Apa itu kebenaran?
Semua kita memiliki jawabannya. Siapa pun kita. Bagaimanapun bentuk konsep kebenaran itu, mari kita tampung saja sebagai “benar”.
Yang lantas tampak begitu pelik dan rumit di antara kita ialah benturan antarkebenaran itu. Tak ada satu pun dari kita yang merelakan konsepnya tentang kebenaran digugurkan oleh konsep-konsep kebenaran lainnya.
Tepat di titik inilah kita sungguh rawan berseteru. Situasi sejenis juga terjadi dengan eskalasi yang sangat sensitif dalam khazanah tafsir dan takwil kebenaran wacana (paham) Islam. Dan kondisi ini bukanlah terjadi di akhir-akhir ini belaka. Ia telah ada sejak dahulu kala, sejak era para sahabat sepeninggal Rasulullah Saw.
Kita bisa mengulik sejarah pecahnya perang Shiffin antara Ali bin Abi Thalib dan jamaahnya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan dan jamaahnya. Karena Ali bin Abi Thalib yang sudah nyaris memenangkan peperangan memilih berdamai dengan mekanisme tahkim (arbitrase), pecahlah kongsi di antara jamaah Ali bin Abi Thalib sendiri. Lahirnya kelompok Khawarij yang sangat radikal, keras, anti kompromi, yang bahkan kemudian merenggut nyawa sang “pintu gerbang ilmu pengetahuan” itu sendiri, khalifah Ali bin Abi Thalib, melalui tebasan pedang Abdurrahman bin Muljam yang ahli ibadah dan hafidz al-Qur’an.
Tragedi itu, kendati tak terpisahkan dari ontran-ontran politik, jelas bergumul dengan peliknya benturan antarkebenaran. Usai menebas kepala Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Muljam memekik: “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah!”
Ya, pekik lantang tentang kebenaran dirinya, kelompoknya, terhadap kebenaran, langkah ijtihadi, yang dipegang kelompok Ali bin Abi Thalib.
Di ranah fiqh (hukum Islam), terjadi perbedaan mendasar di antara dua sahabat terkemuka, yakni Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud.
Mereka berbeda pendapat dalam menakwil kata qur’un atau quru’ dalam ayat 228 dari surat al-Baqarah yang bicara tentang kewajiban bagi perempuan untuk menunggu masa iddah (masa jeda setelah perceraian) sebelum melangsungkan pernikahan lagi.
Zaid bin Tsabit menafsirkan kata qur’un sebagai “suci” dan Abdullah bin Mas’ud menafsirkannya sebagai “haid”. Sungguh dua tafsir yang menjadikan satu kata tersebut berpunggungan tanpa ampun.
Dampak hukumnya adalah mereka yang menafsirkan kata qur’un sebagai suci membuat iddah perempuan lebih pendek ketimbang mereka yang menafsirkannya sebagai haid. Perempuan yang diceraikan dalam keadaan suci, walau beberapa saat sebelum dia mengalami haid, maka waktu singkat dari ia suci sampai haid itu dinilai satu quru’. Berkebalikan dengan tafsir qur’un sebagai haid, maka hitungan satu quru’ akan baru dimulai sejak ia suci dari haid pertamanya. Masa sucinya ketika diceraikan tidak termasuk dalam hitungan quru’.
Di generasi berikutnya, tabi’in dan tabi’it tabiin, Imam Malik dan Imam Syafii mengartikan qur’un sebagai “suci”; sementara Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hanbal mengartikannya sebagai “haid”.
Makin ke sini, makin memasuki generasi muslim kita, tentulah makin kompleks dan luaslah warna bangunan kebenaran takwil itu. Pada dasarnya, semua keragaman konsep kebenaran tersebut alamiah belaka, sangat mudah kita pahami, seiring dengan makin beragamnya konteks kehidupan kita yang khas dan unik, lokal dan berskup kewilayahan, yang jelas muskil untuk diseragamkan.
Kita yang hidup di negeri majemuk ini, secara keyakinan dan tradisi, tentu saja akan ngos-ngosan untuk menjadikan tradisi hidup masyarakat Madinah sebagai parameter kebenaran takwil kita.
Masyarakat kita punya tradisi padusan, merti dusun, nyadran, tingkepan, midodareni, dan sebagainya, dan dasein kita luber sejak dahulu kala di dalamnya, tentulah berat benar untuk dienyahkan begitu saja atas nama purifikasi agama dengan slogan “kembali kepada kemurnian al-Qur’an dan Sunnah”.
Terjadilah benturan, dan inilah yang saya maksud problematika kebenaran takwil agama Islam. Ia menjadi problematis karena hal-hal berikut.
