama melalui media sosial. Kedua kubu mengeras di kutub masing-masing dengan memproduksi label-label yang bertujuan merendahkan pihak lain, misalnya “cebong” untuk kubu pro-pemerintah dan “kampret” untuk kubu yang anti pemerintah. Relasi yang antagonistis ini tampaknya hanya menunggu waktu saja untuk berkembang menjadi sentimen permusuhan yang lebih nyata seperti yang terjadi selama Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017.
Dalam situasi masyarakat yang terbelah ini, yang memungkinkan kita menjadi bagian darinya entah kita sadari maupun tidak, yang kita ketahui telah menimbulkan dampak destruktif yang luar biasa, selanjutnya strategi apa yang dapat kita tempuh untuk meredakan tensi hubungan-hubungan sosial yang memanas dan mencoba membangun kembali kohesivitas sosial yang terkoyak?
Strategi Membangun Basis Hubungan Sosial yang Inklusif dan Kohesif
Dalam kondisi masyarakat yang terbelah setiap kelompok cenderung mengembangkan sikap yang tertutup (impermeable) dan mudah terjebak dalam bias-bias antarkelompok. Untuk itu hubungan antarkelompok perlu ditransformasikan menuju hubungan yang lebih terbuka dan mampu mengembangkan pengakuan serta toleransi (permeable) dan kerja sama dengan kelompok lain. Di bawah ini akan disampaikan sejumlah model teoretis pembentukan identitas sosial yang lebih sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat multikultur, sebuah identitas sosial yang dapat memfasilitasi setiap individu untuk mengembangkan toleransi dan kerja sama dengan individu-individu lain. Dalam perspektif Teori Identitas Sosial, terdapat beberapa model pembentukan identitas sosial yang sesuai dengan tujuan tersebut, yaitu dekategorisasi, rekategorisasi, perbedaan mutual, dan persilangan kategori.[12]
Dekategorisasi
Dekategorisasi merupakan upaya menghindari kategorisasi diri yang berlebihan. Kecenderungan untuk melakukannya merupakan penyebab utama bagi lahirnya ketidaksetaraan dan prasangka dalam hubungan antarkelompok. Meskipun kategorisasi dapat menimbulkan dampak positif dalam kelompok, misalnya memperkuat konsensus, munculnya positive regard antar-anggota kelompok, kerja sama, dan empati, namun dampak buruk yang ditimbulkannya juga tidak kalah serius, misalnya dapat menumbuhkan ingroup favoritism, agresi, dan outgroup derogation.
Dekategorisasi secara kognitif merupakan upaya untuk mengenali kembali adanya perbedaan-perbedaan antarindividu, menempatkan mereka sebagai pribadi-pribadi yang unik. Dengan kata lain, dekategorisasi adalah upaya “mengeluarkan” anggota-anggota kelompok dari ancaman depersonalisasi (hilangnya keunikan personal) menjadi individu-individu yang berdiri sendiri. Namun, model ini memiliki sejumlah kelemahan, terutama dalam konteks Indonesia. Pertama, keduanya menafikan kecenderungan alamiah manusia sebagai mahluk sosial yang suka mengelompok. Kedua, upaya ini mengarah pada individualisasi yang dapat berlanjut pada individualisme. Untuk masyarakat dengan orientasi budaya kolektivisme tentu saja tidak mudah mengubah mereka melalui upaya dekategorisasi dan personalisasi. Ketiga, bila upaya ini dapat dianggap berhasil, tidak ada jaminan bahwa ia dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang.
Dalam perspektif Teori Identitas Sosial, kelompok memiliki keunggulan yang tidak ditemukan pada individu yang hidup sendiri-sendiri, misalnya sebagai penjamin rasa aman dan pemberi kepastian. Individu yang bertahan hidup sendiri tentu akan lebih berat menjalani kehidupannya dibanding mereka yang hidup berkelompok. Selain itu, mereka cenderung akan terhindar dari ancaman kehilangan identitas karena kelompok sudah memberikannya. Mereka juga lebih mudah terkategorisasikan secara sosial.
