Wahai Manusia
aku datang ke sini
tidak untuk bertanya kabar tentangmu
aku datang ke sini
tidak untuk menyatakan bahwa aku lebih baik darimu
inilah bagian-bagian pertanyaan yang tak pernah ditanyakan
aku datang hanya untuk membela sebuah pemikiran
di mana dunia yang menjunjung kebebasan berpikir ini telah diberangus
aku datang membawa segalaku untuk mengumumkan perlawanan
demi seluruh umat manusia yang kini tercerabut kemanusiaannya
aku datang untuk menyatakan dukungan
demi anak-anak kecil yang telantar
demi anak-anak kecil yang terusir dari tanah airnya
demi anak-anak kecil yang terampas masa kecilnya
dan tercerabut kebebasannya
aku datang untuk menyatakan dukungan
demi orang-orang yang diperbudak atas nama warna kulitnya
aku datang untuk menyatakan dukungan
demi suatu bangsa yang dibasmi atas nama golongan dan sukunya
sekali lagi aku datang untuk mengingatkanmu
kau adalah bagian dari diriku
dan aku adalah bagian dari dirimu
aku datang oh, saudaraku, untuk bertanya:
bayangkan jika nenek moyang kita yang pertama datang hari ini
bertanya tentang kerusakan ini
tentang perubahan ini
tentang penyimpangan ini
tentang pembunuhan ini
tentang kehancuran ini
bagaimana bisa kita tiba di ujung terowongan ini
apa yang bisa kita jawab, wahai manusia?
jika ia datang dan berkata: anak-anakku bagaimana kabar kalian?
bagaimana bisa kebaikan telah dikuburkan
bagaimana bisa keburukan tersebar di antara kalian
bagaimana bisa cinta dalam diri ini meminta perlindungan
bagaimana bisa kebencian menyala dalam jiwa kalian
bagaimana bisa kemanusiaan lenyap dari kalian
bagaimana jika dugaan itu membuatnya kecewa
pikirlah baik-baik wahai anak bapakku
bukalah seribu pintu yang kau miliki
pikirlah baik-baik wahai manusia
sebelum kau menjawab.
Aku Hanyalah Warga Negara Biasa
aku hanyalah seorang warga negara
seorang warga negara biasa
satu-satunya yang kuinginkan
ialah menggunting pita
bukanlah pita pembukaan suatu pabrik baru
melainkan di pabrik aku digiring dengan besi
di jalanan, digiring dengan besi
dalam diriku, digiring dengan besi
inilah aku, seluruh kerabatku
dan semua teman-temanku
beginilah kami sejak dilahirkan
kami dan semua keluarga kami
kami dan seluruh bangsa kami
kecuali mereka yang dikecualikan dan para tirani
merekalah yang memiliki budak-budak dan negeri ini
merekalah yang memiliki sejarah dan kehormatan
sedangkan kami dalam kurungan besi
kita tinggal di pekuburan
mereka tinggal di istana
aku tak menginginkan istana
pun tak ingin merebut sejarah mereka
aku hanyalah warga negara biasa
satu-satunya yang kuinginkan adalah menggunting pita
sebenar-benar yang kuinginkan dalam impianku
ialah hidup di negeriku tanpa rasa takut dan teraniaya
di mana mereka tidak merampas pikiranku
tidak membatasi berita-berita tentang kami
membiarkan kesadaran pada setiap insan tetap merdeka
dan yang berkata: tidak, tidak dijebloskan ke penjara
tidak menuduhku radikal dalam berpikir
tidak menganggap bencana jika kami memiliki hati
di negeriku ada banyak pemikiran terselubung
dan yang melakukan revolusi akan dihabisi
impian menjelma seorang zindik
dan yang berani melawan adalah penjahat
aku hanyalah warga negara biasa
satu-satunya yang kuinginkan
ialah hidup tanpa harus menyembah pemerintah di negeriku
sebab yang mesti kusembah adalah tuhanku
kau bukanlah raja dan aku babunya
kita semua anak cucu Adam
dan Adam hanyalah manusia
Diktator-Diktator Dunia
wahai umat manusia, dengarlah!
genderang perang kini telah ditabuh
tatkala genderang kian gaduh ditabuh
impian dalam diri kita menangis
genderang perang adalah kakak tertua
seolah-olah kita saudara-saudaranya
tak kuasa mengambil pelajaran darinya
seakan-akan pada sejarah kita yang malang ini kita tidak mengerti
tatkala genderang perang ditabuh
seluruh hakmu, oh, manusia, akan dirampas
keamanan dan kedamaian akan dirampas
arti sebuah kehormatan akan dirampas darimu
genderang perang para diktator tak akan berbelas kasih
mereka adalah diktator-diktator yang
menganggapmu memiliki hak hidup berlebih
tentu, bukan persoalan
jika menjadikanmu sebagai gelandangan
jika mengusirmu, dan menjadikanmu tercerai-berai
ayolah oh, para diktator
maklumatkanlah perang terkutuk ini
gempurlah kota-kota kami dengan sempurna
lalu beritakanlah dengan tajuk:
inilah perang untuk perdamaian
tapi, ingatlah matahari tak akan bersinar untuk kalian
melainkan dari rahim reruntuhan
tabuhlah, oh, genderang Perang, tabuhlah!
lalu rampaslah seluruh hak asasiku
bagaimana bisa masuk akal?
sedangkan warga-warga sipil dibunuh
atas nama perdamaian
atas nama kesucian
bagaimana bisa masuk akal?
sedangkan manusia-manusia diperjualbelikan
manusia-manusia dibinasakan
demi mata uang para pedagang manusia
demi para pedagang senjata dan alat perang
bagaimana bisa masuk akal?
