Puisi Artika Florentina

 

Citraleka

Petang sebelum kau dan aku berpulang. Sepanjang lebih kurang empat atau lima meter saja sehabis keluar dari Gedung Kesenian Citraleka, aku, terbenam lelah di tubuhmu, menuju tempat parkir sepeda, di ujung jalan sana. Sambil menanti,

Perlakuan sejukmu besok pagi sampai menuju senja. Juga tingkah-tingkah manis yang lain, pula bohong yang diam bersembunyi di sela-sela bahagia yang utuh. Sambil bercerita,

Di jalan pulang berirama degup jantungmu yang menyelundupkan perempuan lain bersama rasa cemas di ujung jari. Tentang, karya-karya seniman Surabaya yang membikin aku takjub selama menggenggam tanganmu, yang juga, tergenggam oleh lain orang.

Kemudian awan petang itu hampir tiada. Hanya langit yang semakin membiru tua. Tanpa hujan. Tanpa cemas akan bagaimana aku berpulang. Tetapi itu saja dalam kepalaku teringat, juga peluk yang kini menjadi semakin lara. Pula aroma tubuhmu, yang membusuk di dalam kepala.

Itu Hujan

Itu hujan. Dan kau menjemputku untuk bertemu pada suatu sore selepas kekacauan. Lalu engkau bersikap mesra dan mengasyikkan.

Itu mesra. Waktu kau mencoba menarik hatiku, juga tubuhku ke dalam cerobong asap bertajuk pelipur lara. Ah, tetapi kau tak pandai berlama-lama.

Itu lara. Seperti engkau merisakku tetapi aku lebih akan merisakmu setelah seluruhnya. Aku tahu pada malam itu denganmu harusnya jadi hancurnya hidupku, tetapi aku pun tahu pada malam itu harusnya aku tak menemuimu.

Itu sesal. Tetapi tidak juga jadi sesal. Saksi kematianku terpaku ruang. Gedung-gedung di fakultas, dan orang-orang berlalu-lalang.

 

Konon Aku dan Kau

                    : Mak Dhe Trimo

Televisi tabung yang layarnya telah bergaris-garis itu memutar siaran bola yang redup-redup. Kadang tiada dengar suaranya. Kadang tiada muncul gambarnya. Tetapi, ah, tetap saja untuk hibur diri sepulang bekerja. Untuk hibur diri seorang:

Lelaki paruh baya itu, dan istrinya yang menua, dan udara yang tertinggal sisa anak-anaknya yang sudah kawin. Yang pula tempatnya tak jauh, tetapi jujurlah sayang jarang bertukar peluk.

Hanya pada hari-hari lara!

Yang kalau tak apa, sunyi menjadi seperti kawan lama yang setia. Kunjung kasih anaknya bagai angan yang jauh yang bagai tiada wujudnya.

Pada hari-hari biasa dan suara srak! srak! langkah kakinya. Pada teduhnya rumah dan sebuah usaha larut dalam siaran bola. Pada dinding-dinding kayu yang berhias kepala rusa. Mereka bersandar saling memberi hangat, menyapa tua berdua berpeluk erat, menyajikan bahagia di masing-masing usia yang makin hari jalan makin berat.

 

Pancasona

Ada pesta di Ketintang Utara! Aku mengundang kau! Kau mau datang? Kan kau lihat tubuhku di altar pemujaan. Dikeliling para bajingan yang bersulang penghianatan.

Juga aku bersulang untuk kau! Yang bersukacita menyaksikan mayatku, yang tercabik burung liar, yang tiada bunga tiada kunjung seorang.

Pula ikut aku bertepuk tangan untuk kau! Yang beradu paruh bersama sambil berdansa. Yang berdendang-dendang atas berlumpurnya tubuhku bagai Seroja.

Ada pesta di Ketintang Utara!

Artika Florentina
Latest posts by Artika Florentina (see all)

Comments

  1. Muhammad Daffa Reply

    Puisi-puisi yang cukup menggembirakan. Ini artinya rubrik puisi basabasi kian terbuka untuk nama-nama baru yang belum atau mungkin baru awal menulis karya sastra, khususnya puisi. Semoga berkelanjutan untuk memuat nama-nama baru dari penulis muda.

  2. . Reply

    Ketidaktahuan yang akan terus berlanjut, yang teruslah bergembira tanpa thaitea, yang bergumam tanpa senja, yang senantiasa.

  3. Lewis Miley Lima Satu Reply

    Tema asmara yang terasa begitu segar dan teramat cair. Gaya serta pilihan diksi seperti ini berhasil membuat “tema kisah-kasih” tak begitu memuakkan. Grazie!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!