
Kepedulian pemerintah (negara) kepada literasi kita semakin memperlihatkan intensitas yang menggembirakan. Sekadar menyebut sedikit yang saya tahu, ada program penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris (dan bahasa lainnya), residensi penulis (sastrawan), dan “duta buku” Indonesia ke kancah event tahunan Frankfurt Book Fair.
Bolehlah dinyatakan “kepedulian”, meski barangkali akan ada sebagian yang menyebut “kedengkian”, meski sebenar-benarnya saya tak bermaksud sedikit pun mendengki siapa pun, bila saya sesekali memperlihatkan sikap kritis terhadap mekanisme pelaksanaan program-program literasi tersebut. Ya, hanya mekanisme.
Sudah niscaya bahwa esensi dan orientasi semua program literasi yang dibiayai negara tersebut muaranya hanya satu: memajukan khazanah literasi Indonesia, baik di skala nasional maupun internasional. Pencapaian dahsyat Eka Kurniawan hari ini, misal, sudah pasti memungkinkan terjadi melalui penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa internasional. Itu artinya, sebagai pintu gerbang awal, program penerjemahan teks-teks sastra mutakhir menjadi sedemikian vitalnya. Tanpa penerjemahan, sulit benar teks sastra kita akan dikenal luas, apalagi mendapatkan panggung di negeri luar.
Dan kita jelas tidak hanya memiliki Eka sebagai satu-satunya sastrawan mutakhir Indonesia yang karya-karyanya otoritatif untuk diterjemahkan. Ada Mahfud Ikhwan, misal, melalui novel Dawuk yang saya kira sangat layak untuk mendapatkan “fasilitas jembatan” tersebut. Mari sebut lagi nama-nama lainnya dari kalangan muda: Faisal Oddang, Mario F. Lawi, Tia Setiadi, dan Kiki Sulistyo. Anda jelas bisa menambahkan list nama lainnya.
Tentu saja, proses penerjemahan karya sastra membutuhkan waktu, energi, dan biaya yang tidak rendah. Kualitas penerjemah menjadi bagian dari mutu karya itu di kemudian hari. Belum lagi jejaring luas yang dibutuhkan untuk bersengkuyung dalam memublikasikan dan mendistribusikannya ke berbagai event internasional.
Semua modal itu niscaya berat untuk dijangkau oleh tangan penulis dan penerbit secara mandiri. Maka di titik inilah peran kapital negara menjadi sangat krusial. Untuk pelbagai program literasi yang telah diwedarkan oleh pemerintah, saya adalah penyuka sastra yang sangat menghaturkan terima kasih.
Namun negara juga mesti terus-menerus melakukan perbaikan terhadap mekanisme program-program yang dibiayainya.
Salah satu mekanisme yang saya pandang memerlukan “pembenahan” serius dari negara, tepatnya para pejabat terkait karena di tangannyalah kualitas pelaksanaan dan teknisnya tergantung, ialah tim kurasi dan distribusi informasinya.
Pertama, tim kurasi. Tidak ada niatan menyatakan tim yang dibentuk oleh tiap kementerian yang mengeluarkan program literasi itu tidak mumpuni. Tidak. Saya percaya kepada setiap individu yang diamanahi kerja serius tersebut, meski tak pernah rasanya saya benar-benar tahu siapa saja mereka atau komposisinya.
Saya pikir pemerintah tidak perlu dinasihati untuk bersungguh-sungguh dalam memilih dan menyusun tim kurasi setiap program literasinya. Hanya saja, saya pikir pasti akan jauh lebih melegakan buat semua insan literasi di berbagai penjuru negeri ini bila para kurator yang bertanggung jawab terhadap seleksi setiap program literasi pemerintah diumumkan secara terbuka. Dengan keterbukaan itu, publik akan menjadi lebih percaya dan berani menitipkan ekspektasi bahwa hasil kurasi tersebut akan benar-benar dihormati.
Kedua, distribusi informasi. Ada “perasaan tidak adil” di kalangan para pekerja literasi kita selama ini terkait hak mereka untuk mendapatkan informasi yang sama rata. Apa yang saya maksudkan “perasaan tidak adil” ialah betapa eksklusifnya informasi-informasi program literasi negara untuk diakses oleh setiap orang yang memiliki minat kepada program-program literasi.
Jangankan kawan-kawan pegiat literasi di Lombok dan Aceh, misal, orang Jogja pun hanya bisa saling menoleh satu sama lain ketika tahu-tahu—ya, tahu-tahu—beredar informasi “hasil akhir” sebuah seleksi program literasi yang dibiayai oleh uang negara. Sebut misal event Frankfurt Book Fair, dari tahun-tahun dulu sampai 2017 ini. Tahu-tahu—ya, selalu tahu-tahu—si anu terpilih berangkat, bukunya si anu lolos kurasi, dan penerbit anu dibiayai berangkat ke sana.
