Puisi-Puisi Alfian Dippahatang; Memercayai Lemak

pinimg.com

Memercayai Lemak

 

Di warung makan, engkau sering

menyantap ayam bakar,

sedang aku melahap ikan masak.

Kita sama-sama suka makan daging,

karena tahu sedikit akan fungsi lemak

untuk jaringan tubuh kita

dalam pembentukan dinding sel

—menjaga stabilitas energi pada tubuh,

agar kita dapat terus bertemu

memecahkan masalah perasaan

yang deras diperas masa lalu.

 

Tapi, kita memang perlu secukupnya

mengonsumsi lemak selain karbohidrat

yang membuat langkah-langkah kita bisa panjang.

 

Setelah bosan mengamati pantai dalam kota

direklamasi tanpa menimbang aksi

orang-orang yang paham laut.

Kita pun memecah hasil tabungan kita

bepergian keluar kota melihat

kesibukan orang-orang pesisir

yang gemar menyisir rambut

ketika hendak meninggalkan rumah.

 

Kita lebur dengan suasana alam

yang lapang mengisap udara.

Perut kenyang dari tangkapan jala

nelayan yang mencintai kesabaran.

Mengajari kita tidak tergesa-gesa

menuntut hubungan kita

yang mengerti perbedaan

merdeka dan bebas.

 

Di tas ranselmu selalu ada biji bunga matahari,

makanan favoritmu yang setiap

kali kita bertemu, engkau mendesakku

menemanimu memborong banyak

jenis biji bunga matahari di toko

yang jalannya satu arah

sebelum lampu merah perempatan

dan kita harus memutar.

Kita senang bepergian mengendarai

motor butut keluaran 90-an.

Motor yang pernah digunakan

ayahku berdagang. Kini, warisan

paling kujaga dari peninggalannya.

 

Kita selalu bergairah bercerita persoalan

berat badan yang berhasil membuat

orang-orang resah pada fisik kita

bukan batinku dan batinmu

yang dirundung masalah keluarga

dari hubungan panjang ini.

 


 

Di Ruang Tamu

 

Engkau akan mengirimkanku

pesan terlebih dahulu sebelum meneleponku.

Engkau takut aku ketiduran

karena, kemalaman pulang ke rumah.

 

Jika aku menerima teleponmu.

Lampu kamar selalu kupadamkan.

Kiranya, seluruh kata yang liar

dari mulutmu bisa kutangkap dalam gelap.

Bisa jinak tanpa mendesakmu

harus datang malam nanti.

 

“Makan coto lagi?”

Engkau akan menasihatiku

jika mengatakan ya.

Sebab, kedua pipiku sudah

bengkak ditumpuk lemak.

Katamu, dulu engkau sering makan

Sup Ayam. Hingga, engkau putuskan

berhenti, karena saran dokter

engkau takuti ketimbang

makanan yang selama ini

membuat badanmu membesar.

 

Di sana, engkau keluhkan resahmu

yang tak kupahami itu cinta

atau hanya jedamu diperas kekecewaan.

Segala curiga di pikiranku

hanya sebatas curiga yang tak tahu apa-apa.

Aku di sini, tak berguna menerka.

 

Ada banyak rencana yang berkejaran

kita susun. Hanya sebatas menenangkan

resah yang timbul tenggelam, setelahnya

hanya sia-sia dan ratapan.

 

Di ruang tamu, tak pernah ada engkau.

 

 

Memeluk Wortel, Memeluk Engkau

 

Apakah engkau baru akan pulang

jika mendengar kabar lenganku

tak lagi kuat menahan beban?

 

Buku-buku, pakaian belum dicuci,

botol bekas, dan bungkusan mie

berserakan di kamarku

yang tak pernah bersih jika engkau

tak datang bertamu.

 

Di kamarku, ada bantal berbentuk wortel

yang engkau jahit. Aku senang engkau

berusaha menghadiakannya.

Sebab, kita tak pernah melihat ada toko

yang menjual itu di Makassar.

 

Jauh harum tubuhmu tak lagi kuhirup.

Tapi, jejakmu tak pernah surut kukenang.

Aku gampang rindu padamu.

Gampang membayangkan tubuhmu

jika melihat berat badanku dari 45 kg

menjadi 69 kg selama setahun lebih

pernah bersamamu mengonsumsi

makanan yang kaya lemak.

 

Aku memelihara rindu yang tiap kali

memeluk bantal berbentuk wortel,

aku merasa memeluk engkau hangat

dan erat, sekaligus lepas dari pelukanku.

 


 Panduan Menurunkan Berat Badan

 

Aku harus mengikuti beberapa tips

seperti mengurangi minum air es,

mengurangi makanan berlemak,

mengurangi karbohidrat, mengurangi makan gorengan,

mengurangi gula dalam teh,

memilih jalan kaki dan banyak hal memuakkan lainnya.

 

Betapa memuakkannya juga meluangkan waktu

untuk lari-lari, senam, renang, atau bersepeda.

Kesemua itu bentuk perhatianmu yang mahal.

Aku bangga engkau ada di sisiku.

 

Tak ada waktu, begitu selalu alasanku.

Setiap kita bertemu di kafe,

engkau selalu mengulas pentingnya

hidup sehat dan bugar.

Aku hanya sedikit acuh.

 

Kini engkau sudah pergi.

Aku menyesal tak mendengarkan ucapanmu.

Hanya menggenggam tangan ibuku sendiri aku lemah.

 

 

Kembalilah Engkau Ibu, Pergilah Engkau Kekasih

 

Jika aku rindu masakan ibu,

aku memilih datang ke rumahmu

meminta dimasakkan coto

—makanan favoritku setahun terakhir ini.

Aku senang engkau mahir mengukur

racikan kuah yang lezat di lidahku.

 

Dulu, ibu gemar memaksaku

mencoba makan coto yang selalu

terhidang di meja makan

dalam rangka menyambut hari raya keagamaan.

Tapi, aku menolaknya.

Bujuk rayu ibuku,

tak berhenti sampai di situ.

 

Aku masih ingat—ibuku sangat sibuk di dapur

menanti kedatangan kakak lelakiku

bersama istrinya yang baru dinikahinya di Jakarta.

Ibu membuat banyak porsi coto untuk memperkenalkan

makanan tradisional Sulawesi Selatan

kepada kakak iparku. Waktu itu, hatiku belum tunduk mencicipi

karena aku sakit dan dituntut hanya makan bubur.

 

Seluruh perasaan tak suka itu terkubur.

Entah dari mana datangnya,

sepulang dari acara ulang tahun temanku

di sebuah hotel di Makassar.

Tengah malam itu aku tiba-tiba singgah

di warung yang hanya menyediakan menu coto.

 

Mataku berkaca-kaca sebelum mencicipi

makanan itu dan ibu tak pernah melihatku

berpeluh mencicipi kuah coto.

 

Begitulah, jika aku rindu masakan ibu,

aku memilih datang ke rumahmu.

Hingga, pada suatu hari,

sengaja aku tak mengabari kedatanganku.

 

Aku berdiri di halaman rumahmu.

Melihatmu dari luar jendela

mesra bersama lelaki lain di dapur.

Alfian Dippahatang

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!