Puisi Dyah Ayu Setyorini

Lautan Gila dan Sedih

karena aku gila dan sedih

jalan lahirku jadi hampa, sepenggal surat cinta tanpa kata dan perahu layar yang entah ke mana. tak bisa pulang, rumahku atlantis tenggelam, kamarku dipenuhi sumur-sumur tua berlumut tanpa dasar. tak ada orang-orang.

waktu kau katakan sekotak virus membuat kita jatuh cinta, tubuhku terbakar ombak ombang-ambing, gaunku terlepas, tak ada yang bisa dikayuh, lautanku bergerai ke utara; ujung kekosongan.

jika bumi tidak bulat, maka air mataku mestilah tumpah di dingin punggungmu. sedang tubuhku terbakar ombak, ombang-ambing dan kelaparan. sekotak virus yang kau katakan adalah akuarium tanpa ikan. aku, air, dan bayang-bayang.

dari jendela kamarku yang tenggelam kubaca bintang. matamu jadi kantuk dan sekoci jatuh menyentuh dasar sumur-sumur lumutan. kapal karam dan karatan. di sini tak ada ikan neon, atau badut lucu, hanya raksasa laba-laba berjalan di basah rambutku.

aku ingin katakan, aku mencintaimu, tapi kutahu kau lelah bekerja seharian memanen bunga basil dan rumput biru.

di desa tanpa neptunus, aku menghitung setiap retak dan gempa palung-palung. tak ada dongeng putri duyung. gema paus memutar labirin pada jalan lahirku yang beku. lalu seekor keong kecil tersesat.

tak ada lampu mercusuar hari ini dan para nelayan berputar-putar di pelupuk mataku. jika bumi tidak bulat, ikan-ikan seharusnya menetes melewati pipi dan gurat bekas senyummu.

karena aku gila dan sedih

langit jadi bergelombang. penyelam yang hilang kala perang terbang di atas gereja. sedang kakiku keriput dan ciut ditumbuhi koral warna-warni dan seekor kuda hamil bersembunyi di sela batangnya. lalu aku melihat diriku hanyut di atas perahu yang pergi entah ke mana.

surat cintaku menghapus setiap makna. seketika kucari di balik meja rias, rak sepatu, hingga halaman tanpa orang-orang. tak kunjung ada. kesedihanku tanpa kata dan gaunku yang basah buat aku jadi gila.

tak bisakah kotak virus yang kau sebutkan meledak saja di jantungku?

agar aku berhamburan bersama plankton di atas rumput biru yang kau masak, agar namaku bersahutan jadi dongeng anak teri atau doa ibu salmon yang mati di ujung persalinan, agar tangisku jadi sungai kemalangan.

karena aku gila dan sedih maka jalan lahirku hampa. seribu bahasa adalah kaca akuarium kosong, kamarku berlumut penuh lubang gelap dan sendirian. sungguh jika dunia tidaklah berputar, jika ia diam, kau akan mengalami matahari tanpa sinar.

2021

Cerita tentang Penyihir I

ia, iris nadi dan darah keemasan itu/

di bawah guyup ranting dan rimbun daun, ia tangkap semua rasa dan bisu dari debu debu. darah membasuh kakinya; ibu yang abadi. lilin api menyala, di atas percikannya air mata mewujud Hades; kematian dan kekasih. langit dan matahari mencuri celah di antara dingin dan basah lumut, darah menghangatkan tanah-tanah dan sisa cahaya menambah kuning di pipinya.

ia, hanya berbisik/
‘aku menemukannya’

bintang dan buku buku tua. merapalkan doa putus asa, di atas bayang alis dan urai rambutnya, segalanya melesak. duri- duri tumbuh pada mata dan telinganya. darah dari nadi itu membentangkan sungai emas, akar akar sedih dan hutan menghitam.

