Puisi Menjumpa Zaman

Judul               : Telepon Genggam: Sehimpun Puisi

Penulis             : Joko Pinurbo

Penerbit           : Basabasi

Cetakan           : Pertama, Juni 2017

Tebal               : 84 hlm; 14 x 20 cm

ISBN               : 978-602-6651-14-3

Bertahun lalu, Joko Pinurbo (Jokpin) menulis puisi “Telepon Genggam”. Puisi lahir setelah Jokpin merasakan kenikmatan memakai telepon genggam, hadiah dari penerbit buku puisinya. Jokpin jelas bukan satu-satunya orang yang merasakan kenikmatan itu. Kegandrungan pada telepon genggam sudah jadi penanda zaman. Orang-orang di masa itu menikmati berkomunikasi gawai yang bukan hanya dapat digunakan menelepon, tapi juga memungkinkan berkirim pesan teks alias SMS (Short Message Service).

Kehadiran telepon genggam pada zaman itu dikhawatirkan mengikis budaya baca masyarakat yang masih rendah. Sudah rendah, masa bertambah rendah? Tapi, Jokpin berkeyakinan lain. Jokpin menulis, “Saya memilih untuk percaya pada harapan: telepon genggam tampaknya telah menjadi piranti penting untuk mengembangkan budaya baca dan budaya tulis, budaya literasi” (hlm. 76). Keyakinan Jokpin mengingatkan kita pada syair lagu “Konservasi Konflik” (2017) gubahan Sisir Tanah: telepon genggam diaktifkan/ doa diaktifkan/ harapan diaktifkan.

Hari ini fitur telepon genggam semakin beragam. Kita bukan hanya menggunakan telepon genggam untuk menelepon dan berkirim SMS lagi. Kita dapat memakai telepon genggam untuk menjelajah dunia maya, berkirim pesan atraktif (chat), mengambil foto, merekam video, memutar musik, mendengarkan radio, menelepon sambil bertatap muka (video call), menunjukkan arah atau jalan (GPS), dan masih banyak lagi. Orang-orang kini semakin mesra dan intim dengan telepon genggam. Bahkan, telepon genggam lebih dekat bagi kita dibanding istri atau pacar sendiri.

Maka, kehadiran Telepon Genggam dan puisi-puisi lainnya dalam buku kumpulan puisi terkait semakin relevan di masa ini. Jokpin pun mengakui sendiri, “kumpulan puisi itu seharusnya terbit sekarang” (hlm. 75). “Telepon Genggam” memang puisi yang berdiri sendiri. Namun, ia semakin paripurna bila dilengkapi puisi-puisi lain di buku kumpulan puisi berjudul sama. Misalnya, puisi “Panggilan Pulang” (2003) dibuka dengan: Bangun tidur, ia langsung menghidupkan/ telepon genggam: mudah-mudahan ada pesan./ Masih ngantuk. Masih ada kabut mimpi/ di matanya. Masih Temaram (hlm. 12).

“Telepon Genggam” sendiri adalah puisi naratif bercitarasa humor, khas Jokpin. Kita menjumpai humor, misalnya, pada bait keenam: Dipencetnya terus sebuah nomor/ dan yang muncul hanya tulalit/ yang membuat sakitnya makin berdenyit./ Sesekali tersambung juga, namun setiap ia/ bilang halo jawabnya selalu halo halo bandung (hlm. 6). Jokpin menunjukkan kelihaiannya mempermainkan kata-kata dalam puisi yang ia tulis. Pada tiga bait sebelumnya, ia malah memainkan kalimat pendefinisi asmara: Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati (hlm. 5).

Humor Jokpin semakin keterlaluan di bait kesembilan. Ia menunjukkan gangguan umum dalam bertelepon genggam: SMS pemberitahuan hadiah (biasanya tipuan), secara jenaka. Jokpin menulis: Selamat, Anda mendapat hadiah undian/ mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda/ untuk dicocokkan dengan kodoknya (hlm. 7). Jokpin maka bukan saja memainkan kata-kata dalam SMS pemberitahuan hadiah. Ia juga memainkan frasa mobil kodok, yang bukan lagi merujuk mobil mungil keluaran Volkswagen, melainkan mobil yang dinaiki kodok.

Limpahan humor tak menodai keseriusan puisi Jokpin. Dalam “Telepon Genggam”, ia tetap memberi pemaknaan serius terhadap gawai tersebut. Dua kali Jokpin menyebut “surga kecil yang tak ingin ditinggalkan” sebagai pendefinisi telepon genggam. Definisi Jokpin itu sungguh tidak berlebihan. Kita bahagia saat berasyik-masyuk dengan telepon genggam, kita seakan bersama miniatur surga. Kebahagiaan bertelepon genggam selalu susah ditinggalkan, inginnya senantiasa dicumbui sedari bangun tidur sampai tidur lagi. Kita wajib mengakui bahwa di zaman ini, tiada telepon genggam sama saja tiada hari.

Puisi bertelepon genggam lain yang penting disimak berjudul “Laut” (2003). Dalam puisi itu, Jokpin menulis: Aku tiduran di atas pasir/ sementara telepon genggam sibuk/ memotret awan dan air, merekam derai/ dan desir. “Silakan kau latihan mati,”/ katanya. “Aku mau begadang,/ mendengarkan bisikan-bisikan laut.” (hlm. 13). Puisi “Laut” sangat representatif untuk menggambarkan gejala berwisata generasi milenial. Di masa ini, kita berwisata bukan lagi demi menghayati alam bebas, namun semata hadir dan langsung mengeluarkan telepon genggam untuk memotret diri di destinasi wisata. Puisi-puisi Jokpin telah menjumpa zaman yang tepat untuk hadir. Kehadiran puisi Jokpin penting untuk meluweskan zaman yang pening. []

Udji Kayang Aditya Supriyanto
Follow Me
Latest posts by Udji Kayang Aditya Supriyanto (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!