
Matria
Sulmo mihi patria est, gelidis uberrimus undis
(Publius Ovidius Naso, Tristia)
Sebelas tahun berlalu dan kembali ia susuri
Hutan kopi dan cengkeh,
Menghirup wangi sungai yang memanggil
Lelaki kecil di dalam dirinya
Untuk mendengar desis yang terlalu jelas
Atau “c” yang selalu menjadi “s”
Dari sebuah lidah yang tak pernah mencela.
Sambil mengunyah sirih-pinang
Kau berkata kepadanya yang akhirnya
Tiba di rumahmu dengan jiwa dan raga
Yang lelah,
“Nenek bahagia sekali di sana, Ndio.”
Ia menyalakan sebatang lilin,
Menerima ludahmu yang merah
Dengan kedua telapak tangannya,
Mengusapkannya pada wajahnya.
Kau menunjuk langit untuk membuatnya
Sadar akan dua belas malaikat
Yang melayang di atap rumahmu.
“Mereka akan menjaga jalanku kembali.”
Adegan-adegan dari masa lalu
Menghamparkan diri dalam sepia:
Seorang perempuan dengan susah payah
Melahirkan seorang bayi laki-laki
Dengan sekujur tubuh memancarkan cahaya
Tanpa ditemani suami;
Seorang putri yang ditelantarkan ayahnya tewas
Disantap sebuah penyakit misterius
Dan hanya tangis para saudara dan para paman
Yang mengiringi pemakamannya;
Seorang misionaris Eropa enggan memberikan
Hosti yang dirindukan seorang perempuan
Yang berulang kali menyeka kaki Kristus
Dengan rambutnya dan mengurapinya
Dengan air matanya;
Seorang perempuan cantik yang begitu dicintai
Saudara-saudaranya diceraikan suaminya karena
Gelombang politik yang memorak-porandakan desa;
Seorang nenek memuntahkan darah
Dan duduk sendiri di dalam dapur tanpa jendela
Sambil merindukan seorang anak lelakinya
Di seberang pulau.
Seorang pria yang pernah kauselamatkan
Menanamnya di sebuah ladang persemaian
Tiga bulan setelah mengantarkanmu kembali
Ke tanah yang sangat kaucintai.
Hari itu, untuk pertama kali, ia fasih
Menyanyikan “Requiem” sambil menanam
Pohon-pohon air mata di ladang yang sama.
“Aku akan ke Barat, Nek, menjadi pohon yang lain
Di sana. Kau boleh meminta buah apa saja padaku.”
“Hirup dalam-dalam aroma yang menguar
Dari harta berharga ini,” katamu sambil menyodorkan
Ke hidungnya cengkeh yang baru saja kau petik
Dari pohon di halaman rumahmu,
Mengubah mereka menjadi serbuk-serbuk kristal
Dan menghamburkannya ke sekujur tubuhnya.
Lilin yang meleleh menutupi epitaf “M”
Dan “A” kedua. Api di ujung lilin
Bergoyang mendengar suara angin.
Dua belas malaikat merendah mengelilingimu.
Didengarnya dentang yang begitu asing.
“Menjagamu dari atas selalu lebih mudah, Ndio.”
Ia memelukmu, menyentuh kedua pipimu
Dan menyerap anak lelaki dalam dirinya
Yang kausegarkan sebelum kedua belas
Malaikat menuntunmu kembali ke surga.
(Golo Dopo-Papang-Naimata, 2016)
Pulang
And I call out your name
The moment you are gone
(Saybia, The Day After Tomorrow)
Kau tahu laut begitu ramah padamu,
Mempersembahkan hasil-hasilnya
Ketika kau berdiri di pantai saat paceklik
Mencekik kampungmu, saat musim dan angin
Mengeringkan nira dari mayang lontar, saat
Anak-anak dan istrimu hanya berharap
Sepenuhnya pada hasil tangkapanmu.
Kau tahu seorang cucu sepenuhnya
Menyukai segala yang ada padamu,
Menjadi seseorang yang sama sekali tak
Mengenal kata “pulang” dalam bahasa daerah
Ayah maupun ibunya, tapi merawat cintanya
Pada ruang yang sudah kaubukakan pintu-pintunya.
Kau tahu langit mengerti rahasiamu, seperti
Sebaliknya, dan kaubiarkan kata-katamu diserap
Alam ketika kaubutuhkan tanda dan petunjuk,
Nubuat dan wasiat dari Penguasa Alam Semesta
Dan leluhur yang menjadikanmu bijak dan sabar.
