puisi dan krikil di tokyo
awalnya gue kenal puisi didefinisikan oleh sekolah, buku-buku, tulisan tangan, aturan bahasa, kabut di puncat gunung, cinta monyet. monyet. selanjutnya gue kenal puisi didefinisikan oleh mesin tik, kehabisan kertas ketik, kehabisan pita mesin tik, yang habis yang hilang, sampah, truk sampah, kebisingan kota, kontrol orde baru, banjir dan rumah bocor. bocor. kemudian gue kenal puisi yang mulai didefinisikan oleh TV, ac, pesawat terbang, ada aplikasi cancel dalam komputer, dunia internet yang gokil, kesunyian yang biasa, cinta gue yang indah, jilan untuk seluruh kesedihan gue, dan teman-teman yang gue sayangi, tapi juga bayangan kematian di hari tua gue. gue nggak mau bayangin ada alam lain setelah kematian. nggak nggak nggak. mungkin akhirnya puisi didefinisikan oleh kematian.
edisi politik di luar spiker
: setelah pidato ibu mega dan suara <yang> diam
di bandara yang menggunakan nama bapaknya
seorang pendiam | tak tersentuh | berdiri di depanku
anak perempuan pertama dari presiden pertama
sanggul dan bau jamu jawa
sebuah rumah > baru saja diciptakan dari sebuah pidato
rumah untuk semua bangsa
ditopang kaki-kaki bergegas — dengan makna baru
keberagaman: pantun menjelang ronggeng
suara noise radio tengah malam
apakah rakyat | apakah bangsa | apakah negara
pada mata-air yang diam setelah sedimentasi debu-debu
sayur-sayuran yang membuat toxin lindungi tubuhnya
apakah partai >> rumah sebelum sedimentasi suara-suara
batas antara kiri dan kanan
sebuah nama yang tumbuh dari pemberontakan kwang zu
gerakan turki muda, perang boer, lumernya monarki lewat
revolusi 1848 >> amsterdam yang juga berubah
suaranya sampai juga di sini:
kediri, surabaya, medan, batavia melintasi krakatau
kota-kota dengan derit kereta api, kapal-kapal dagang
penyamaran makna dalam lalulintas politik
setelah noise sejarah, irisan pisau dalam arsip
spionase dan bayangan yudhistira dalam jaring laba-laba
>> yang memangsanya
wayang yang menyeret bayangan silau
aku mulai tumbuh sebagai seorang pendiam
di luar bahasa penuh laba-laba sianida
lalu kamus — langit kata-kata yang bolong
mulai asing setiap berpapasan dengan kata lalu
setelah usai pidato — keheningan dan partai di luar spiker
anak perempuan pertama dari presiden pertama > dia
seorang presiden perempuan pertama
sebelum pause, jaringan digital di atas kesunyian arsip
dia hembuskan oksigen ke dalam mimpi-mimpi kami
suara gemuruh tepuk tangan partai: untuk keberagaman
seorang pendiam yang berdiri di lantai setelah makna
>> sebuah nama, ibu — yang membuatku tahu:
kenapa aku jadi pendiam, antara [R] dan [C]
dan partai yang dilumeri di lantai pertama keberagaman
ditopang bau kenanga yang tropis
apakah makna, ibu?
sebuah diam yang meninggalkan hiruk-pikuk
radio yang dilempar ke jaringan urat-syaraf
apakah makna, ibu?
setelah kamus tak mengenali lagi kata lalu
kehilangan “apakah” pada urutan pertama alfabet A
dalam jaring laba-laba politik bahasa
500 tahun lalu bisa datang lagi di sini
seperti fosil dari teriakan-teriakan gelap
>> membusukkan keberagaman
cahaya matahari dan butir-butir gula jadi mengherankan
aku jadi pendiam di depan deklarasi bogor, desember 1964
aku jadi pendiam di depan penyelesaian politis 16 januari 1978
aku jadi pendiam di depan gambir berdarah
aku jadi pendiam di depan 27 juli 1996
kepada setiap pendiam setelah kata
apa yang harus kita tahu
setelah hujan menanam oksigen
dalam tubuh sehelai rumput
hembusan angin dan keringat laut
menatap >> keberagaman dalam deburnya
seperti lingkaran kulit bawang ke titik awalnya
yang pedas >> melawan jebakan laba-laba
edisi politik yang tidak bisa disobek dari semua
yang diam.
teknoteks: panembahan senopati
matahari tinggal sepertiga dalam blangkonku
sisa panas pada kepala kura-kura
aku datang dengan rambut palsu
lima konde dan buku tentang mataram
menatap makamku sendiri
empat abad langit yang lain
sunyi tambah tebal setiap darah basahi kerisku
setiap seseorang tumbang dari tanganku
kematian begitu takut mendengar sunyi kerisku
karena aku harus jadi raja jawa
karena jawa selalu jadi yang pertama, hujan panah dari luar
di tepi pekik kuda gagak rimang arya penangsang
letusan merapi yang mengusir pasukan pajang
setiap mata pejam, lintasan garis surjan emas
aku lihat keris ki bocar jatuh, nancap di lantai istana
tapi tak pernah bisa nembus tubuhku
setiap mata pejam, lintasan jarik emas
aku lihat pistol dan pisau cukur retno jumilah
menembus bantal tidurku
tapi tak pernah bisa nembus tubuhku
perempuan yang kini tidur sebagai permaisuriku
raja yang mewarisi derita dan kesunyian jawa
dari Jalan mondorakan, kemasan dan jalan karang lo
masih kudengar ratapan batu gilang
tempat terpisahnya kepala ki ageng mangir
pembayun, putriku, “apakah hatimu juga menyimpan keris?”
untukku, untuk cintamu, pembayun yang nelongso
ledakan bunga kemboja di kaki singgasanaku
betapa kematian takut mendengar sunyi kerisku
karena aku adalah air mata jawa yang tak pernah menangis
jalan berbelok antara kalijaga dan kanjeng ratu kidul
aku datang, nyekar ke makamku sendiri, empat abad
tanah yang lain
semua yang telah kulepas, yang tak bernyawa lagi
datang dan hidup lagi
aku kenakan rambut palsu
bau serat wedhatama di pasarean mataram
di desa kajenar, tempat kulepaskan nyawaku
aku peluk jawa – garis yang luruh dalam titiknya
melepaskan semua baju dan nama untukku
untuk kesunyian seorang jawa di luar mesjid.
teknoteks: Ajisaka
ha na ca ra ka
da tha sa wa la
pa dha ja ya n’ia
ma ga ba tha nga
dua pengawal mati
di depan gerbang bahasa
anonymox aurat
klik: anonymox
unduh >> add to firefox
instal
aplikasi sudah terpasang pada aurat kita
next
http://www.berangkat-ke-batas-sepi.com
tancap
doa-doa digital
<<->>
koyak
immaterial bahasa
tinggalkan makna
di luar batu nisanmu
- Puisi-Puisi Afrizal Malna; puisi dan krikil di tokyo - 9 May 2017
Fauziah Salsabila (salsaclaf17
Sangat kreatif…