Rekategorisasi
Rekategorisasi merupakan strategi menciptakan identitas sosial baru yang lebih terbuka untuk menghindari munculnya ingroup favoritism yang terlalu kuat. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi munculnya bias-bias dan prasangka dalam hubungan antarkelompok sehingga potensi-potensi munculnya konflik sosial lebih bisa dihindari. Identitas sosial yang dihasilkan dari rekategorisasi ini merupakan momen “ke-kita-an” (weness). “Kita” merupakan momen identifikasi yang dibangun di atas kesadaran bersama dalam rangka menciptakan kohesivitas sosial dengan cara meluruhkan identitas-identitas yang dapat melanggengkan eksklusivitas kelompok sebagaimna terekspresikan melalui momen identifikasi “Kami” di level ingroup dan “Mereka” di level outgroup.
Mengikat kelompok yang berbeda-beda dalam satu identitas bersama sekilas nampak menjadi tujuan ideal dalam sebuah masyarakat yang multikultur. Namun dalam operasionalisasinya, tentu hal ini merupakan proses yang kompleks, mengingat setiap kelompok cenderung memiliki tujuan, karekteristik, dan tingkat homogenitas yang berbeda-beda. Sebab, penggabungan banyak kelompok menjadi satu tentu cenderung akan memaksakan kondisi yang secara alamiah beragam menjadi satu kesatuan utuh dalam sebuah identitas atau kategori yang sama sekali baru. Ada sisi positif dan negatifnya dari strategi ini. Sisi positifnya, diversitas yang tinggi berpotensi menelurkan keputusan yang komprehensif dan kuat, serta memiliki kreativitas yang tinggi, sementara sisi negatifnya antara lain berpotensi memunculkan konflik internal, proses pengambilan keputusannya menjadi lebih lambat, dan kinerja kelompok menjadi relatif rendah. Selain itu, kelemahan mendasar lainnya dari rekategorisasi adalah kurang diperhatikannya category distinction sebagai hal yang sulit diubah. Seorang individu bisa saja menjadi Warga Negara Indonesia tetapi dia tidak akan bisa dengan mudahnya melepaskan atributnya sebagai orang Jawa, Cina, Batak, atau yang lain, dan kategorisasi yang lebih tinggi sebagai WNI tersebut sering tidak memuaskan kebutuhan akan kekhasan yang dimiliki seperti pada kategorisasi yang lebih rendah.
Dalam tataran teoretis, model ini memang menjanjikan kondisi yang ideal, namun dalam tataran praktis ia tidak mudah untuk diwujudkan, terutama dalam masyarakat dengan tingkat diversitas yang sangat tinggi seperti di Indonesia. Rekategorisasi cenderung mengabaikan fakta sosial tentang the otherness. Semangat untuk menciptakan identitas yang utuh dan solid sering kali tidak memperhatikan eksistensi identitas-identitas yang lain. Dalam konteks kehidupan berbangsa, the otherness terepresentasikan melalui identitas-identitas etnik dan budaya yang hidup dalam satu payung sistem sosial yang disebut negara. Indonesia pada zaman Orde Baru pernah mempraktikkan strategi ini, namun akhirnya gagal total terbukti dengan meletusnya konflik-konflik sosial berbasis etnis dan menguatnya gerakan-gerakan separatisme setelah kekuasaannya runtuh.
Perbedaan Mutual
Jika dalam rekategorisasi identitas kelompok cenderung dipandang sebagai ancaman bagi terciptanya kesatuan, maka dalam model perbedaan mutual hal tersebut justru dipandang sebaliknya. Kemajemukan tidak lagi dianggap sebagai sumber konflik sosial, melainkan lebih sebagai modal sosial. Pengakuan terhadap eksistensi kelompok lain menjadi perhatian utama dalam model ini, karena tanpa sikap seperti ini mustahil kerja sama-kerja sama antarkelompok dapat terbangun.
