MANUSKRIP LAKU PERTAPA
Betapa aku gagal jadi laku pertapa
layaknya Santo Paulus demi menyepikan
cintaku yang ingin suci dari muaknya aku
dengan kegaduhan. Mengibadahkan beberapa ratapan
karena rinduku tak pernah cukup
dengan pertemuan, tanpa bertahan menantang malam
yang mudah mengajakku melangkah pamit
sebelum isyarat menggamit engkau pahami
muara bagi perindu.
Engkau pernah mendengar kisahku bukan?
Kapal karam yang dihantam tebal ombak
seperti kepal tanganku yang mudah terbuka,
merasa lemah menjagamu—rapuh tanpa
engkau menyebut dirimu tepi pantai
demi menjaga rebahku dari sisa-sisa
yang sia-sia merenangi lautan.
Ajarilah aku menjadi yang bukan
engkau mimpikan. Ajarilah aku menjadi
apapun, kecuali jangan engkau mengajariku
mengejar mimpi-mimpimu, agar aku
jadi pendongeng yang susah berhenti
sebelum lonceng berdenting.
Sejak menjadi perindu,
aku tak mahir menipumu dengan bisikan.
Sebab, yang kudalami dari seketika,
ranting kokoh juga bakal rapuh dibanting cuaca.
Serapuh-rapuhnya aku,
ingin engkau memilihku
tanpa menengok masa lalu
adalah memiliki dengan cara yang
tak mesti jadi pertapa.
MANUSKRIP BAHAYA MENGHIRUP UDARA
Tak kupasrahkan mataku menumpu ketiadaan
tanpa meneteskan airmata.
Sebab kutahu kehilangan selalu kejam
layaknya pembunuhan Yesus di kayu salib.
Tak kukehendaki sesal kutampung.
Tubuh ini tak kuat tanpa pelampung.
Kusadari akan ada yang tumbang
jika benar-benar dukacita yang paling lara menumpuk.
Engkau tetap bertahan,
kendati yang kuharapkan
bukan diinginkan perasaanku.
Engkau tak ingin aku berlari sejauh
sekencang-kencangnya pada apa yang masih engkau tempuh
dari beratnya aku menimbang masa lalumu.
Duka seorang yang tulus menjadi pecinta,
walau terkubur, kaki yang selalu kuat bertengger
di ranting kehidupan yang kebal diterpa musim.
Dan aku merasa, engkau tak pernah keberatan
memompa jantungku yang selalu bahaya
menghirup udara.
MANUSKRIP TUBUHMU DI TUBUHKU
Kehilanganmu, jatuh cinta
yang amat dalam, tapi perlahan tertutup
dengan perih yang coba aku sepakati.
Walau, banyak perihal yang sulit kuterima,
salah satunya, jejak kebersamaan yang kuharapkan aman,
tak lagi nyaman layaknya pelukan
yang pertama kali di darat tubuhmu di tubuhku.
Aku tak tahu bagaimana cara
melarangmu lagi, tapi sungguh aku sedikit lelah
walau, aku sadar bukan penakluk yang baik
layaknya Jenghis Khan yang menyatukan bangsa Mongolia.
Tak kupandang yang kuperbuat ini sia-sia belaka
kendati yang kuperoleh mungkin celaka
demi mengupayakan membuatmu jera.
Tak membiarkan tanganmu
digamit orang yang membuatku
mengenal tangis, sungguh tak bisa kutepis.
Tak ada ketulusan yang sungguh-sungguh mulus kutangkis
dari caramu membuang seluruh langkahku kedepan
—misal, berhati-hati menjaga kunci perasaanmu,
agar tak salah memasuki lubang
yang selama ini engkau percayai
letak tubuhmu di tubuhku.
SEBAB, JARAK DAN KEPERGIAN IALAH KHIANAT
You walked into my life to stop my tears.
Everything’s easy now I have you here.
—Diana Ross “When You Tell Me That You Love Me”
Engkau telah mengatakannya.
Walau, hati terluka.
Sebab, jarak dan kepergian ialah khianat.
