Puisi-Puisi Anis Chouchene

 

Wahai Manusia

aku datang ke sini

tidak untuk bertanya kabar tentangmu

aku datang ke sini

tidak untuk menyatakan bahwa aku lebih baik darimu

inilah bagian-bagian pertanyaan yang tak pernah ditanyakan

aku datang hanya untuk membela sebuah pemikiran

di mana dunia yang menjunjung kebebasan berpikir ini telah diberangus

aku datang membawa segalaku untuk mengumumkan perlawanan

demi seluruh umat manusia yang kini tercerabut kemanusiaannya

aku datang untuk menyatakan dukungan

demi anak-anak kecil yang telantar

demi anak-anak kecil yang terusir dari tanah airnya

demi anak-anak kecil yang terampas masa kecilnya

dan tercerabut kebebasannya

aku datang untuk menyatakan dukungan

demi orang-orang yang diperbudak atas nama warna kulitnya

aku datang untuk menyatakan dukungan

demi suatu bangsa yang dibasmi atas nama golongan dan sukunya

sekali lagi aku datang untuk mengingatkanmu

kau adalah bagian dari diriku

dan aku adalah bagian dari dirimu

aku datang oh, saudaraku, untuk bertanya:

bayangkan jika nenek moyang kita yang pertama datang hari ini

bertanya tentang kerusakan ini

tentang perubahan ini

tentang penyimpangan ini

tentang pembunuhan ini

tentang kehancuran ini

bagaimana bisa kita tiba di ujung terowongan ini

apa yang bisa kita jawab, wahai manusia?

jika ia datang dan berkata: anak-anakku bagaimana kabar kalian?

bagaimana bisa kebaikan telah dikuburkan

bagaimana bisa keburukan tersebar di antara kalian

bagaimana bisa cinta dalam diri ini meminta perlindungan

bagaimana bisa kebencian menyala dalam jiwa kalian

bagaimana bisa kemanusiaan lenyap dari kalian

bagaimana jika dugaan itu membuatnya kecewa

pikirlah baik-baik wahai anak bapakku

bukalah seribu pintu yang kau miliki

pikirlah baik-baik wahai manusia

sebelum kau menjawab.

 


Aku Hanyalah Warga Negara Biasa

aku hanyalah seorang warga negara

seorang warga negara biasa

satu-satunya yang kuinginkan

ialah menggunting pita

bukanlah pita pembukaan suatu pabrik baru

melainkan di pabrik aku digiring dengan besi

di jalanan, digiring dengan besi

dalam diriku, digiring dengan besi

inilah aku, seluruh kerabatku

dan semua teman-temanku

beginilah kami sejak dilahirkan

kami dan semua keluarga kami

kami dan seluruh bangsa kami

kecuali mereka yang dikecualikan dan para tirani

merekalah yang memiliki budak-budak dan negeri ini

merekalah yang memiliki sejarah dan kehormatan

sedangkan kami dalam kurungan besi

kita tinggal di pekuburan

mereka tinggal di istana

aku tak menginginkan istana

pun tak ingin merebut sejarah mereka

aku hanyalah warga negara biasa

satu-satunya yang kuinginkan adalah menggunting pita

sebenar-benar yang kuinginkan dalam impianku

ialah hidup di negeriku tanpa rasa takut dan teraniaya

di mana mereka tidak merampas pikiranku

tidak membatasi berita-berita tentang kami

membiarkan kesadaran pada setiap insan tetap merdeka

dan yang berkata: tidak, tidak dijebloskan ke penjara

tidak menuduhku radikal dalam berpikir

tidak menganggap bencana jika kami memiliki hati

 di negeriku ada banyak pemikiran terselubung

dan yang melakukan revolusi akan dihabisi

impian menjelma seorang zindik

dan yang berani melawan adalah penjahat

aku hanyalah warga negara biasa

satu-satunya yang kuinginkan

ialah hidup tanpa harus menyembah pemerintah di negeriku

sebab yang mesti kusembah adalah tuhanku

kau bukanlah raja dan aku babunya

kita semua anak cucu Adam

dan Adam hanyalah manusia

 

 

Diktator-Diktator Dunia

wahai umat manusia, dengarlah!

genderang perang kini telah ditabuh

tatkala genderang kian gaduh ditabuh

impian dalam diri kita menangis

genderang perang adalah kakak tertua

seolah-olah kita saudara-saudaranya

tak kuasa mengambil pelajaran darinya

seakan-akan pada sejarah kita yang malang ini kita tidak mengerti

tatkala genderang perang ditabuh

seluruh hakmu, oh, manusia, akan dirampas

keamanan dan kedamaian akan dirampas

arti sebuah kehormatan akan dirampas darimu

genderang perang para diktator tak akan berbelas kasih

mereka adalah diktator-diktator yang

menganggapmu memiliki hak hidup berlebih

tentu, bukan persoalan

jika menjadikanmu sebagai gelandangan

jika mengusirmu, dan menjadikanmu tercerai-berai

ayolah oh, para diktator

maklumatkanlah perang terkutuk ini

gempurlah kota-kota kami dengan sempurna

lalu beritakanlah dengan tajuk:

inilah perang untuk perdamaian

tapi, ingatlah matahari tak akan bersinar untuk kalian

melainkan dari rahim reruntuhan

tabuhlah, oh, genderang Perang, tabuhlah!

lalu rampaslah seluruh hak asasiku

bagaimana bisa masuk akal?

sedangkan warga-warga sipil dibunuh

atas nama perdamaian

atas nama kesucian

bagaimana bisa masuk akal?

sedangkan manusia-manusia diperjualbelikan

manusia-manusia dibinasakan

demi mata uang para pedagang manusia

demi para pedagang senjata dan alat perang

bagaimana bisa masuk akal?