Model ini merupakan strategi untuk memelihara identitas masing-masing dan hal-hal positif yang terkait dengannya tanpa perlu melakukan rekategorisasi di antara mereka. Agar kelompok-kelompok yang memiliki identitas berbeda tersebut dapat bekerja sama secara mutual, maka model kerja sama yang direkomendasikan adalah komplementari. Artinya, bidang-bidang kerja sama yang digarap adalah bidang yang merupakan keunggulan satu kelompok dan diperlukan oleh kelompok lain. Di samping itu, kelompok-kelompok yang terlibat juga harus memiliki tujuan bersama.
Model ini juga baru bisa berjalan ketika masing-masing kelompok memiliki posisi yang relatif setara, sehingga tidak ada kelompok yang merasa dirinya didominasi oleh kelompok lain. Hanya dalam konteks hubungan seperti inilah pengakuan terhadap eksistensi kelompok lain dapat membuahkankan sikap tidak saling menonjolkan dan membanding-bandingan secara langsung keunggulan kelompok masing-masing. Namun, tampaknya kita sering kali kesulitan menjumpai pola hubungan antarkelompok yang seperti ini dalam kehidupan nyata, lebih-lebih ketika hubungan antarkelompok dihadapkan pada situasi di mana persaingan untuk saling menguasai sumber daya-sumber daya penting dalam kehidupan tidak bisa dihindari. Untuk itu, dibutuhkan rekayasa-rekayasa sosial tertentu atau pelembagaan konsensus yang mampu menjamin diterapkannya prinsip-prinsip keadilan dan tolerasi dalam hubungan antarkelompok. Sejauh ini, bukti-bukti empiris baru menunjukkan bahwa model ini ternyata lebih cocok diterapkan dalam konteks hubungan antarkelompok berskala kecil atau sedang. Operasionalisasinya menjadi rumit dan sulit dalam konteks hubungan yang melibatkan kelompok-kelompok yang lebih besar seperti kelompok suku dan agama.
Persilangan Kategori
Hubungan sosial yang dibangun di atas prinsip perbedaan mutual memberi peluang bagi terciptanya model interaksi sosial yang lebih mutualis, yaitu berlangsungnya persilangan kategori-kategori identitas. Persilangan kategori terjadi ketika individu yang tergabung dalam kelompok-kelompok sosial melakukan tukar-menukar kategori identitas yang melekat pada diri mereka. Melalui persilangan kategori ini akan lahir identitas sosial baru dengan dimensi yang lebih luas yang diharapkan bisa memperkuat hubungan sosial baik di tingkat hubungan antarindividu maupun antarkelompok. Secara empiris juga terbukti bahwa persilangan kategori dapat mengurangi prasangka dan diskriminasi sosial.
Dalam Teori Identitas Sosial, interaksi antarkelompok yang mewakili identitas sosial yang berbeda akan melahirkan dua kutub yang saling berlawanan, yaitu ingroup dan outgroup. Ingroup adalah identifikasi individu terhadap kelompoknya sendiri, sedangkan outgroup adalah identifikasi terhadap kelompok lain. Jika individu memberi penilaian terlalu positif terhadap kelompoknya, maka akan muncul ingroup favoritism, sementara ketika dia memberi penilaian negatif untuk kelompok lain maka akan muncul outgroup derogation.
Untuk menekan intensitas munculnya ingroup favoritism dan outgroup derogation dalam hubungan antarkelompok, perlu diupayakan model interaksi sosial yang memungkinkan batas-batas antara ingroup dan outgroup dapat ditembus. Persilangan kategori merupakan salah satu upaya tersebut. Syaratnya individu-individu yang terlibat dalam hubungan antarkelompok harus bersedia saling membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan bagi diadopsinya kategori-kategori identitas yang dimiliki oleh kelompok lain. Hal ini memungkinkan individu akan menyandang lebih banyak identitas sosial, sebagai akibat dari perluasan dimensi-dimensi sosial-psikologisnya. Secara lebih jelas, persilangan kategori dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Dengan demikian persilangan kategori dapat dikelompokkan menjadi empat bagian seperti tercantum pada Tabel 1. Persilangan ingroup-ingroup berarti mereka sama-sama menjadi anggota dalam satu dimensi. Persilangan outgroup-outgroup berarti mereka sama-sama outgroup di dimensi itu. Persilangan campuran ingroup-outgroup atau outgroup-intgroup berarti mereka hanya berbagi ingroup untuk satu dimensi sedangkan untuk dimensi yang lain menjadi outgroup. Persilangan ingroup-ingroup dinilai paling positif dan persilangan ingroup-outgroup maupun outgroup-ingroup dinilai cukup positif.