Aku membuang ragu, tanpa canggung
membayangkan dagu ini
pernah dibuat runcing airmata
yang gagal tumpul.
Cintaku bersemayam, engkau tak tahu pendam.
Merawat rindu demi melawan
tekanan batin yang belum tuntas kukatakan.
“Aku hanya ingin melakukan berdasarkan hatiku
dan kepada orang yang tidak akan pergi,” katamu.
Sebelum engkau tersipu.
Engkau memukau lewat matamu
yang terbuka lebar seperti jendela pada pagi hari.
Aku mengundang jatuh cinta ini seumpama
rekaman lagu yang kuciptakan demi membuatmu tidur lebih cepat.
Engkau membuatku berani meregang nyali.
Sekalipun aku direnggut takut.
AKU INGIN SETERUSNYA MENCINTAIMU
DARIPADA MEMILIKIMU SELAMANYA
Kata-kataku tercabut dari lidah burung.
Merdu berkicau—di hatimu bergurau.
Tapi, tak kupahami,
ia merinding pilu atau mengulang luka.
Aku rela mengecil jadi apapun,
jika engkau menginginkannya.
Hanya engkau rahasia segala persembunyianku.
Secukupnya kuberi engkau tangis.
Tak lebih dari mencapaimu menjadi bulan bulat penuh.
Menebus yang sulit kujangkau di alam tidur matamu.
Ketika badai rindu datang menjerat jelang petang.
Di sudut keningmu, aku berpegangan sekuat-kuatnya.
Agar, kutahu tenaga dan ketenangan
macam apa yang mesti kuperbuat.
Engkau lubang jarum dan aku benang.
Saling tak berdaya percaya menyatu
menyulam kain hati yang belum jadi.
Gigil tanggal di tubuhmu,
sedang selimut tinggal di tubuhku.
Masih enggan saling berdekatan dan berdekapan
membunuh curiga.
Kata-katamu tertancap mengakari lidahku.
Kian tertambat tak tumbang menampung
tetes kecemasan.
JIKA SALING MEMBELAKANGI
Kita rekat, walau sempit dan sempat
adalah misteri yang bergemuruh beriringan pecah
di dada. Demi cinta datang mengakali pagi,
siapa sangka? Kita mengawali hari
dengan penjelasan-penjelasan
yang memalaskan ketakutan mengerjap pikiran.
Kemudian, kita meraut harapan yang larut
ke dalam laut jiwa—yang pada mata kita
diganggu gelap. Tapi, tak surut di kulit.
Angin berhembus malas melewati daun jendela dengan diam.
Kipas angin yang kaku dihinggapi debu.
Kita raup keringat yang ragu bersikeras terpaut
meleleh tanpa rasa bersalah panas yang berlebihan.
Atau teriakan yang punya alasan pada gabungan suara kita.
Betapa rebah, walau tak cukup kuat dikatakan lemah.
Menempuh detik demi detik yang leluasa
meluas di tubuh kita dengan menata jarak paling lekat.
Menekan perih yang menangis di pundak.
Perihal bahagia yang disesali tertancap menyantap.
Tertampung menumpu tubuh yang tak pandai
kenal pelampung dan merampung hal-hal kecil
yang meredam sesal jika tak berhadapan.
Mungkin saling membelakangi punya daya.
Meski, waktu mengurang dan mengurung napas kita yang panjang.
Singkat yang penat telah hilang lebih dulu
sebelum kita melepas resah. Kadang-kadang rindu
kuat bersembunyi di balik ketakutan
dan dari segala rahasia yang percuma menegangkan.
Kita merawat rindu demi melawan masa lalu.
CARA MEMILIH KEBAHAGIAAN
1.
Aku tak akan pernah menyadap tanggapmu,
jika bahagia mengerang,
karena meregang rindu yang mengalah
dengan pertemuan.
Engkau rekat menatapku, dari kebeningan
yang kusiapkan di mataku, agar engkau
bisa bercermin kapan pun.
2.
Bahagia memiliki kedalaman yang kususuri
bukan hanya di hatimu.
Ingatanmu mesti tetap terarah pada jalanku
memilihmu sepenanggungan denganku.
