Puisi-Puisi Agus Manaji: Sajak Cinta dari Dapur

 

Syahadah dalam Jarak Rindu

Tiada terbantah, aku pernah tumbuh

di rahimmu. Menyusu kasih sepasang susumu.

Berlarian di pekarangan rumah berpohon jambu

melingkar-lingkar dalam jangkau

pandang cemasmu. Ibu, di teras rumah itu

angin mendesau, tapi kota-kota jauh

gemilang pukau. Anakmu menabung rindu

lewat kata-kata riak

dan sunyi spasi sajak.

 

Aku bersyahadah dalam jarak rindu

tak ada aroma tanah seharum

tanah halaman rumahmu. Tapi biarkan aku di sini

berjarak dari pandangmu: Membangun rumah,

menanam pohon mangga dan sayuran

dalam pot plastik. Saban minggu, aku masih setia

menonton nobita, doraemon dan spongebob;

Kusadur hari-hari bersamamu. Kadang,

kulihat istriku bagai dirimu, saat menggoreng tempe

dan tahu. Adakah kota-kota bercahaya

di antara kita menjelma cermin rasa?

Bukankah sawah-sawah kita di timur desa

masih membuahkan bulir-bulir padi

berkah langit bumi yang menyambung denyut nadi

gembur tanah para leluhur?

 

Aku bersyahadah

demi sepasang matamu

yang lebih haru dari drama hidupku,

demi tubuhmu

pohon rimbun naungan mimpi-mimpiku

maafkan aku selalu kanak-kanak

dan kerap membantah. Betapa diammu 

lebih tajam dari bilah belati serdadu

mengiris napasku dalam ingatan

bergaram doa, ibu.

 

Maret 2020.

 

 

Sajak Cinta dari Dapur

                             -Sinta

/1/

Antara butir-butir lada dan ketumbar, jangan tertukar.

Siung-siung bawang merah dan bawang putih

biar lebur tiada tersisih. Kita ciptakan keriuhan

pada cobek dan munthu. Senyawakan

cabai, terasi dan garam. Rekatkan

pertemuan sothel dan wajan.

 

Di dapur, kita tiada terpencil. Kita tidak menggigil

menghadapi nyala api, merengkuh wortel, kobis

dan jamur. Melebur asin pedas ke dalam tahu,

tempe dan telur. Tapi sungguh, kaulah gurih rinduku.

 

/2/

Ke mana saja kita selama ini? Berabad hilang

di antara kertas-kertas penuh angka perhitungan

mencoba berkelit dari rayuan rabat harga barang-barang

yang mengempas kita dalam kesepian panjang.

Akhirnya, di sini, kubenamkan bibirku ke pipimu

juga ke lehermu jenjang sedingin tubuh kentang.

 

Lalu berbagi sebiji tomat merah darah

semburat, sebelum kucuri satu dua pelukan pada perut

dan pinggulmu yang subur. Kau menahan tawa.

Dua ekor tikus mengendap mesra

di kolong meja. Sekor cecak sembunyi iri

di antara barisan gelas piring. Hidup mengiring

hembusan napas kita searah darah dan getah kering

; Melarutkan kau aku dalam kuah bening.

 

Di dapur, rindu tak terukur

sebab jarak cuma serapuh cangkang telur.

Sepanci nyeri memeluk senyum.

Semangkuk hidup di atas meja

di bawah langit-langit. Kita berbagi.

Lihat, tiga anak kita!

 

Muntilan, September 2020.

 

 

MENYUSUR HUTAN

                   -hutan lereng Merbabu

Di lantai hutan tropis, di bawah tudung daun

kata-kata lahir selirih derik jangkrik.

Di tubuh ramping pepohonan, menjulang air mata

memanjat pembuluh kayu hingga reranting

dan stomata. Rahasia bumi sehumus rahasia langit,

telanjang semata. Hanya berkerudung kemurnian

yang kerap luput dari keinginan manusia.

 

Sepasang mata kera memantulkan cahaya.

Bulu-bulu burung merona warna.

Tak ada kamus, hanya kata baur nama.

Hanya makna lebur kata. Sel-sel pembuluh

membelah diri, memekat nama-nama

dalam getah kayu. Rindu sebuku

pada ruas-ruas bambu. Sedesir

dengan kediaman dan keheningan itu.

