Syahadah dalam Jarak Rindu
Tiada terbantah, aku pernah tumbuh
di rahimmu. Menyusu kasih sepasang susumu.
Berlarian di pekarangan rumah berpohon jambu
melingkar-lingkar dalam jangkau
pandang cemasmu. Ibu, di teras rumah itu
angin mendesau, tapi kota-kota jauh
gemilang pukau. Anakmu menabung rindu
lewat kata-kata riak
dan sunyi spasi sajak.
Aku bersyahadah dalam jarak rindu
tak ada aroma tanah seharum
tanah halaman rumahmu. Tapi biarkan aku di sini
berjarak dari pandangmu: Membangun rumah,
menanam pohon mangga dan sayuran
dalam pot plastik. Saban minggu, aku masih setia
menonton nobita, doraemon dan spongebob;
Kusadur hari-hari bersamamu. Kadang,
kulihat istriku bagai dirimu, saat menggoreng tempe
dan tahu. Adakah kota-kota bercahaya
di antara kita menjelma cermin rasa?
Bukankah sawah-sawah kita di timur desa
masih membuahkan bulir-bulir padi
berkah langit bumi yang menyambung denyut nadi
gembur tanah para leluhur?
Aku bersyahadah
demi sepasang matamu
yang lebih haru dari drama hidupku,
demi tubuhmu
pohon rimbun naungan mimpi-mimpiku
maafkan aku selalu kanak-kanak
dan kerap membantah. Betapa diammu
lebih tajam dari bilah belati serdadu
mengiris napasku dalam ingatan
bergaram doa, ibu.
Maret 2020.
Sajak Cinta dari Dapur
-Sinta
/1/
Antara butir-butir lada dan ketumbar, jangan tertukar.
Siung-siung bawang merah dan bawang putih
biar lebur tiada tersisih. Kita ciptakan keriuhan
pada cobek dan munthu. Senyawakan
cabai, terasi dan garam. Rekatkan
pertemuan sothel dan wajan.
Di dapur, kita tiada terpencil. Kita tidak menggigil
menghadapi nyala api, merengkuh wortel, kobis
dan jamur. Melebur asin pedas ke dalam tahu,
tempe dan telur. Tapi sungguh, kaulah gurih rinduku.
/2/
Ke mana saja kita selama ini? Berabad hilang
di antara kertas-kertas penuh angka perhitungan
mencoba berkelit dari rayuan rabat harga barang-barang
yang mengempas kita dalam kesepian panjang.
Akhirnya, di sini, kubenamkan bibirku ke pipimu
juga ke lehermu jenjang sedingin tubuh kentang.
Lalu berbagi sebiji tomat merah darah
semburat, sebelum kucuri satu dua pelukan pada perut
dan pinggulmu yang subur. Kau menahan tawa.
Dua ekor tikus mengendap mesra
di kolong meja. Sekor cecak sembunyi iri
di antara barisan gelas piring. Hidup mengiring
hembusan napas kita searah darah dan getah kering
; Melarutkan kau aku dalam kuah bening.
Di dapur, rindu tak terukur
sebab jarak cuma serapuh cangkang telur.
Sepanci nyeri memeluk senyum.
Semangkuk hidup di atas meja
di bawah langit-langit. Kita berbagi.
Lihat, tiga anak kita!
Muntilan, September 2020.
MENYUSUR HUTAN
-hutan lereng Merbabu
Di lantai hutan tropis, di bawah tudung daun
kata-kata lahir selirih derik jangkrik.
Di tubuh ramping pepohonan, menjulang air mata
memanjat pembuluh kayu hingga reranting
dan stomata. Rahasia bumi sehumus rahasia langit,
telanjang semata. Hanya berkerudung kemurnian
yang kerap luput dari keinginan manusia.
Sepasang mata kera memantulkan cahaya.
Bulu-bulu burung merona warna.
Tak ada kamus, hanya kata baur nama.
Hanya makna lebur kata. Sel-sel pembuluh
membelah diri, memekat nama-nama
dalam getah kayu. Rindu sebuku
pada ruas-ruas bambu. Sedesir
dengan kediaman dan keheningan itu.
Menyusur hutan, kucari jalan pulang.
Gema suaraku menggenangi lembah.