Agar, hati menjaga hati
tetap berhati-hati menimbang hari-hari
yang menumpuk tantangan
di setangkup tangan yang sulit teraba.
3.
Sederhananya, kita mengalimatkan apapun.
Kebahagiaan selalu terbatas diindah-indahkan
jika diluapkan berlebihan atau hanya dipendam.
Sebab, lebih memilih menimbang-nimbang
kebersamaan yang penuh derita,
cara bahagia yang bisa dipahami pengajaran
menghilangkan kekurangajaran kita dalam menerka.
IBUKU SENANG MEMASAK
Buat: Sitti Nurhaedah
Cerita ini berlangsung ketika aku masih di tanah asal.
Perantauan adalah rindu pada ibu dan masakannya.
Ibuku senang memasak. Aku senang memakan masakannya.
Tak sekalipun kudengar keluhan atas keinginanku yang selalu berubah-ubah.
Selalu mengutarakan aba-aba berbagai keinginan menu makanan yang mesti kumakan.
Aku senang dimasakkan ibu beserta semua yang menyedot perhatianku
pada seorang yang entah dari mana datangnya kusebut kekasih.
Aku tak pernah menyatakan, sesuatu yang menyangkutkan hatinya bersamaku.
Hanya saja, bahasa yang tubuh kami utarakan sudah mewakili segala hal
yang dirasakan sampai pemahaman yang dibenci juga mengikut.
Aku senang menyebutnya kekasihku.
Soal ini, tak tahu, apakah ibuku senang mendengar,
bahwa aku sudah memiliki kekasih yang suka memakan apa saja.
Kecuali, hati dan segala yang membuatnya terluka.
Aku dan kekasihku pandai memaksudkan cerita,
terkait dengan ibuku yang senang memasak.
Aku beruntung, memiliki dua wanita.
Di tanah asal dan perantauan.
Dimiliki selalu memberitahuku
cara meminta masakan enak pada keduanya.
Cara yang hanya dibisikkan sekali saja,
selalu jatuh cinta pada masakan.
PUISI INI MENGAJARKANKU UNTUK BERTERUSTERANG SEKALIGUS MENJAWAB PERTANYAANMU, MENGAPA AKU MELAKUKAN HAL YANG BISA MEMBUATKU MALU NAMUN AKU YAKIN TAK AKAN PERNAH KETAHUAN SAAT MELAKUKANNYA
Aku jatuh cinta pada pekerjaanku saat ini
dan membuatku betah menjalani segalanya.
Perpustakaan dan toko buku yang sama-sama memiliki rak
dan memampang beragam jenis sampul buku.
Kulahap, kendati sesempit apapun peluangku
untuk mengambilnya.
Tentu, aku pun pemilih. Memilih buku yang jarang dibaca orang.
Jarang diperbincangkan oleh teman-temanku.
Dua saku lebar di celana gombrangku
telah melewati berbagai macam ketegangan.
Hingga, suatu waktu aku memberhentikan ia dari pekerjaannya.
Aku menggantinya yang baru, yang lebih mudah menyelesaikan masalah
dan lebih membuat ketakutanku sedikit menghilang.
Pemberian mantan kekasih yang masih kucintai
dan sebaliknya (konon ia kembali belajar menerimaku apa adanya).
Suatu waktu, pekerjaan ini tak sendiri kulakukan.
Aku mengajak teman untuk membuat ketegangan dalam hidupnya.
Alhasil, ia berkesimpulan, nuansa ketegangan mendapatkan seorang wanita
tak akan melebihi apa yang pernah ia kerjakaan selama ini bersamaku.
Bagaikan lalat, aku mencium bau-bau buku
lalu mencicip—cecap di kamarku yang senyap.
Dengan buku, aku selalu memahami, bahwa di diri ini
ingin selalu jatuh cinta.
- Puisi-Puisi Alfian Dippahatang - 7 June 2022
- Puisi-Puisi Alfian Dippahatang; Memercayai Lemak - 4 April 2017
- Puisi-Puisi Al-Fian Dippahatang; Sebab, Jarak dan Kepergian ialah Khianat - 8 March 2016