wahai perserikatan bangsa-bangsa

oh, tempat berlindung semua bangsa yang teraniaya

wahai yang mendeklarasikan hak asasi setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri

tetapi diktator-diktator dunia menyusup

pada kedalaman hati masing-masing mereka

di manakah hak asasi manusia-manusia biasa ini?

manusia yang tak akan pernah ditemukan dalam peta

perempuan-perempuan mereka disandera

laki-laki mereka dibunuh

rumah-rumah mereka dihancurkan

anak-anak kecil mereka dibungkam

kekayaan mereka dirampas

peradaban mereka dicuri dan hapuskan dari sejarah

bagaimana bisa masuk akal?

bagaimana bisa diterima?

bagaimana tentang semua ini

para diktator dunia tidak ditanya?

tabuhlah oh genderang perang, tabuhlah

tabuhlah, tabuhlah, tabuhlah!

ayo rampaslah aku

rampas semua yang tersisa dari hak asasiku

wahai diktator-diktator dunia

kemarilah, kemarilah, oh, kemarilah

mari “bergabunglah” dalam kejahatan

tapi, ingatlah, meski kau bisa melakukannya

meski kau bisa berperang

meski kau bisa merampok

meski kau bisa merampas

dan mengepung suatu bangsa

meski kau bisa membakar jalan-jalan

meski kau bisa memblokade batas-batas

kau tak akan pernah bisa merampas pemilik dunia ini

dengan sebenar-benarnya.

 

 

Tanpa Judul

kau dan aku

kita lahir di sebuah negeri

orang-orang menyebutnya; Arab

artinya

kini, aku berbicara padamu

secara natural, tentu, kau melihatku berbicara dengan bahasa Arab

karena kau sendiri orang Arab

dia orang orang

perempuan itu orang Arab

dan aku?

ini tidak penting

yang terpenting

aku memiliki tumpukan pertanyaan untukmu, wahai orang Arab

yang membonceng ketika ada revolusi

yang bersekongkol dengan orang asing ketika merampok

yang tak berkata apa-apa ketika orang asing merampas tanah dan kehormatannya

yang merasa bosan dalam masalah yang tak terselesaikan, lalu menghilang

yang menjelma orang asing

yang menabuh genderang lalu mengagung-agungkan

di hadapan raja dan penguasa ia bangkit

yang suka mendengar lalu mengulang-ulangi

ketika hilang akalnya, tak lagi mengulangi

yang belajar rendah hati dan tunduk

lalu lupa kepada selain Allah tak boleh rukuk

yang suka menimbun harta

sedangkan bangsanya sendiri kelaparan dan sengsara

berkhianat dan tak kembali

yang memerangi kesenian dan nyanyian-nyanyian

yang menghalalkan pikiran kami untuk memperbudak perempuan

yang menghalalkan pikiran kami untuk memperkosa perempuan

menganggap kejahatan adalah ujian

hak asasi manusia adalah kufur dan riya’

yang merelakan bangsanya sendiri hidup dalam kehancuran

yang merelakan bangsanya sendiri hidup dalam kemunduran

yang merelakan bangsanya sendiri digelapkan pikirannya

sehingga mengaggap para filsuf adalah kafir

yang memblokade hati kami dengan gembok-gembok

yang membelenggu pikiran kami dengan ribuan belenggu

lalu mengepung hidup kami dengan halal dan haram

lalu mengajari kami bagaimana meratapi reruntuhan

bahkan pada warga negara biasa

yang tak pernah membaca kamus-kamus, bahkan al-wasith sekalipun

warga negara yang tak punya gaung dan reputasi

ke mana hilangnya pengetahuan Ibnu Sina?

apakah Ibn Jazzar tak ada lagi di antara kita?

apakah Jahiz dan Ma’arri tak ada lagi di antara kita?

wahai bangsa yang mundur dan tak bisa dibanggakan

di manakah ilmuan kita?

di manakah bendera-bendera kita?

wahai bangsa yang telah menggugurkan impian kami

sampai kapan kita akan membangga-banggakan keagungan nenek moyang

apa yang akan kita katakan jika anak-anak kita bertanya

jika anak-cucu kita bertanya

yang terlihat inilah kemuliaan kami

mengapa yang demikian hina ini adalah negeri kami

bagaimana bisa peradaban ini mundur di zaman ini

bagaimana bisa kita melupakan pembantaian Sabra dan Shatila

lalu kita rela dengan siksaan berat dari mereka

bagaimana bisa kita melupakan Palestina

kita saksikan pembantaian di balik layar televisi dengan tenangnya

mereka membakar anak-anak kecil kami

memperkosa perempuan-perempuan kami

membunuh laki-laki kami

inikah saatnya? inikah saatnya untuk mengembik?

lalu menggantungkan kegagalan kita pada keadaan

ataukah kita akan mengatakan: mundur!

sebab perang tidak lagi dengan pedang?

ataukah kita akan kembali seperti kalian pada leluhur dan nenek moyang

wahai kambing betina yang membanggakan diri di hadapan gerombolan domba

maafkan aku, oh, bangsaku, maafkan

jika aku panjang lidah

maaf aku jika panjang lebar mengatakan masyarakat domba

tapi inilah hakikat bangsa yang kehilangan kemanusiaannya

aku tak akan menunggu jawaban

sebab dari awal, pertanyaan-pertanyaanku

 tanpa judul.

 

 

 

 

Tentang Penerjemah:

            Fazabinal Alim, Lahir di Sumenep, 2 Januari 1993. Menerjemah buku-buku bahasa Arab. Berkhidmah di Pondok Pesantren Raudlah Najiyah Guluk-Guluk Sumenep.

Anis Chouchene
Latest posts by Anis Chouchene (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!