‘mengalirlah, mengalirlah hingga tanah paling dalam, mengalirlah pada jeritan. pada api yang memekarkan kefanaan, pada dosa dan tangis para dewa, juga syair mair tak bertuan dari air suci yang kutuang pada bumi. demi jiwa dan rinduku yang sedih, mengalirlah. darah adalah perjamuan bahagia, biar tanahtanah jadi dahaga dan langit tak bersuara, mengalirlah hingga neraka, mengalirlah hingga tak ada lagi tawa dan surga, mengalirlah’

seluruh hutan menciut, burung-burung mengikik takut, singa dan serigala mengaum bersahutan, ular berdesir di atas garis-garis batu, kelinci lumpuh dan ikan-ikan mengambang, sedang gunung- gunung jadi beku. mati.

darah itu mengalir, jauh ke dalam semesta, mencapai plaza-plaza taifun, dewa-dewa menggigil.
dan di perjamuan bergemerlap warna darah itu, ia temukan kepak yang pernah didengarnya,
juga perihal mantra yang tak usai dibaca.

sedang angin, berjalan melewati gelang kakinya yang bercahaya. wajah nanar dan kuning pipinya ia benamkan pada butir debu-debu. melayang, tipis dan sia-sia.

napas bukanlah kehidupan. ia ketiadaan/

di taifun dan dewa-dewa yang menggigil. suara hanya mantra yang ia rapalkan. ia hantarkan napasnya satu per satu pada perjamuan itu, ketiadaan itu. langit penuh sembilu. dewi-dewi menangis, detak jantung lemah, gaun basah dan sayap layu, ia kirim seluruh cinta yang dipendam langit. di setiap sudut surga hanya mata suangi, juga api di lilin itu, hanya menari. Ia dingin dan menggigil, sekujur tubuhnya kuning.

seorang dewa mengingat percakapan itu, penyihir itu. ia adalah sepi/

lumut di bibirnya menggetarkan ruam yang sama dan sawang bertengger di bulu matanya.
ia mengingat lagi percakapan bisu itu. ia hanya melihat perempuan itu rajut semua luka di lebam dadanya, benang benang gelisah.

ia bercerita/
‘aku mengenal suarasuara itu seperti aku mengenal tawa putraku’

setiap suara yang menjalar lambat di tapak teras rumahnya, juga hujan yang menyisakan retak-retak, dewi-dewi di taifun mendengarkan seakan dosa telah dijabarkan. cahaya tubuh mereka berubah kelabu meninggalkan jelaga pada dinding dan pilar-pilar. dilindap hutan yang sedih dan darah yang mengalir ke neraka, telapak tangannya dipenuhi sulur waktu, berteriak memanggil seribu hantu dari masa lalu.

ia mengenal suara itu seperti beratus tahun umurnya yang sia-sia. ayah ibunya hanya serapah dan keterasingan. tak ada lagi warna untuknya. di langit matahari mengkristal. tak ada cahaya, hanya mantra dan kemalangan, sedang pada kilatan terakhir tak ada hitam di matanya, semuanya jadi putih karena darah telah merenggut bumi darinya.

mencapai neraka/

2019

Cerita tentang Penyihir II

di sebuah ruang tamu, hutan telah hilang. penyihir tak lagi membelai kucing hitam. setapak kamperfuli bermusim-musim jadi lorong panjang dan amis aspal tumpukan tulang ikan. begitu pula cerita cincin jamur mengambangkan mimpi panjang seriak tangis bayi komet biru.

suara ranting dan bau kayu manis dicecap mulutmu, kini melekat pada jaket dan boot penuh perdu. seorang bijak mengingat sumur tua itu di atas kapal. seorang gadis terhuyung sedih dan merindu, camomile kering yang ia sematkan di kantong baju retak diduyun kepik dan kumbang totol ungu. rambutnya jembatan hitam, keperihan telah menyulam nujum dan tenung keruh parit kota-kota.

mata dan telinga yang berduri kini jadi rapalan misionaris. lalu keramat melumut di beku dinding kamarmu. jalan-jalanmu yang retak dan rumah beribu pintu. penyihir tak lagi menaiki sapu lidi. ia berjalan di antara beratus gadis bercelana sempit dengan dada yang bukan lagi milik ayah ibunya. dada yang menerbitkan matahari di ujung mars yang penyendiri. desah napas orang-orang berkelip pada bohlam dan dentum musik sisa peperangan semalam.

begitu penyihir kini tak lagi membawa tangkai iris, teh bulan baru, lavender dan cherry di sela topi dan saku bajunya. kini mereka membeli berbotol-botol bunga tanpa cinta.