Kau tahu cerita seorang santa pernah disebarkan
Para pelaut Portugis sebagai dongeng yang mengisi
Masa kecilmu dengan bahasa yang kelak
Kaupakai untuk bercakap-cakap dengan
Tuhan dan para leluhurmu ketika seisi
Kampung menaruh harapan suksesnya panenan
Pada kata-kata yang keluar dari mulutmu.
Kau tahu istrimu begitu terpesona pada
Motif yang tergurat pada kain yang dikenakan
Para pedagang Bugis yang singgah di pelabuhanmu,
Dan membiarkannya bahagia ketika ia mulai mampu
Mencuri dan memiuhkan motif menjadi bunga
Miliknya sendiri pada kain tenun ikat terbaik
Yang menguarkan harum ke seluruh penjuru Mehara.
Kau tahu para penggantimu akan
Mengabaikan rima seperti dirimu ketika
Menyanyikan puisi-puisi dan menanti
Jawaban yang diturunkan dari atas.
Kau tahu air mata yang mengucur dari jasadmu
Meredakan topan dan badai, membuat pelayaran
Yang membawa dedahanan dan rerantingmu
Kembali menjadi lancar dan terkendali,
Dan di dalam kerang yang sekarang
Kaududuki ada sebuah mutiara yang terbuat
Dari air mata semua orang yang mencintaimu.
Kau tahu ibu selalu berharap kau bahagia
Di dalam sana dan di atas sana, menyampaikan
Pada Tuhanmu hal-hal yang tak kunjung
Kaupahami selama hidup di dunia, menjadi bagian
Dari terang yang memancar dari lautan.
(Pedarro-Naimata, 2014-2016)
Lahir
Der Tod ist groß.
(Rainer Maria Rilke, Schlußstück)
“Pada mulanya adalah air,” kaugubah sebuah kalimat
Yang terdengar dalam khotbah seorang misionaris Austria
Di hari pembaptisan putri sulungmu, setelah mencampurnya
Dengan sedikit wahyu yang kauterima dari para leluhur.
Ketika memasuki seminari, cucumu sibuk bermain dengan laut
Dalam sebuah dongeng penciptaan, dan banyak belajar
Darimu untuk menggubah dongeng yang sama,
Karena percaya kisah itu benar-benar terjadi.
Di musim paceklik, tetap kaularungkan panenan terbaik, bagi dada
Ibu yang mengalirkan susu termurni dan cinta paling lestari.
Sebagai bekal terakhir bagi semua anak-anakmu yang memilih
Gereja, kautinggalkan apa yang penting mereka jaga.
“Laut tak mengenal dosa asal, anak-anakku, tak ia kenali murka.
Semata cinta yang membuatnya memeluk segala yang berasal darinya.”
Semua orang yang memandangmu dan para leluhur yang mengajarimu
Berbagai hal dan memilihmu menjadi pendaras doa begitu bahagia
Saat engkau akhirnya kembali ke laut yang menyusuimu, kepada rentang
Lengan perkasanya yang sejak awal mula menghalau sakit dan kutuk.
(Naimata, 2016)
Naik
Mengenakan celana cinta buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
(Joko Pinurbo, Celana Ibu)
“Ini buatan ibu,” kata Yesus
Menjawab pertanyaan lain Tomas
Ketika ia mengangkat jubahnya
Untuk menunjukkan luka di lambungnya.
Sebelum meminta lagi sepotong ikan goreng
Dan memakannya di hadapan para murid,
Dengan jubah yang masih terangkat
Yesus berkata lagi kepada Tomas,
“Sentuhlah juga ini, Tomas.
Celana ini menutupi malu yang ditimpakan
Bangsa-bangsa kepadaku.”
Kisah ini telah lebih dahulu dicatat dalam kitab
Lain seorang penyair yang kemudian mengaku
Menjadi domba yang tersesat di jalan yang benar.
Jauh sebelum si penyair menulis kisah Paskah.
(Naimata, 2016)
- Puisi-Puisi Catullus - 31 July 2018
- Puisi-Puisi Mario F. Lawi; Lahir - 20 December 2016
Tilaria Padika
Saya suka sekali yang berjudul “Naik.” Di sana Jesus menjadi sangat manusiawi.Seperti membaca Gibran.
Salam
PADIKA’S