 

Menyusur hutan, kucari jalan pulang.

Gema suaraku menggenangi lembah.

Menyuling diri dalam angin,

mengikuti barisan semut dan terbaring

bersanding daun kering: menghumus

pupus, searah degup jantung.

 

Muntilan, September 2020.

 

 

PESAN SEORANG GURU SEJARAH DALAM KELAS

              • Puji Astuti

Catatlah kisah tentang bapak, ibu, dan para simbah.

Bagaimana mereka berladang dalam kemarau

panjang Orde Lama, atau berdagang dalam kuyup pilu

hujan Orde Baru. Tanyakan pada mereka perihal silsilah

yang mengalir tak patah-patah sepanjang pembuluh darah.

 

Amati foto-foto hitam putih dalam album

usang. Tirulah bagaimana mereka tersenyum

menyikapi penderitaan. Kalian harus bertahan

sebagaimana mereka selalu bersiasat

menemukan jalan, sebab hidup tak selalu perayaan.

 

Begitu sesak sosok sepanjang tarikh negeri.

Tanggal-tanggal memerah di lembar kalender.

Ingatlah: biar biru dalam buku. Tapi kenanglah

sepanjang napas: Bapak Ibu, paklik bulik dan para simbah.

Temukan hulu yang mengalirkan desir rindu.

 

Lalu bertolak, sembari melambungkan doa

untuk keluarga agar bersambung lestari sanad cinta.

 

Muntilan, 2 September 2020.

 

 

Pasar Muntilan Dini Hari

 

Terus berjaga hingga ujung malam. Sawi, wortel,

tomat, cabai, dingin. Ikan beku, daging

pun dingin. Sedingin jaket, sweater dan celana jin.

Tapi wajah bertemu wajah, entah karib

entah asing, mengeja alur peta rahasia kehidupan.

 

Meski tidak semua terang di bawah sorot lampu

dan tetap ada yang kelam dan berujung pilu

harus ada yang terjual dan terbeli

sebelum pagi hari, sebelum kaki melangkah

ke mana pergi dan nadi hidup berdenyut

memanjang lagi.

 

Terus terjaga. Kadang bola mata separuh terbuka.

Pasar dini hari, geliat tubuh para bakul mengais

Receh rezeki. Di bawah langit terbuka,

di antara bising lagu dangdut dan gumam doa

larut makna peristiwa: pertemuan dan perpisahan,

riuh sepi menyibak tabir malam.

 

Maret 2021.

 

 

402, 830

And we lived beneath the waves
In our yellow submarine

(the Beatles)

 

Di bawah matahari

Di bawah gelombang

Lima puluh tiga manusia

Memburu cahaya

Yang raib dari doa

 

Air tahu makna sujud

Paling garam

Ikan-ikan berenang di kegelapan

Lima puluh tiga manusia

Merenungi kesunyian

 

Lima puluh tiga manusia terus siaga

Menerjemahkan bunyi dan sunyi

Bersama paus dan lumba-lumba

Mengirim getar huruf-huruf nama

Menumbuk rumpun karang

Pulang bergema

 

Archimedes menemu gaya apung

Di bak mandi, sebelum masehi: eureka!

Lima puluh tiga manusia limbung 

Terkepung basah tekanan hidrostatika

 

Apa makna gelombang lautan

Jika tubuh-tubuh telah karam

Takkan lagi timbul pertanyaan

Jika diri telah berlabuh di haribaan

 

Apa makna terbang di antara mega-mega

Apa rahasia menyelami rahim samudera

Doa terbang ke angkasa

Hati sujud tunjam di lubuk samudera

 

Delapan ratus tiga puluh meter

Di bawah wajah laut

Kapal selam pecah tiga

Harap, Luka, dan bahagia

Tak lagi berpaut

 

Di bawah matahari

Di bawah gelombang

Lima puluh tiga manusia

Menemu inti cahaya

Dari doa-doa

 

Di peluk ombak

Di pusar arus

Lima puluh tiga nama

Menjadi cahaya

Menjelma doa-doa

 

April 2021.

Agus Manaji
Latest posts by Agus Manaji (see all)

Comments

  1. Madya Reply

    Sedap!

  2. Madya Reply

    Keren!

  3. cah muntilan Reply

    Mantab Pak Gusman..Keren..!!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!