di dalam serak panjang bajunya, jantung lebam itu juga hilang. di kamarmu kini tengah hujan. tak ada rimbun daun, hanya papan panjang dan orang-orang menunggu bus sampai tujuan. penyihir dan orang-orang keluar dari lemari baju. jalan penuh suara bising, aum serigala, harimau dan singa, tersimpan dalam kotak-kotak mainan. tongkat sihir tertimbun perih kutukan yang dilupakan.

pada kisah panjang di ruang tamu orang-orang berwajah mair nanar penuh binar arah pandang, berjingkat kilat pada layar televisi dan larik-larik kitab purba hanya menggantung di atas dinding tinggi penuh kaca-kaca. di jendela paling akhir kau temui kanal madu mengular ke langit. jika bayi komet biru mekar ia akan berenang dan menjadi penyihir kota paling kesepian.

di kamarmu yang hujan semua jadi basah. pula jiwaku. dan bayi komet biru yang mekar tak lagi bertemu orang-orang, mencium warna-warni gerbera dan menghafalkan gugus surya. ia akan berteman besi-besi bertangan serupa kitir, kemudian mesin-mesin mencetak, orang-orang pun melesat, suara-suara terikat pada asbes tinggi dan dinding-dinding menggugat taifun. terjerat erat pada dosa-dosa telepon pintar.

sedang hantu tak lagi ada. tongkat, sapu lidi, hutan, bahkan tangan penuh bintang, jadi kisah tengah hujan, jadi gigil tengah malam. juga aku,
sendiri gigil di ruang tamu yang dingin.

2019

Menikahi Kesedihan II

:pluto

telah kau gumuli ceruk bernanahku dengan miliaran sepi dan bahasa yang terus saja lindap pada bentang terjauh andromeda, juga gempa-gempa.

genggam kelap-kelip galaksi dari basah telapak tanganku buat kita mabuk dan jatuh pada ritus dua ratus mili tequilla. sungguh di planet ini kita pun menggema dalam senggama.

kita pernah sama-sama mati, jadi humus hutan basah, aku pun dirimu. hanya sepasang yang sepakat lubangi jantung masing- masing untuk membayar sunyi yang kita pilih.

di hutan ini segala gelisah adalah satu-satunya selimut perihal ransum angin sedih pada kata pertama surat cinta yang mengirim semesta unguku, menuju padamu.

bersama napasmu yang tersisa di klastikal kopi juga aroma tar surya, bibirku pun lumer di lidahmu. maka rebahlah segala gairah purba di atas meja di mana ideologi dan konstelasi mimpi kita terjemahkan satu-satu. begitu pun tiap ranting kering yang menggantung di ujung notasi biru, hutan ini adalah aksis mundi peluh dan setubuh.

dan jauh di planet paling sengsara, kisah ini telah geleparkan tsunami kesedihan dari vaginaku, juga muntahkan dendam serapah. desah lirih menggaung di angkasa.

saat itu juga, sebuah komet lesat menuju ceruk yang memanggil namamu. maka segera kita saling sesap setiap gairah, banal, dan birahi dalam satu kulum rindu, dan meneteslah ia jadi satu perkamen tabah dalam mantra penyihir yang lahir dari mautnya sendiri.

nanah dan seluruh air mata yang saling kita teguk telah melemparkan kembali ketelanjangan waktu pada rintih tanpa pilu. lalu oase atas lapar dan dahaga kita pun mengeja waham-waham, menggiringmu kembali ke tubuhku layaknya anak domba yang mencari susu di ujung puting ibu, maria segala tabahku.

“kita bercinta layaknya pendosa,” begitu kau singkap malam yang menutup-tekuk rendah diri saat kuserap dalam duka citamu.

dan lenguh panjangku menjelma bandang di wajahmu. maka tetes terakhir nanah dari vaginaku adalah kiamat yang kupilih tanpa ragu untuk takwil dalam pelukanmu. menikahi kesedihanku yang ungu, bersamamu.

Studio Pluto, 25.Juli 2022

Dyah Ayu Setyorini
Latest posts by Dyah Ayu Setyorini (see all)

Comments

  1. dehal Reply

    keren banget puisinya, punya makna dalam, dan aku suka banget sama konotasinya, semangat berkarya terus, kak! aku tunggu puisi selanjutnya

  2. Adni Reply

    Puisi nya bagus

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!