Untuk mempermudah pemahaman, mari kita ambil ilustrasi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Persilangan kategori dapat dipahami melalui analogi dua orang yang sedang naik kereta menuju tujuan yang sama. Mereka kemudian berkenalan dan saling menanyakan identitas diri dan sosial masing-masing pihak. Bila kedua orang tersebut ternyata adalah sama-sama pendukung Jokowi dan lahir di Solo maka kategori persilangannya adalah ingroup-ingroup. Bila keduanya ternyata adalah alumni UGM namun yang satu bekerja sebagai dosen sementara yang satunya lagi sebagai politisi maka persilangannya adalah campuran, ingroup-outgroup atau outgroup-ingroup. Bila yang satu adalah penggemar klub sepak bola Barcelona dan membenci Real Madrid sementara yang satunya lagi membenci Barcelona dan penggemar fanatik Real Madrid maka persilangannya adalah outgroup-outgroup.
Mengapa persilangan kategori dapat meningkatkan rasa kesatuan dalam wadah identitas sosial yang baru? Pertama, persilangan kategori memungkinkan individu berafiliasi dengan beberapa kelompok, sehingga dapat mereduksi loyalitas pada satu kelompok saja. Identifikasi ganda ini juga akan melahirkan loyalitas ganda. Kedua, persilangan kategori melahirkan kesadaran bahwa anggota outgroup juga bisa menjadi fellow sehingga sikap-sikap negatif terhadap outgroup akan berkurang. Ketiga, persilangan kategori memungkinkan interaksi antarindividu dari kelompok yang berbeda menjadi semakin intensif, sehingga mobilitas lintas batas kelompok juga akan meningkat). Implikasi lainnya dari persilangan kategori adalah dapat melahirkan kondisi-kondisi inklusif sebagai berikut: pertama, meluruhnya supremasi kelompok tertentu karena masing-masing kelompok memiliki status yang relatif setara; kedua, lahirnya kebanggaan atas identitas bersama hasil dari persilangan kategori; dan ketiga, munculnya penghargaan terhadap outgroup karena mereka tidak lagi dipandang sebagai ancaman.
Catatan:
[1] Populisme Islam di Indonesia digerakkan oleh kalangan borjuis Muslim kecil dengan menempatkan etnis Tionghoa sebagai “musuh bersama” dalam konteks perebutan sumber daya-sumber daya ekonomi dalam negeri dan Barat sebagai sumber dekadensi moral masyarakat Muslim dan penjajahan politik-ekonomi di tingkat global. Lebih jauh lihat Vedi R. Hadiz, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East (Cambridge: Cambridge University Press, 2015).
[2] “Politik SARA ‘lebih buruk’ dari Politik Uang karena Berdampak Perpecahan,” BBC Indonesia, 27 Desember 2017. Lebih lanjut lihat http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-424840064.
[3] Cas Mudde, 2004, ‘The Populist Zeitgeist’, Government and Opposition, Vol. 39 (4), hal. 542-563.
[4] Ari A. Perdana, 2017, “Menguatnya Populisme: Trump, Brexit hingga FPI,” Harian Indoprogress: http://indoprogress.com/2017/01/menguatnya-populisme-trump-brexit-hingga-fpi/.
