Puisi Anggi Oktavia

 

Lecah laman hamba, engku

 

Bebaslah, tapi hamba tak bisa lepas ikat yang mengebat ini

Sesak, napas-napas hamba tak sampai dibuatnya

Ingin manaruko lebih banyak

dalam hidup ini, engku

Tapi yang hamba punya hanya laman

Laman hamba hanya tanah, engku

Tak sanggup menahan roda-roda besar bendi kepunyaan engku

Rumah hamba hanya sasak bugih 

Tak cukup sanggup menahan terik matahari nantinya

Bukan salah sepatu besi milik engku

yang memijak-mijak jenjang kayu lapuk hamba

Tapi, jenjang hamba yang terlalu lapuk

untuk engku pijak

Jangan hamba dipijak!

 

Kini hamba kutuk diri sendiri

Sebab kenapa kemarin sore harus

hamba habiskan menari payung di pematang sawah ibu

Sedang hamba tahu, masih ada sore berikutnya

untuk dihabiskan menari yang lain

 

Kini hamba, ucap selamat sudah, engku

sampai tuju

Hamba sudahlah rumpang, tak akan sanggup engku rampungkan

Sedang laman hamba, sudah lecah engku lunyah

Jenjang hamba, juga engku paksa pijak sampai patah!

 

 

Engku tak kan seperti teman-teman!

 

Ini hamba istrimu, engku

Yang jenjang rumahnya sudah dulu patah, engku pijak

Yang lamannya sudah dulu lecah, engku lunyah!

Istri yang mana lagi kalau bukan si badan diri hamba

 

Segala ingin hamba

tak pernah engku tidakkan

Segala pinta yang masih bersikencak di benak hamba saja

Ya, belum sempat terkata oleh si mulut hamba

engku pasti sudah tahu

dan tak sabar ingin mengabulkannya

 

Setiap hari istrimu ini yang mengemudi

Segala sesak, kini telah Tuan engkuku obat

Segala yang lapuk engkuku gantikan baru

Segala yang patah engkuku sambungkan lagi

Segala perintah dari diriku engkuku turutkan pasti

 

Sungguh rendah hati, engkuku

Sungguh cinta engkuku
hanya untuk diriku

Takkan terniat beristri banyak seperti teman-teman, engku!

Sudah pasti hidup dan mati engkuku

untuk istri rumpangmu, ini!

 

Termakan Hati Pukang!

 

Jimat usang

Kau dapat dari

peti berdebu

di sudut surau

 

Mantra demi mantra

Kau eja;

Kau cerna dengan paksa

satu persatu huruf Arab gundul yang ada di sana

 

Ketika sudah tiba waktunya 

Kau masak segala harap yang tersisa

Bersantankan luka dan air mata

Si Gadis Kau, kini lah rumpang dibuatnya

Dalam belanga penuh bumbu-bumbu kecewa

Kau masak seekor daging ayam segar

Tak lupa setelahnya Kau rapalkan hafalan mantra kuna

beserta sedidih hati pukang tua

 

Setelahnya lagi, Kau suguhkan ke hadapan calon menantu

Tetapi kali ini berbeda

Kau yang ambilkan nasi dari periuk dan belanga

“makanlah makan, Ibu yakin kalian akan cocok dan hidup bahagia”

 

Mencari Siak

 

Dari siak ke siak

kuhantarkan engku Datuk

Engku berbaju kepatang

Sungut engku mulai memanjang

Sedang sejak kepergian mendiang

kepala engku

tetap saja menekur

Saat kami ajak bicara tidak lagi menyambung

Entah ulah tak terima ditinggal mati si bini

atau jangan-jangan ini bano engku

bukan tanpa sebab

 

Dari siriah tanyo-tanyo yang dirapalkan

urang siak terakhir dalam nagari; Gaek Malin Zuwar

“Termakan hati pukang! Sudah dari sebelum pernikahan!”

Bergemuruh segala umpat

dan carutku

Bukan sebab mengapa

tapi bukankah bini Datukku turun temurun;

jadi Siak

Mengajar mengaji di kampung kami

Anggi Oktavia
Latest posts by Anggi Oktavia (see all)

Comments

  1. Sulaiman Reply

    SULAIMAN
    Mahasiswa sekolah menengah pertama bergiat di cerita pendek

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!