Di sinilah “perasaan tak adil” itu menderas. Dikarenakan ini uang negara, dan semua orang memiliki hak legal yang setara, mengapa akses setiap warga negara pegiat literasi terhadap informasi program-program pemerintah tersebut seolah hanya milik segelintir pegiat literasi, komunitas, dan penerbitan? Mengapa tampaknya para pegiat literasi yang tinggal di Jakarta saja yang terlihat berhak mendapatkan informasi dan aksesnya, sementara kawan-kawan di daerah hanya cukup tahu “hasil akhirnya” tanpa pernah berkesempatan ikut berkompetisi dalam suatu proses kurasi yang terbuka dan adil?
Benarkah karya-karya dan individu-individu yang terpilih sebagai “wakil Indonesia” tersebut adalah benar-benar representasi kualitas sastra Nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke?
Ini sungguh mendasar untuk diperhatikan. Sekali lagi, sebab ini uang negara, program negara, bukan personal atau lembaga swasta, wajarlah bila keadilan informasi kepada seluruh khalayak Indonesia dibuka seluasnya. Itu sama sekali bukan hal sulit, cukuplah kementerian terkait mengunggah program-program literasinya di web resminya, niscaya akan menyebarlah ke seluruh negeri.
Ada sebuah kisah yang layak untuk kita simak terkait “urgensi pembenahan” pelaksanaan program-program literasi pemerintah itu.
Pada suatu hari, saya “dibisiki” untuk mengirimkan buku-buku sastra terbitan saya kepada Kementerian Pendidikan. Katanya akan diadakan seleksi buku oleh para kurator untuk dibawa ke Frankfurt Book Fair 2017. Deadline-nya dua/tiga hari! Sembari tersenyum, saya membatin, barangkali bagi orang Jakarta semua orang daerah dianggap manusia pengangguran yang bisa diminta melakukan apa pun detik ini juga.
Tentu saja saya tidak pernah mengirimkan buku-buku sastra yang pernah saya terbitkan. Selain deadline itu tak masuk akal, saya serentak skeptis dengan mutu mekanisme pating gedubrak macam itu. Saya yakin benar bahwa muhal sekali sebuah program literasi yang dibiayai oleh negara dengan jumlah uang yang tidak sedikit tidak disiapkan, diadakan, dan dilaksanakan jauh-jauh bulan. Mustahil sekali program seleksi tersebut dibikin hari Jum’at dan Senin harus selesai.
Skeptisme saya menjadi-jadi dengan imajinasi begini. Jika deadline menyiapkan dan mengirimkan buku sastra hanya dua/tiga hari, bagaimana mereka (panitia dan kurator) akan bisa melakukan seleksi dengan sungguh-sungguh sehingga pilihan-pilihannya kemudian benar-benar otoritatif mewakili sastra Indonesia terkini? Ah, saya menjadi geli sendiri. Siapa pun yang mengirimkan buku-buku sastranya kepada panitia ber-deadline dua/tiga hari itu, saya bayangkan proses seleksinya akan begini: dilihat kavernya bagus, disentuhkan ke jidat kok terasa hangat, oke, ini dibiayai ke Frankfurt.
Lantas, karena saya tak mengirimkan—dan saya percaya begitu banyak komunitas, penulis, dan penerbit di daerah-daerah yang tak mengirimkan karena tidak punya informasinya atau (masih mujur saya) terbentur deadline yang mengharukan itu, minimlah stok buku sastra yang akan diseleksi oleh para kurator. Sementara, si bos pejabat tak mau tahu urusan teknis tersebut. Pokoknya, misal, Indonesia tahun ini harus mengirimkan 100 judul buku sastra terbaik.
Lalu, demi menghindarkan amarah si bos yang titahnya harus selalu clear, berbisik-bisiklah petugas/panitia/kurator program itu kepada siapa pun, ya siapa pun, yang dikenalnya di Jakarta atau kawan-kawan lamanya semasa kuliah untuk mengirimkan judul-judul buku sastra yang akan dibawa ke Frankfurt. Mewakili sastra Indonesia!
Sembari guyon, saya berkirim WhatsApp kepada seorang kawan yang buku kumcernya dipajang di Frankfurt Book Fair 2017: “Ndak usah terlalu bangga, Broh, begini lho kisah di balik mejanya.” Saya ngakak. “Tapi, ya, untuk postingan di Fesbuk, bolehlah….”
Saya yakin akan selalu meletus skeptisme dan sinisme sejenis ini bila hal-hal teknis yang fair dan terbuka dalam mekanisme seleksi program-program literasi pemerintah tak diperhatikan sungguh-sungguh. Sungguh itu sama sekali tak sulit, kok.
Kafe Basabasi, 21 Oktober 2017
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019