[5] Istilah populisme kanan secara longgar dipakai untuk membedakannya dengan gerakan “populisme kiri” yang berkembang luas di negara-negara Amerika Latin yang dinakhodai oleh pemimpin-pemimpin politik berhaluan sosialis (Chaves di Venezuela dan Morales di Bolivia) atau sosial demokrat (Lula da Silva di Brazil).
[6] Lihat Robert Samuel, Psychoanalyzing the Left and Right after Donald Trump: Conservatisim, Liberalism and Neoliberal Populism (California: Palgrave Macmillan, 2006), hal. 63.
[7] Lihat F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari “Setan-setan”, Radikalisme Agama sampai Post-Sekularisme (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hal. 159.
[8] Ibid. Hal. 160.
[9] Ibid.
[10] Dalam perspektif Teori Identitas Sosial, perilaku kelas menengah di atas dapat ditengarai sebagai proses “Kategorisasi diri” dalam rangka memantapkan identitas mereka. Kategorisasi diri sebagai anggota kelompok kemudian melahirkan fenomena depersonalisasi (depersonalization), atau melemahnya identitas personal sebagai akibat dari menguatnya identitas sosial. Depersonalisasi akan menguat ketika dalam diri individu muncul kebutuhan untuk mengatasi atau mereduksi ketidakpastian-ketidakpastian (uncertainty reduction) situasi di lingkungan sosialnya, yaitu dengan jalan meleburkan diri ke dalam kelompok untuk mendapatkan rasa aman dan utuh. Ketika depersonalisasi berlangsung, anggota-anggota kelompok akan melihat satu sama lain sebagai satu kesatuan sementara dalam waktu yang bersamaan mereka akan melihat anggota-anggota kelompok lain sebagai entitas yang homogen (outgroup homogenity). Sudut pandang teoretis ini rasa-rasanya sanggup menjelaskan bagaimana solidaritas kelompok terbangun di kalangan pendukung gerakan “Bela Islam”.
Selain untuk mengurangi ketidakpastian, kategorisasi diri juga bertujuan untuk meningkatkan tingkat keberbedaan positif (positive distinctiveness) dalam hubungan antar-kelompok. Motif ini mencerminkan adanya dua motif yang paling dasar dari diri manusia, yaitu motif untuk meningkatkan diri (self enhancement) dan harga diri (self-esteem). Dalam melihat outgroup, individu dalam sebuah kelompok (ingroup) cenderung mengabaikan perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok lain (outgroup). Outgroup dilihat sebagai entitas yang homogen, yang membuat anggota-anggotanya juga akan dipersepsi sebagai kumpulan orang-orang yang sama. Kondisi ini disebut sebagai “ilusi tentang homogenitas kelompok lain” (illusion of outgroup homogenity). Kebalikan dari illusion of outgroup homogenity adalah ingroup differentiation, atau kecenderungan individu untuk memersepsi anggota kelompok sendiri sebagai entitas yang memiliki lebih banyak perbedaan. Akibatnya, jika ada anggota ingroup yang berperilaku buruk, misalnya, hal itu akan dievaluasi sebagai ciri-ciri individual pelakunya saja, sama sekali bukan representasi dari ciri-ciri kelompok, begitu juga sebaliknya. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan ingroup favoritism atau pemujaan terhadap kelompok sendiri dan outgroup derogation atau perendahan terhadap kelompok lain. Penjelasan lebih lanjut lihat Afthonul Afif, Teori Identitas Sosial (Yogyakarta: UII Press, 2014), hal. 38-39.
[11] Ari A. Perdana, 2017, “Menguatnya Populisme: Trump, Brexit hingga FPI,” Harian Indoprogress: http://indoprogress.com/2017/01/menguatnya-populisme-trump-brexit-hingga-fpi/.
[12] Pembahasan lebih lanjut lihat Afthonul Afif, Teori Identitas Sosial…. Hal. 51-60.
- Populisme Kanan Sebagai Penyakit Demokrasi dan Strategi untuk Mengatasinya - 3 December 2018
- Kesaksian Seorang Editor Penggerutu - 19 November 2018