Lecah laman hamba, engku
Bebaslah, tapi hamba tak bisa lepas ikat yang mengebat ini
Sesak, napas-napas hamba tak sampai dibuatnya
Ingin manaruko lebih banyak
dalam hidup ini, engku
Tapi yang hamba punya hanya laman
Laman hamba hanya tanah, engku
Tak sanggup menahan roda-roda besar bendi kepunyaan engku
Rumah hamba hanya sasak bugih
Tak cukup sanggup menahan terik matahari nantinya
Bukan salah sepatu besi milik engku
yang memijak-mijak jenjang kayu lapuk hamba
Tapi, jenjang hamba yang terlalu lapuk
untuk engku pijak
Jangan hamba dipijak!
Kini hamba kutuk diri sendiri
Sebab kenapa kemarin sore harus
hamba habiskan menari payung di pematang sawah ibu
Sedang hamba tahu, masih ada sore berikutnya
untuk dihabiskan menari yang lain
Kini hamba, ucap selamat sudah, engku
sampai tuju
Hamba sudahlah rumpang, tak akan sanggup engku rampungkan
Sedang laman hamba, sudah lecah engku lunyah
Jenjang hamba, juga engku paksa pijak sampai patah!
Engku tak kan seperti teman-teman!
Ini hamba istrimu, engku
Yang jenjang rumahnya sudah dulu patah, engku pijak
Yang lamannya sudah dulu lecah, engku lunyah!
Istri yang mana lagi kalau bukan si badan diri hamba
Segala ingin hamba
tak pernah engku tidakkan
Segala pinta yang masih bersikencak di benak hamba saja
Ya, belum sempat terkata oleh si mulut hamba
engku pasti sudah tahu
dan tak sabar ingin mengabulkannya
Setiap hari istrimu ini yang mengemudi
Segala sesak, kini telah Tuan engkuku obat
Segala yang lapuk engkuku gantikan baru
Segala yang patah engkuku sambungkan lagi
Segala perintah dari diriku engkuku turutkan pasti
Sungguh rendah hati, engkuku
Sungguh cinta engkuku
hanya untuk diriku
Takkan terniat beristri banyak seperti teman-teman, engku!
Sudah pasti hidup dan mati engkuku
untuk istri rumpangmu, ini!
Termakan Hati Pukang!
Jimat usang
Kau dapat dari
peti berdebu
di sudut surau
Mantra demi mantra
Kau eja;
Kau cerna dengan paksa
satu persatu huruf Arab gundul yang ada di sana
Ketika sudah tiba waktunya
Kau masak segala harap yang tersisa
Bersantankan luka dan air mata
Si Gadis Kau, kini lah rumpang dibuatnya
Dalam belanga penuh bumbu-bumbu kecewa
Kau masak seekor daging ayam segar
Tak lupa setelahnya Kau rapalkan hafalan mantra kuna
beserta sedidih hati pukang tua
Setelahnya lagi, Kau suguhkan ke hadapan calon menantu
Tetapi kali ini berbeda
Kau yang ambilkan nasi dari periuk dan belanga
“makanlah makan, Ibu yakin kalian akan cocok dan hidup bahagia”
Mencari Siak
Dari siak ke siak
kuhantarkan engku Datuk
Engku berbaju kepatang
Sungut engku mulai memanjang
Sedang sejak kepergian mendiang
kepala engku
tetap saja menekur
Saat kami ajak bicara tidak lagi menyambung
Entah ulah tak terima ditinggal mati si bini
atau jangan-jangan ini bano engku
bukan tanpa sebab
Dari siriah tanyo-tanyo yang dirapalkan
urang siak terakhir dalam nagari; Gaek Malin Zuwar
“Termakan hati pukang! Sudah dari sebelum pernikahan!”
Bergemuruh segala umpat
dan carutku
Bukan sebab mengapa
tapi bukankah bini Datukku turun temurun;
jadi Siak
Mengajar mengaji di kampung kami
- Puisi Anggi Oktavia - 4 June 2024
Sulaiman
SULAIMAN
Mahasiswa sekolah menengah pertama bergiat di cerita pendek