Memercayai Lemak
Di warung makan, engkau sering
menyantap ayam bakar,
sedang aku melahap ikan masak.
Kita sama-sama suka makan daging,
karena tahu sedikit akan fungsi lemak
untuk jaringan tubuh kita
dalam pembentukan dinding sel
—menjaga stabilitas energi pada tubuh,
agar kita dapat terus bertemu
memecahkan masalah perasaan
yang deras diperas masa lalu.
Tapi, kita memang perlu secukupnya
mengonsumsi lemak selain karbohidrat
yang membuat langkah-langkah kita bisa panjang.
Setelah bosan mengamati pantai dalam kota
direklamasi tanpa menimbang aksi
orang-orang yang paham laut.
Kita pun memecah hasil tabungan kita
bepergian keluar kota melihat
kesibukan orang-orang pesisir
yang gemar menyisir rambut
ketika hendak meninggalkan rumah.
Kita lebur dengan suasana alam
yang lapang mengisap udara.
Perut kenyang dari tangkapan jala
nelayan yang mencintai kesabaran.
Mengajari kita tidak tergesa-gesa
menuntut hubungan kita
yang mengerti perbedaan
merdeka dan bebas.
Di tas ranselmu selalu ada biji bunga matahari,
makanan favoritmu yang setiap
kali kita bertemu, engkau mendesakku
menemanimu memborong banyak
jenis biji bunga matahari di toko
yang jalannya satu arah
sebelum lampu merah perempatan
dan kita harus memutar.
Kita senang bepergian mengendarai
motor butut keluaran 90-an.
Motor yang pernah digunakan
ayahku berdagang. Kini, warisan
paling kujaga dari peninggalannya.
Kita selalu bergairah bercerita persoalan
berat badan yang berhasil membuat
orang-orang resah pada fisik kita
bukan batinku dan batinmu
yang dirundung masalah keluarga
dari hubungan panjang ini.
Di Ruang Tamu
Engkau akan mengirimkanku
pesan terlebih dahulu sebelum meneleponku.
Engkau takut aku ketiduran
karena, kemalaman pulang ke rumah.
Jika aku menerima teleponmu.
Lampu kamar selalu kupadamkan.
Kiranya, seluruh kata yang liar
dari mulutmu bisa kutangkap dalam gelap.
Bisa jinak tanpa mendesakmu
harus datang malam nanti.
“Makan coto lagi?”
Engkau akan menasihatiku
jika mengatakan ya.
Sebab, kedua pipiku sudah
bengkak ditumpuk lemak.
Katamu, dulu engkau sering makan
Sup Ayam. Hingga, engkau putuskan
berhenti, karena saran dokter
engkau takuti ketimbang
makanan yang selama ini
membuat badanmu membesar.
Di sana, engkau keluhkan resahmu
yang tak kupahami itu cinta
atau hanya jedamu diperas kekecewaan.
Segala curiga di pikiranku
hanya sebatas curiga yang tak tahu apa-apa.
Aku di sini, tak berguna menerka.
Ada banyak rencana yang berkejaran
kita susun. Hanya sebatas menenangkan
resah yang timbul tenggelam, setelahnya
hanya sia-sia dan ratapan.
Di ruang tamu, tak pernah ada engkau.
Memeluk Wortel, Memeluk Engkau
Apakah engkau baru akan pulang
jika mendengar kabar lenganku
tak lagi kuat menahan beban?
Buku-buku, pakaian belum dicuci,
botol bekas, dan bungkusan mie
berserakan di kamarku
yang tak pernah bersih jika engkau
tak datang bertamu.
Di kamarku, ada bantal berbentuk wortel
yang engkau jahit. Aku senang engkau
berusaha menghadiakannya.
Sebab, kita tak pernah melihat ada toko
yang menjual itu di Makassar.
Jauh harum tubuhmu tak lagi kuhirup.
Tapi, jejakmu tak pernah surut kukenang.
Aku gampang rindu padamu.
Gampang membayangkan tubuhmu
jika melihat berat badanku dari 45 kg
menjadi 69 kg selama setahun lebih
pernah bersamamu mengonsumsi
makanan yang kaya lemak.
Aku memelihara rindu yang tiap kali
memeluk bantal berbentuk wortel,
aku merasa memeluk engkau hangat
dan erat, sekaligus lepas dari pelukanku.
Panduan Menurunkan Berat Badan
Aku harus mengikuti beberapa tips
seperti mengurangi minum air es,
mengurangi makanan berlemak,
mengurangi karbohidrat, mengurangi makan gorengan,
mengurangi gula dalam teh,
memilih jalan kaki dan banyak hal memuakkan lainnya.
Betapa memuakkannya juga meluangkan waktu
untuk lari-lari, senam, renang, atau bersepeda.
Kesemua itu bentuk perhatianmu yang mahal.
Aku bangga engkau ada di sisiku.
Tak ada waktu, begitu selalu alasanku.
Setiap kita bertemu di kafe,
engkau selalu mengulas pentingnya
hidup sehat dan bugar.
Aku hanya sedikit acuh.
Kini engkau sudah pergi.
Aku menyesal tak mendengarkan ucapanmu.
Hanya menggenggam tangan ibuku sendiri aku lemah.
Kembalilah Engkau Ibu, Pergilah Engkau Kekasih
Jika aku rindu masakan ibu,
aku memilih datang ke rumahmu
meminta dimasakkan coto
—makanan favoritku setahun terakhir ini.
Aku senang engkau mahir mengukur
racikan kuah yang lezat di lidahku.
Dulu, ibu gemar memaksaku
mencoba makan coto yang selalu
terhidang di meja makan
dalam rangka menyambut hari raya keagamaan.
Tapi, aku menolaknya.
Bujuk rayu ibuku,
tak berhenti sampai di situ.
Aku masih ingat—ibuku sangat sibuk di dapur
menanti kedatangan kakak lelakiku
bersama istrinya yang baru dinikahinya di Jakarta.
Ibu membuat banyak porsi coto untuk memperkenalkan
makanan tradisional Sulawesi Selatan
kepada kakak iparku. Waktu itu, hatiku belum tunduk mencicipi
karena aku sakit dan dituntut hanya makan bubur.
Seluruh perasaan tak suka itu terkubur.
Entah dari mana datangnya,
sepulang dari acara ulang tahun temanku
di sebuah hotel di Makassar.
Tengah malam itu aku tiba-tiba singgah
di warung yang hanya menyediakan menu coto.
Mataku berkaca-kaca sebelum mencicipi
makanan itu dan ibu tak pernah melihatku
berpeluh mencicipi kuah coto.
Begitulah, jika aku rindu masakan ibu,
aku memilih datang ke rumahmu.
Hingga, pada suatu hari,
sengaja aku tak mengabari kedatanganku.
Aku berdiri di halaman rumahmu.
Melihatmu dari luar jendela
mesra bersama lelaki lain di dapur.
- Puisi-Puisi Alfian Dippahatang - 7 June 2022
- Puisi-Puisi Alfian Dippahatang; Memercayai Lemak - 4 April 2017
- Puisi-Puisi Al-Fian Dippahatang; Sebab, Jarak dan Kepergian ialah Khianat - 8 March 2016