wahai perserikatan bangsa-bangsa
oh, tempat berlindung semua bangsa yang teraniaya
wahai yang mendeklarasikan hak asasi setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri
tetapi diktator-diktator dunia menyusup
pada kedalaman hati masing-masing mereka
di manakah hak asasi manusia-manusia biasa ini?
manusia yang tak akan pernah ditemukan dalam peta
perempuan-perempuan mereka disandera
laki-laki mereka dibunuh
rumah-rumah mereka dihancurkan
anak-anak kecil mereka dibungkam
kekayaan mereka dirampas
peradaban mereka dicuri dan hapuskan dari sejarah
bagaimana bisa masuk akal?
bagaimana bisa diterima?
bagaimana tentang semua ini
para diktator dunia tidak ditanya?
tabuhlah oh genderang perang, tabuhlah
tabuhlah, tabuhlah, tabuhlah!
ayo rampaslah aku
rampas semua yang tersisa dari hak asasiku
wahai diktator-diktator dunia
kemarilah, kemarilah, oh, kemarilah
mari “bergabunglah” dalam kejahatan
tapi, ingatlah, meski kau bisa melakukannya
meski kau bisa berperang
meski kau bisa merampok
meski kau bisa merampas
dan mengepung suatu bangsa
meski kau bisa membakar jalan-jalan
meski kau bisa memblokade batas-batas
kau tak akan pernah bisa merampas pemilik dunia ini
dengan sebenar-benarnya.
Tanpa Judul
kau dan aku
kita lahir di sebuah negeri
orang-orang menyebutnya; Arab
artinya
kini, aku berbicara padamu
secara natural, tentu, kau melihatku berbicara dengan bahasa Arab
karena kau sendiri orang Arab
dia orang orang
perempuan itu orang Arab
dan aku?
ini tidak penting
yang terpenting
aku memiliki tumpukan pertanyaan untukmu, wahai orang Arab
yang membonceng ketika ada revolusi
yang bersekongkol dengan orang asing ketika merampok
yang tak berkata apa-apa ketika orang asing merampas tanah dan kehormatannya
yang merasa bosan dalam masalah yang tak terselesaikan, lalu menghilang
yang menjelma orang asing
yang menabuh genderang lalu mengagung-agungkan
di hadapan raja dan penguasa ia bangkit
yang suka mendengar lalu mengulang-ulangi
ketika hilang akalnya, tak lagi mengulangi
yang belajar rendah hati dan tunduk
lalu lupa kepada selain Allah tak boleh rukuk
yang suka menimbun harta
sedangkan bangsanya sendiri kelaparan dan sengsara
berkhianat dan tak kembali
yang memerangi kesenian dan nyanyian-nyanyian
yang menghalalkan pikiran kami untuk memperbudak perempuan
yang menghalalkan pikiran kami untuk memperkosa perempuan
menganggap kejahatan adalah ujian
hak asasi manusia adalah kufur dan riya’
yang merelakan bangsanya sendiri hidup dalam kehancuran
yang merelakan bangsanya sendiri hidup dalam kemunduran
yang merelakan bangsanya sendiri digelapkan pikirannya
sehingga mengaggap para filsuf adalah kafir
yang memblokade hati kami dengan gembok-gembok
yang membelenggu pikiran kami dengan ribuan belenggu
lalu mengepung hidup kami dengan halal dan haram
lalu mengajari kami bagaimana meratapi reruntuhan
bahkan pada warga negara biasa
yang tak pernah membaca kamus-kamus, bahkan al-wasith sekalipun
warga negara yang tak punya gaung dan reputasi
ke mana hilangnya pengetahuan Ibnu Sina?
apakah Ibn Jazzar tak ada lagi di antara kita?
apakah Jahiz dan Ma’arri tak ada lagi di antara kita?
wahai bangsa yang mundur dan tak bisa dibanggakan
di manakah ilmuan kita?
di manakah bendera-bendera kita?
wahai bangsa yang telah menggugurkan impian kami
sampai kapan kita akan membangga-banggakan keagungan nenek moyang
apa yang akan kita katakan jika anak-anak kita bertanya
jika anak-cucu kita bertanya
yang terlihat inilah kemuliaan kami
mengapa yang demikian hina ini adalah negeri kami
bagaimana bisa peradaban ini mundur di zaman ini
bagaimana bisa kita melupakan pembantaian Sabra dan Shatila
lalu kita rela dengan siksaan berat dari mereka
bagaimana bisa kita melupakan Palestina
kita saksikan pembantaian di balik layar televisi dengan tenangnya
mereka membakar anak-anak kecil kami
memperkosa perempuan-perempuan kami
membunuh laki-laki kami
inikah saatnya? inikah saatnya untuk mengembik?
lalu menggantungkan kegagalan kita pada keadaan
ataukah kita akan mengatakan: mundur!
sebab perang tidak lagi dengan pedang?
ataukah kita akan kembali seperti kalian pada leluhur dan nenek moyang
wahai kambing betina yang membanggakan diri di hadapan gerombolan domba
maafkan aku, oh, bangsaku, maafkan
jika aku panjang lidah
maaf aku jika panjang lebar mengatakan masyarakat domba
tapi inilah hakikat bangsa yang kehilangan kemanusiaannya
aku tak akan menunggu jawaban
sebab dari awal, pertanyaan-pertanyaanku
tanpa judul.
Tentang Penerjemah:
Fazabinal Alim, Lahir di Sumenep, 2 Januari 1993. Menerjemah buku-buku bahasa Arab. Berkhidmah di Pondok Pesantren Raudlah Najiyah Guluk-Guluk Sumenep.
- Puisi-Puisi Anis Chouchene - 12 April 2022