Pertama, secara khittah-nya, teks-teks dalil yang kita jadikan rujukan bersama (al-Qur’an dan hadits) bersifat global (mujmal), dengan ciri utama dzanniyah dalalah (mengandung pesan moral belaka). Silakan Anda cek ayat-ayat tentang mu’amalah, dapat dipastikan dali-dalil terkait urusan utang-piutang, misal, bersifat etis-global. Tidak ada petunjuk teknisnya—selain melakukan pencatatan.
Lalu, kini, misal kita mengajukan satu pertanyaan: bagaimana hukum meminta bagi hasil dari sebuah peminjaman uang?
Maka berlimpah-ruahlah takwil yang kita temukan dan semuanya menyatakan diri sebagai bangunan kebenaran hukum Islam.
Kedua, klaim kebenaran antar-penakwil dan pengikutnya.
Orang-orang Wahabi dengan tegas menolak segala amaliah yang tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah Saw. Bagi mereka, ini adalah model takwil yang benar, haq. Siapa yang menyelisihnya, ia bukanlah pengikuti Rasulullah Saw. Minim-minim, dicap ahlul bid’ah—dan kredonya tegas: semua bid’ah sesat dan semua kesesatan balasanya neraka. Titik.
Coba kita lihat kehidupan berislam warga Nahdliyyin. Mereka merayakan shalawatan dengan sepenuh istiqamah dan riang gembira, diiringi tetabuhan dan tembangan yang berisi puji-pujian kepada Rasulullah Saw. Bagi warga Nahdliyyin, inilah konsep kebenaran dalam mengekspresikan cinta mendalam kepada Rasulullah Saw. Tentulah ini dimaksudkan sebagai bagian dari ittiba’ kepadanya Saw.
Yang pertama menyatakannya kesesatan, yang kedua menyatakannya dedikasi cinta cum kesalehan. Ketika keduanya beririsan, terjadilah ketegangan.
Tamsil-tamsil tersebut saya stok sampai di sini. Yang kini menjadi problem serius hidup kita yang bertetanggaan di negeri ini ialah keoknya pemahaman kita terhadap khittah kemajemukan takwil kebenaran hukum Islam itu sendiri—yang (lagi-lagi saya ulangi) pada dasarnya memang berkarakter multitafsir dan telah pula terjadi sejak era para sahabat yang mulia itu.
Kita yang hidup belakangan ini acap bersikap “lebih adiluhung” dalam meletakkan kebenaran yang kita yakini dan ikuti ketimbang sikap para sahabat Rasulullah Saw. dan generasi salafus shalih berikutnya. Padahal jelas sekali keilmuan kita semakin jauh jaraknya dari sumber pertama otoritasnya (Rasulullah Saw.) dan realitas hidup kita sendiri makin ruah bagai bah tak menemukan contoh analogisnya dari khazanah sumber pertama otoritasnya.
Tentu menjadi ganjil bila kita justru mengedepankan sikap “benar sendiri” di hadapan “ketakterbatasan benar” lainnya. Pada kondisi tertentu, ia melesat jauh bukan lagi berskala problem kebenaran takwil, tetapi konflik sosial.
Maka kiranya—dengan menyadari ketakpantasan kita untuk mendaku sebagai golongan pemegang kebenaran tunggal takwil Islam—kita sangat penting untuk bersegera mengindahkan konteks-konteks khas yang melingkari kehidupan kita masing-masing. Dari aspek budaya, tradisi, sosial, dan ilmu pengetahuannya.
Jika Anda hidup di Bantul, misal, maka janganlah mendesakkan takwil agama yang bertabrakan dengan khazanah lokalitas Bantul. Ini tidak berarti otentisitas dan otoritas dalil-dalil agama dinomorduakan. Ini adalah medan takwil—dan artinya, di situ terdapat jubelan potensi konsep dan paradigma kebenaran yang bisa kita gali dengan tetap bersendikan moral-etik dalil-dalil qath’iy itu sendiri.
Begitupun wilayah-wilayah muslim lainnya.
Dengan pola berislam begini, niscaya kita akan menyaksikan pancaran cahaya kebenaran dalil duduk sepalaminan bersama khazanah-khazanah bangunan kebenaran yang mengakomodir kekhasan lokalitas yang tentunya mengandung nilai-nilai keluhungan hidup yang kita butuhkan dalam kohesi masyarakatnya.
Apakah ini sulit?
Tidak, sama sekali tidak, sepanjang kita sudi berendah hati menerima bahwa apa pun bangunan konsep kebenaran yang kita anut dan orang lain anut pada dasarnya sama-sama bertujuan untuk menjadi muslim yang diridhai Allah Swt. Soal konsep kebenaran mana yang benar menurut Allah Swt., who knows?
Jogja, 14 Juli 2019
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Anonymous
keren