Menyuling diri dalam angin,
mengikuti barisan semut dan terbaring
bersanding daun kering: menghumus
pupus, searah degup jantung.
Muntilan, September 2020.
PESAN SEORANG GURU SEJARAH DALAM KELAS
-
-
-
-
-
-
- Puji Astuti
-
-
-
-
-
Catatlah kisah tentang bapak, ibu, dan para simbah.
Bagaimana mereka berladang dalam kemarau
panjang Orde Lama, atau berdagang dalam kuyup pilu
hujan Orde Baru. Tanyakan pada mereka perihal silsilah
yang mengalir tak patah-patah sepanjang pembuluh darah.
Amati foto-foto hitam putih dalam album
usang. Tirulah bagaimana mereka tersenyum
menyikapi penderitaan. Kalian harus bertahan
sebagaimana mereka selalu bersiasat
menemukan jalan, sebab hidup tak selalu perayaan.
Begitu sesak sosok sepanjang tarikh negeri.
Tanggal-tanggal memerah di lembar kalender.
Ingatlah: biar biru dalam buku. Tapi kenanglah
sepanjang napas: Bapak Ibu, paklik bulik dan para simbah.
Temukan hulu yang mengalirkan desir rindu.
Lalu bertolak, sembari melambungkan doa
untuk keluarga agar bersambung lestari sanad cinta.
Muntilan, 2 September 2020.
Pasar Muntilan Dini Hari
Terus berjaga hingga ujung malam. Sawi, wortel,
tomat, cabai, dingin. Ikan beku, daging
pun dingin. Sedingin jaket, sweater dan celana jin.
Tapi wajah bertemu wajah, entah karib
entah asing, mengeja alur peta rahasia kehidupan.
Meski tidak semua terang di bawah sorot lampu
dan tetap ada yang kelam dan berujung pilu
harus ada yang terjual dan terbeli
sebelum pagi hari, sebelum kaki melangkah
ke mana pergi dan nadi hidup berdenyut
memanjang lagi.
Terus terjaga. Kadang bola mata separuh terbuka.
Pasar dini hari, geliat tubuh para bakul mengais
Receh rezeki. Di bawah langit terbuka,
di antara bising lagu dangdut dan gumam doa
larut makna peristiwa: pertemuan dan perpisahan,
riuh sepi menyibak tabir malam.
Maret 2021.
402, 830
And we lived beneath the waves
In our yellow submarine
(the Beatles)
Di bawah matahari
Di bawah gelombang
Lima puluh tiga manusia
Memburu cahaya
Yang raib dari doa
Air tahu makna sujud
Paling garam
Ikan-ikan berenang di kegelapan
Lima puluh tiga manusia
Merenungi kesunyian
Lima puluh tiga manusia terus siaga
Menerjemahkan bunyi dan sunyi
Bersama paus dan lumba-lumba
Mengirim getar huruf-huruf nama
Menumbuk rumpun karang
Pulang bergema
Archimedes menemu gaya apung
Di bak mandi, sebelum masehi: eureka!
Lima puluh tiga manusia limbung
Terkepung basah tekanan hidrostatika
Apa makna gelombang lautan
Jika tubuh-tubuh telah karam
Takkan lagi timbul pertanyaan
Jika diri telah berlabuh di haribaan
Apa makna terbang di antara mega-mega
Apa rahasia menyelami rahim samudera
Doa terbang ke angkasa
Hati sujud tunjam di lubuk samudera
Delapan ratus tiga puluh meter
Di bawah wajah laut
Kapal selam pecah tiga
Harap, Luka, dan bahagia
Tak lagi berpaut
Di bawah matahari
Di bawah gelombang
Lima puluh tiga manusia
Menemu inti cahaya
Dari doa-doa
Di peluk ombak
Di pusar arus
Lima puluh tiga nama
Menjadi cahaya
Menjelma doa-doa
April 2021.
- Puisi-Puisi Agus Manaji - 20 December 2022
- Puisi-Puisi Agus Manaji: Sajak Cinta dari Dapur - 15 June 2021
- Puisi-Puisi Agus Manaji; Masker - 5 May 2020
Madya
Sedap!
Madya
Keren!
cah muntilan
Mantab Pak Gusman..Keren..!!